"Kami jaga malam bukan karena kami kuat, tapi karena kami peduli."
Beberapa minggu yang lalu, ketenangan di salah satu lingkungan kecil
Kelurahan Lakahang terusik oleh peristiwa yang menyentak. Seorang pedagang
kecil menjadi korban pembobolan rumah, tepat di hari Minggu, saat sebagian
besar warga tenggelam dalam ibadah, dan kampung terasa lengang. Peristiwa ini
memang hanya menyisakan kerugian financial secara materi, tetapi sesungguhnya
telah mengguncang sesuatu yang lebih penting: rasa aman. Sebuah
rasa yang selama ini dianggap milik bersama, kini menjadi pertanyaan bersama.
Namun dari keresahan itu, lahir kekuatan yang tidak datang dari luar,
melainkan dari dalam komunitas: kesadaran kolektif. Warga bersepakat untuk
mendirikan pos keamanan lingkungan. Bukan pos mewah dengan lampu sorot dan
CCTV, melainkan sebuah pondok sederhana berlantai kayu, beratap rumbia, dan
bertiang bambu. Kesederhanaannya justru menjadi kekuatan, sebuah simbol dari
keberanian warga yang memutuskan untuk tidak tinggal diam.

Kini, setiap malam tujuh orang warga berjaga, diambil dari 84 kepala keluarga yang ada. Nama-nama mereka tertulis rapi di papan ronda, menjadi bukti bahwa keamanan bukan sekadar tanggung jawab aparat, tetapi hasil dari partisipasi aktif.
Inilah bentuk nyata dari apa yang disampaikan Paulus dalam Filipi 2:4,
bahwa setiap orang seharusnya tidak hanya memperhatikan kepentingan sendiri,
tetapi juga kepentingan orang lain. Mereka hadir, bukan untuk bergaya atau
menjalankan formalitas, tetapi karena mereka tahu: malam yang terjaga adalah
malam yang menyatukan.
Suasana pos kamling jauh dari tegang. Ada yang duduk sambil menyeruput kopi hangat, meniup uapnya pelan. Ada yang memegang kartu domino, tertawa ketika lawan mainnya salah strategi. Ada juga yang sibuk menatap layar HP, sebagian bermain game ringan, sebagian lainnya menonton tutorial pertanian di YouTube. Di pojok lain, ada yang bercerita tentang keadaan kebunnya siang tadi, menanam kakao, mencangkul lahan nilam, atau merawat bibit yang mulai tumbuh. Ada pula yang asyik berhitung: memperkirakan berapa karung gabah yang dihasilkan dari panen dua minggu lalu. Obrolan di pos ronda ini memang khas kampung, tentang tanah, hasil kebun, cuaca, dan harapan-harapan sederhana yang tumbuh dari bumi. Di tempat ini, generasi bertemu tanpa sekat, orang tua dan pemuda duduk sejajar, berjaga bersama.

Berjaga di sini bukan soal ketakutan terhadap ancaman, tetapi tentang kehadiran. Seperti nasihat 1 Korintus 16:13, mereka memilih untuk berjaga-jaga, berdiri teguh, dan menjadi kuat, bukan dengan kekerasan, tapi dengan kesadaran bahwa iman dan solidaritas adalah pelindung yang lebih kuat dari pagar besi. Mereka hadir untuk saling mengingatkan, menemani, dan menjaga. Di tengah dunia yang kian individualistis, mereka menunjukkan bahwa komunitas masih mungkin dijaga lewat kebersamaan.
Lingkungan ini menjadi pelopor. Mungkin satu-satunya sejauh ini di
Kelurahan Lakahang yang membangun sistem ronda yang terstruktur pasca peristiwa
pembobolan. Tapi jika melihat sejarah kampung ini, bisa dipastikan: lingkungan-lingkungan
lain, terutama di sepanjang jalan poros Lakahang–Mamasa, akan menyusul. Di
daerah ini, kebaikan bukan hal langka. Seperti api kecil yang cepat menyebar,
ketika satu tempat menyalakan terang, tempat lain segera ingin ikut bercahaya.
Dalam segala usaha ini, warga tetap sadar bahwa jika Tuhan tidak menjaga
kota, sia-sialah penjaga berjaga-jaga, seperti yang tertulis dalam Mazmur 127:1.
Karena itu, ronda malam ini bukan hanya soal kehadiran fisik, tetapi juga
mengandung kesadaran rohani: bahwa perlindungan sejati datang dari Tuhan. Maka
di sela-sela percakapan, tak jarang terdengar doa singkat, harapan lirih agar
kampung ini tetap damai, tetap saling percaya.
Pos kamling ini memang kecil secara ukuran, tetapi besar dalam makna. Ia
menjadi ruang bertemu lintas usia dan lintas peran. Ia menyatukan kembali warga
yang sempat terpecah oleh rutinitas harian. Bahkan bagi yang sebelumnya belum
saling mengenal, malam-malam berjaga menjadi awal yang baik untuk membangun
kembali jaringan sosial yang kokoh.
Dan akhirnya, sebagaimana Nehemia dan bangsanya berjaga siang dan malam
saat membangun kembali tembok Yerusalem (Nehemia 4:9), warga Lakahang pun
memilih untuk tidak sekadar berdoa, tetapi juga bertindak. Mereka tidak
menyerahkan nasibnya pada rasa takut, tetapi menjawabnya dengan kerja sama dan
keterlibatan.
Dari pinggiran Kelurahan Lakahang, nyala lampu kecil di atap rumbia itu mengirimkan pesan yang tak terbantahkan: Kami tidak tinggal diam. Kami memilih terlibat. Kami menjaga bersama.
0 Comments