Latar Belakang Historis
(a). Posisi Kitab Yosua dalam Kanon PL (Deuteronomistic History)-
Kitab Yosua menempati posisi yang sangat penting dalam kanon Perjanjian Lama karena ia berfungsi sebagai jembatan antara Pentateukh (Torah) dengan kumpulan kitab-kitab sejarah. Di dalam tradisi Ibrani, Yosua termasuk ke dalam kelompok Nevi’im Rishonim (Nabi-nabi yang Awal), yang bersama-sama dengan Hakim-hakim, Samuel, dan Raja-raja membentuk suatu karya sejarah yang sering disebut sebagai Sejarah Deuteronomistik (Deuteronomistic History).(1) Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Martin Noth pada tahun 1943, yang berargumen bahwa dari Kitab Ulangan hingga 2 Raja-raja terdapat suatu kerangka narasi yang disusun oleh seorang atau sekelompok redaktor dengan teologi yang berakar dalam Kitab Ulangan.(2) Karena itu, Yosua bukan hanya sekadar kelanjutan dari kisah Musa dalam Pentateukh, melainkan bagian integral dari suatu karya besar yang menggambarkan perjalanan Israel dari padang gurun menuju tanah perjanjian hingga akhirnya mengalami pembuangan.(3)
Secara literer, posisi Kitab Yosua sebagai pembuka dari rangkaian kitab Nabi-nabi Awal menandai peralihan dari janji ke penggenapan. Jika Pentateukh berfokus pada perjanjian Allah dengan umat-Nya melalui Musa, maka Kitab Yosua menampilkan pemenuhan janji itu dalam bentuk pemberian tanah.(4) Dengan demikian, Yosua memiliki fungsi teologis dan naratif yang ganda: ia menutup kisah Pentateukh dengan menunjukkan bagaimana janji tanah digenapi, sekaligus membuka rangkaian sejarah Israel yang akan terus dinarasikan dalam kitab-kitab selanjutnya. Struktur ini memperlihatkan kesinambungan yang disengaja dalam penyusunan kanon, sehingga pembaca memahami bahwa karya Allah tidak berhenti dengan Musa, melainkan berlanjut melalui kepemimpinan baru dan realitas historis yang dinamis.(5)
Selain itu, penempatan Kitab Yosua dalam Deuteronomistic History juga menekankan bahwa sejarah Israel tidak semata-mata bersifat kronologis, tetapi memiliki makna teologis. Narasi Yosua menampilkan pola yang khas: janji Allah, respon iman Israel, serta akibat dari ketaatan atau ketidaktaatan mereka.(6) Hal ini sesuai dengan teologi Ulangan yang menekankan berkat dan kutuk (Ul. 28), di mana keberhasilan Israel ditentukan oleh kesetiaan mereka pada hukum Taurat. Dengan demikian, Kitab Yosua berfungsi sebagai model historis awal tentang bagaimana prinsip-prinsip itu bekerja: keberhasilan dalam penaklukan tanah adalah hasil ketaatan kepada Allah, sedangkan kegagalan (misalnya peristiwa di Ai) merupakan konsekuensi dari pelanggaran umat.(7)
Lebih jauh, para penafsir modern menekankan bahwa posisi Kitab Yosua dalam Deuteronomistic History menunjukkan usaha teologis untuk menjawab pertanyaan besar bangsa Israel pasca-pembuangan: bagaimana mereka memahami sejarah jatuh bangun bangsanya?(8) Dengan melihat Yosua sebagai awal sejarah “ideal”, yakni ketika umat dipimpin oleh seorang tokoh yang taat pada hukum Tuhan dan mengalami keberhasilan, maka kitab ini menjadi tolak ukur untuk menilai generasi-generasi selanjutnya. Dalam kerangka ini, Yosua tidak hanya berbicara tentang penaklukan tanah secara militer, tetapi juga tentang identitas teologis Israel sebagai umat perjanjian yang dipanggil untuk hidup di bawah kedaulatan Yahweh.(9)
-
Tradisi Yahudi dan Kristen awal biasanya menghubungkan penulisan Kitab Yosua dengan Yosua sendiri, sebab kitab ini memuat banyak detail tentang peperangan, pembagian tanah, dan kehidupan bangsa Israel yang seolah ditulis dari perspektif seorang saksi mata. Beberapa ayat juga menunjukkan adanya catatan tertulis sezaman (misalnya Yosua 24:26 yang menyebut Yosua menulis dalam “kitab hukum Allah”). Namun, tradisi akademis modern memandang Kitab Yosua sebagai bagian dari Deuteronomistic History (Sejarah Deuteronomis), yaitu rangkaian kitab dari Ulangan–2 Raja-raja yang disusun atau disunting oleh para penulis/scriba pada masa Raja Yosia (abad ke-7 SM) atau bahkan pada masa pembuangan di Babel.(10) Karena itu, sebagian besar ahli berpendapat Kitab Yosua bukan ditulis langsung oleh Yosua, melainkan melalui proses redaksi yang panjang, dengan bahan sumber yang mungkin berasal dari catatan sejarah, tradisi lisan, atau dokumen militer Israel kuno.(11)
Beberapa sarjana konservatif mencoba menengahi pandangan ini dengan mengatakan bahwa Yosua mungkin memang menulis bagian awal atau inti kitab ini, tetapi kemudian generasi setelahnya, khususnya para penyusun Deuteronomistik, melengkapi, menyunting, dan menyesuaikan kitab tersebut agar relevan dengan konteks teologis Israel di kemudian hari.(12) Jadi, secara ringkas dapat dikatakan: tidak ada konsensus tunggal mengenai penulis Kitab Yosua. Tradisi rohani melihat Yosua sebagai tokoh utama yang menulis atau mengilhami kitab ini, tetapi penelitian modern menegaskan peran besar tradisi Deuteronomistik dalam menyusun dan menyuntingnya. Yang jelas, dari sudut pandang iman, kitab ini tetap dipandang sebagai bagian dari firman Allah yang diilhamkan, apapun bentuk proses penyusunannya.
- Transisi kepemimpinan dari Musa kepada Yosua merupakan salah satu momen paling signifikan dalam sejarah Israel, karena menandai perubahan generasi dan kesinambungan panggilan Allah. Musa, sebagai pemimpin besar yang membawa bangsa Israel keluar dari Mesir dan menerima hukum Taurat di Sinai, tidak diizinkan Allah untuk masuk ke tanah perjanjian akibat ketidaktaatannya di Meriba (Bil. 20:12; Ul. 34:4–5).(13) Karena itu, Yosua dipilih sebagai penerus Musa untuk membawa umat masuk ke tanah yang dijanjikan. Pemilihan Yosua tidak sekadar pragmatis, melainkan teologis: Allah sendiri yang menunjuknya dan Musa yang meneguhkan panggilannya di hadapan seluruh Israel (Bil. 27:18–23).(14)
Yosua sebelumnya dikenal sebagai hamba Musa (Kel. 24:13; Bil. 11:28), seorang prajurit yang gagah perkasa (Kel. 17:9–10), serta salah satu dari dua belas pengintai yang menunjukkan iman dan keberanian dengan menyatakan bahwa tanah Kanaan dapat ditaklukkan karena janji Allah (Bil. 14:6–9).(15) Dengan demikian, latar belakang kepemimpinan Yosua dipersiapkan secara matang: ia tidak hanya memiliki kemampuan militer, tetapi juga integritas rohani dan ketaatan kepada hukum Allah. Pemindahan otoritas ini memperlihatkan kesinambungan ilahi: kepemimpinan Israel bukanlah proyek manusia, melainkan pekerjaan Allah yang memilih dan memimpin hamba-hamba-Nya.(16)

Narasi dalam Yosua 1 secara eksplisit menegaskan transisi tersebut. Allah berkata kepada Yosua: “Hamba-Ku Musa telah mati; sebab itu bersiaplah sekarang, seberangilah sungai Yordan ini...” (Yos. 1:2). Pernyataan ini bukan sekadar deklarasi historis, melainkan teologis: kematian Musa tidak menghentikan karya Allah, karena janji dan rencana-Nya tetap berjalan.(17) Allah meneguhkan Yosua dengan perintah untuk berpegang teguh pada hukum Taurat dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri (Yos. 1:7–8). Di sini jelas terlihat bahwa keberhasilan kepemimpinan Yosua tidak terletak pada strategi militer semata, melainkan pada kesetiaannya kepada firman Allah.(18) Dengan demikian, transisi kepemimpinan ini berfungsi untuk menekankan prinsip dasar dalam sejarah Israel: bukan figur manusia yang menjadi pusat, melainkan Allah yang memimpin melalui firman-Nya.
Selain aspek historis, transisi kepemimpinan ini juga memiliki makna teologis yang lebih dalam. Seperti dicatat oleh Gerhard von Rad, pergantian dari Musa ke Yosua menandai transformasi dari “generasi padang gurun” ke “generasi tanah perjanjian,” di mana fokus umat beralih dari penerimaan hukum menuju implementasi hukum dalam kehidupan sehari-hari di tanah yang baru.(19) Para penafsir modern menekankan bahwa transisi ini tidak hanya tentang penggantian tokoh, tetapi tentang pewarisan misi: dari Musa yang menerima firman Allah, kepada Yosua yang melaksanakan firman itu dalam sejarah konkret.(20) Dengan demikian, kepemimpinan Yosua adalah simbol keberlanjutan janji Allah sekaligus panggilan umat untuk hidup setia dalam realitas yang baru.
(d). Tujuan Teologis: Penggenapan Janji Allah tentang Tanah Perjanjian-
Salah satu tujuan teologis utama Kitab Yosua adalah menegaskan penggenapan janji Allah mengenai tanah perjanjian yang telah diikrarkan sejak zaman para leluhur, Abraham, Ishak, dan Yakub. Narasi Yosua menggambarkan bahwa janji tersebut tidak bersifat abstrak atau sekadar spiritual, melainkan diwujudkan secara konkret dalam realitas sejarah ketika umat Israel masuk dan menduduki Kanaan.(21) Dengan demikian, tanah dipahami sebagai simbol kesetiaan Allah terhadap perjanjian-Nya, sekaligus sebagai sarana untuk mengokohkan identitas Israel sebagai umat pilihan. Seperti ditegaskan dalam Yosua 21:43–45, “Tuhan telah memberikan kepada orang Israel seluruh negeri yang dijanjikan-Nya... tidak ada satu pun dari segala yang baik yang dijanjikan Tuhan... yang tidak dipenuhi.”(22)
Tanah perjanjian juga berfungsi sebagai tanda anugerah sekaligus tanggung jawab. Richard Hess menekankan bahwa Kitab Yosua bukan sekadar laporan penaklukan militer, tetapi sebuah karya teologis yang memperlihatkan bagaimana janji tanah diberikan secara cuma-cuma oleh Allah, namun penerimaan tanah itu menuntut kesetiaan dan ketaatan umat.(23) Tanah bukanlah hasil prestasi manusia, melainkan pemberian Allah; namun untuk tetap tinggal di dalamnya, umat harus memelihara hukum Taurat.(24) Dengan demikian, penggenapan janji tanah mengandung dialektika antara karunia ilahi dan panggilan etis: Allah setia menepati janji-Nya, tetapi umat dipanggil untuk setia dalam ketaatan.

Lebih jauh, penggenapan janji tanah dalam Kitab Yosua memiliki dimensi eskatologis. Para penafsir seperti Walter Brueggemann menunjukkan bahwa tanah dalam Alkitab bukan hanya locus geografis, tetapi juga tanda relasi antara Allah dan umat-Nya.(25) Tanah menjadi ruang bagi umat untuk mewujudkan keadilan, kesetiaan, dan ibadah sejati. Jika umat gagal memelihara relasi itu, tanah dapat hilang, seperti yang akhirnya terjadi dalam pembuangan.(26) Dengan demikian, Kitab Yosua tidak hanya menyatakan bahwa janji Allah telah digenapi, tetapi juga menekankan bahwa penggenapan itu bersyarat: ia harus dipelihara melalui iman dan ketaatan.
Akhirnya, tujuan teologis ini memberi makna bagi pembaca masa kini. Dalam perspektif Perjanjian Baru, janji tanah menemukan pemenuhannya yang lebih besar dalam Kristus, yang menghadirkan “tanah perjanjian rohani” berupa persekutuan dengan Allah dan janji kehidupan kekal (Ibr. 4:8–10).(27) Dengan demikian, penggenapan janji dalam Kitab Yosua bukan sekadar memandang ke belakang, tetapi juga menunjuk ke depan: umat Allah sepanjang zaman dipanggil untuk melihat kesetiaan Allah dan menanggapinya dengan hidup taat di dalam iman.(28)
Tujuan dan Tema Utama
(a). Pemenuhan Janji Allah atas Tanah- Tema utama Kitab Yosua tidak dapat dipisahkan dari realisasi janji Allah mengenai tanah yang telah diikrarkan kepada Abraham (Kej. 12:1–3), diteguhkan kepada Ishak (Kej. 26:3), dan ditegaskan kembali kepada Yakub (Kej. 28:13). Kitab ini berfungsi sebagai deklarasi historis-teologis bahwa Allah bukan hanya berjanji, tetapi juga setia menepatinya. Ayat kunci Yosua 21:43–45 secara eksplisit menyatakan bahwa “Tuhan telah memberikan kepada orang Israel seluruh negeri yang dijanjikan-Nya… tidak ada satu pun dari segala yang baik yang dijanjikan Tuhan… yang tidak dipenuhi.” Para penafsir seperti Gerhard von Rad menekankan bahwa teks ini bukan hanya kesimpulan naratif, tetapi merupakan pernyataan teologis yang menjadi fondasi bagi seluruh pemahaman iman Israel.(29) Oleh sebab itu, Kitab Yosua bukan sekadar catatan penaklukan teritorial, tetapi sebuah liturgi pengakuan iman akan kesetiaan Allah dalam sejarah.(30)

Namun, penggenapan janji ini tidak dipahami semata-mata sebagai hak militer atau prestasi politis Israel. Richard Hess dengan tegas menyatakan bahwa struktur narasi Yosua menempatkan Allah sebagai subjek utama seluruh aksi, bukan umat Israel.(31) Bahkan ketika Israel bertempur, penulis menekankan bahwa kemenangan mereka hanyalah buah dari intervensi ilahi (lih. Yos. 10:11). Dalam kerangka ini, tanah dipandang bukan sebagai hasil jerih payah manusia, melainkan sebagai pemberian Allah kepada umat-Nya.(32) Dengan demikian, pemenuhan janji tanah tidak pernah berdiri terpisah dari dimensi anugerah. Tanah bukan sekadar wilayah geografis, tetapi simbol relasi perjanjian yang mengikat Allah dan umat-Nya.(33)
Di sisi lain, pemenuhan ini juga bersifat dinamis dan bersyarat. Walter Brueggemann mengingatkan bahwa meskipun tanah telah diberikan, ia tetap dapat hilang jika umat tidak hidup dalam kesetiaan kepada Allah, sebagaimana yang kemudian terjadi dalam sejarah pembuangan.(34) Maka penggenapan janji dalam Kitab Yosua bersifat sudah dan belum: janji telah digenapi secara historis, tetapi harus terus dijaga melalui ketaatan. Pembaca kontemporer diajak melihat bahwa janji Allah tidak hanya bersifat retrospektif (melihat ke masa lampau), tetapi juga prospektif—mengarahkan umat kepada pengharapan eskatologis yang lebih besar, yang dalam perspektif Perjanjian Baru menemukan kepenuhannya dalam Kristus sebagai “perhentian sejati” (Ibr. 4:8–10).(35)
- Tema ketaatan terhadap hukum Taurat muncul sebagai syarat mutlak keberhasilan dalam Kitab Yosua, terutama dalam pasal pembukaan (Yos. 1:7–8). Alih-alih mengandalkan strategi militer atau pengalaman kepemimpinan, Yosua diperintahkan untuk “berpegang teguh dan melakukan segala hukum” yang telah diberikan Musa, serta merenungkannya “siang dan malam,” sebab hanya dengan demikian ia akan “berhasil dan beruntung.”(36) Perintah ini menegaskan paradigma teologi Deuteronomistik bahwa kesejahteraan umat Allah tidak bergantung pada kekuatan manusia, melainkan pada kesetiaan mereka terhadap firman Allah.(37) Dengan demikian, Kitab Yosua bukan hanya narasi penaklukan, tetapi sekaligus pengajaran etis bahwa keberhasilan sejati tidak bersumber dari pedang, melainkan dari ketaatan.

Tema ini diteguhkan oleh struktur naratif kitab. Setiap kemenangan Israel dikaitkan dengan ketaatan, dan setiap kegagalan dikaitkan dengan pelanggaran. Contoh paling jelas adalah kisah Achan dalam Yosua 7, di mana satu pelanggaran terhadap ketentuan Allah menyebabkan seluruh bangsa mengalami kekalahan di Ai.(38) Para penafsir seperti Nelson menekankan bahwa kisah ini bukan sekadar laporan historis, melainkan narasi teologis yang menegaskan solidaritas kolektif dan tanggung jawab moral dalam komunitas perjanjian.(39) Dengan kata lain, kepatuhan tidak hanya bersifat pribadi tetapi juga komunal; ketidaktaatan satu orang pun dapat mengancam keseluruhan umat.
Dalam perspektif kanonis, ketaatan terhadap hukum Taurat bukanlah syarat legalistik, tetapi ekspresi dari relasi perjanjian. Walter Brueggemann menyatakan bahwa hukum Taurat berfungsi sebagai “penjaga keberlanjutan anugerah,” sehingga ketaatan adalah bentuk partisipasi manusia dalam pemeliharaan berkat Allah.(40) Oleh karena itu, keberhasilan dalam Kitab Yosua bukan sekadar “memenangkan peperangan,” tetapi “tinggal dalam kehendak Allah.” Tema ini kemudian bergema dalam Perjanjian Baru, di mana Yesus sendiri mengutip Yosua 1:8 dalam konteks pemuridan (Yoh. 14:21), menunjukkan bahwa prinsip keberhasilan melalui ketaatan tetap relevan dalam kerangka spiritual yang lebih luas.(41)
- Salah satu tema paling khas dalam Kitab Yosua adalah penegasan bahwa Allah sendiri adalah Panglima dalam setiap pertempuran Israel. Narasi runtuhnya tembok Yerikho (Yos. 6) menjadi contoh paling eksplisit: kemenangan tidak diperoleh melalui taktik militer, melainkan melalui ketaatan pada instruksi liturgis yang bersifat paradoksal, mengelilingi kota sambil meniup sangkakala.(42) Para penafsir seperti Boling dan Wright menegaskan bahwa narasi ini sengaja dirancang untuk menekankan bahwa keberhasilan Israel bukan karena kekuatan manusia, tetapi karena intervensi langsung dari Tuhan.(43) Demikian pula dalam Yosua 10:11, dicatat bahwa lebih banyak musuh yang mati karena hujan batu dari langit yang dikirim Allah daripada oleh pedang orang Israel. Dengan demikian, kitab ini menyampaikan pesan teologis yang revolusioner: Israel berperang bukan untuk mendapatkan Allah berpihak pada mereka, tetapi karena Allah telah terlebih dahulu memimpin pertempuran.

Konsep ini kemudian diformulasikan oleh para ahli modern sebagai bagian dari holy war theology (teologi peperangan suci), meskipun istilah tersebut sering disalahpahami.(44) Dalam kerangka Kitab Yosua, peperangan suci bukanlah ajakan untuk kekerasan religius, melainkan pengakuan bahwa Tuhan adalah hakim atas kefasikan bangsa-bangsa yang melawan-Nya.(45) Dengan demikian, perang dalam Yosua lebih bersifat teologis daripada politis. John Goldingay menegaskan bahwa narasi peperangan dalam Yosua sebaiknya tidak dibaca sebagai manual peperangan manusia, tetapi sebagai deklarasi bahwa Allah bertindak sebagai pembela umat-Nya sekaligus hakim atas kejahatan.(46)
Tema Allah sebagai panglima perang juga memiliki dimensi pastoral yang mendalam. Ketika Yosua bertemu “Panglima Balatentara Tuhan” (Yos. 5:13–15), ia tidak diminta untuk bertanya apakah Tuhan ada di pihaknya, melainkan diminta untuk tunduk dan menyadari bahwa dialah yang harus berada di pihak Tuhan.(47) Peristiwa ini menegaskan bahwa Allah bukan sekadar penolong strategi manusia, tetapi Raja yang harus ditaati sepenuhnya. Dalam konteks iman masa kini, pesan ini tetap relevan: keberanian sejati tidak lahir dari keyakinan pada kemampuan diri sendiri, tetapi dari kesadaran bahwa Allah sendiri berjalan di depan umat-Nya (lih. Rom. 8:31).(48)
Struktur Narasi Kitab Yosua
(A). Persiapan Memasuki Tanah Perjanjian (Yosua 1–5)- Peneguhan Yosua sebagai Pemimpin (Yosua 1:1–9)
- Transisi kepemimpinan dari Musa kepada Yosua bukan sekadar pergantian administratif, melainkan sebuah deklarasi teologis bahwa kesinambungan umat Allah tidak bergantung pada figur manusia tertentu, tetapi pada kesetiaan Allah terhadap janji-Nya. Ketika Yosua diperkenalkan dalam Yosua 1:1 sebagai “hamba Musa”, istilah ini bukan sekadar deskripsi fungsional, tetapi sebuah legitimasi otoritas berdasarkan kedekatannya dengan Musa sebagai pemimpin yang telah dikenali seluruh Israel.(49) Namun, narasi segera menegaskan bahwa otoritas Yosua tidak hanya berasal dari garis suksesi manusia, tetapi dari commissioning ilahi yang eksplisit: “Hamba-Ku Musa telah mati; sekarang bersiaplah… Akulah yang akan menyertai engkau” (Yos. 1:2–5).(50) Hal ini menunjukkan bahwa dalam teologi Deuteronomistik, pemimpin sejati bukanlah mereka yang kuat secara militer atau karismatik, tetapi mereka yang mendapatkan legitimasi langsung melalui firman Allah.

Penyertaan Allah kepada Yosua diteguhkan melalui formula janji yang paralel dengan janji kepada Musa dan para leluhur, sehingga memperlihatkan kesinambungan perjanjian lintas generasi.(51) Allah berfirman, “Seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau” (Yos. 1:5). Ungkapan ini bukan sekadar dorongan motivasional, tetapi bertindak sebagai mandat legal yang mengesahkan otoritas Yosua di mata bangsa.(52) Christopher Wright mencatat bahwa dalam konteks kuno, legitimasi seorang pemimpin sering ditentukan oleh pengakuan dari dewa atau kuasa ilahi, dan karena itu teks ini secara sengaja dirancang untuk menunjukkan bahwa Yosua bukan hanya penerus administratif, tetapi agen representatif Allah sendiri dalam pelaksanaan rencana penaklukan.(53)
Namun, legitimasi ini tidak bersifat otomatis; keberhasilan Yosua sepenuhnya bergantung pada ketaatannya terhadap hukum Taurat. Perintah “janganlah engkau menyimpang ke kanan atau ke kiri” (Yos. 1:7–8) menunjukkan bahwa kekuatan pemimpin Israel tidak diukur dari kemampuan taktis atau karismanya, melainkan dari kesetiaannya pada firman Allah.(54) Dengan demikian, teks ini tidak dimaksudkan untuk meninggikan sosok Yosua sebagai pahlawan besar, melainkan untuk menegaskan bahwa seorang pemimpin hanya layak diikuti sejauh ia tunduk pada kehendak Allah.(55) Dalam konteks ini, Yosua menjadi teladan bukan karena keberaniannya semata, tetapi karena kesediaannya untuk dipimpin sebelum ia memimpin.
- Narasi pengintai ke Yerikho menegaskan pentingnya iman dan strategi dalam memasuki tanah perjanjian. Dua pengintai dikirim Yosua untuk memetakan kondisi kota Yerikho, sekaligus menilai kesiapan umat Israel menghadapi perlawanan musuh.(56) Kisah ini tidak sekadar menceritakan aksi mata-mata, tetapi juga memperkenalkan tema ketaatan dan perlindungan ilahi melalui sosok Rahab, seorang perempuan yang menaruh iman kepada Allah Israel.(57) Rahab menyembunyikan para pengintai dan mengakui otoritas Allah atas negeri ini (Yos. 2:9–11), menandai bahwa pengakuan iman dan tindakan nyata dapat melampaui status sosial atau latar belakang etnis.

Kesetiaan Rahab juga dipandang sebagai contoh prinsip teologis bahwa keselamatan dan perlindungan datang melalui iman dan kerjasama dengan rencana Allah.(58) Para sarjana seperti Nelson menekankan bahwa tindakan Rahab bukan hanya soal keberanian pribadi, tetapi bagian dari rencana Allah yang lebih besar untuk menaklukkan Yerikho, sehingga keberhasilan bangsa Israel dalam sejarah mereka tidak hanya bergantung pada kekuatan militer, tetapi juga pada respon iman individu terhadap Allah.(59) Hal ini memperkenalkan tema inklusif, bahwa meskipun Rahab bukan bagian dari Israel secara lahiriah, iman dan kesetiaannya membuatnya menjadi bagian dari komunitas perjanjian.
Selain itu, kisah ini membentuk pola naratif yang menekankan pentingnya intelijen, kesetiaan, dan perlindungan ilahi sebelum kemenangan nyata dicapai.(60) Rahab diberikan tanda khusus berupa tali merah di jendela rumahnya sebagai simbol keselamatan, yang sekaligus menjadi instruksi praktis dan teologis bagi pasukan Israel saat menyerbu Yerikho (Yos. 2:18–21). Dengan demikian, narasi pengintai ke Yerikho bukan hanya laporan kegiatan mata-mata, tetapi ajaran teologis tentang iman yang diwujudkan dalam tindakan, penyerahan diri kepada Allah, dan kesadaran bahwa keberhasilan umat bergantung pada penyertaan-Nya.
- Penyeberangan Sungai Yordan merupakan peristiwa kunci yang menandai transisi definitif Israel dari status peziarah menjadi komunitas yang menetap di tanah janji.(61) Narasi ini secara sengaja dirancang untuk paralel dengan peristiwa penyeberangan Laut Teberau dalam Keluaran 14, sehingga membingkai Yosua sebagai penerus Musa dan meneguhkan bahwa Allah yang sama yang membawa Israel keluar dari Mesir kini membawa mereka masuk ke tanah perjanjian.(62) Berbeda dengan Laut Teberau yang terbelah oleh angin timur, peristiwa di Yordan terjadi ketika para imam yang memikul tabut perjanjian menginjakkan kaki mereka ke dalam air, dan air itu berhenti mengalir (Yos. 3:13–17).(63) Dengan demikian, fokus teologisnya bukan pada keajaiban alam semata, tetapi pada peran simbolik tabut sebagai representasi kehadiran Allah di tengah umat.

Peristiwa ini juga berfungsi sebagai liturgi nasional yang memperkuat identitas kolektif Israel. Setelah penyeberangan, Yosua memerintahkan pengambilan dua belas batu dari dasar sungai untuk didirikan sebagai tugu peringatan (Yos. 4:6–7), sehingga generasi mendatang dapat memahami bahwa identitas Israel dibangun bukan oleh kekuatan manusia, tetapi oleh intervensi Allah yang setia pada janji-Nya.(64) Walton mencatat bahwa tugu-tugu semacam itu lazim dalam budaya Timur Dekat sebagai simbol legitimasi politik atau religius, tetapi dalam kasus ini batu peringatan tidak dimaksudkan untuk memuliakan raja atau pahlawan, melainkan menjadi saksi bisu akan kesetiaan Allah.(65) Dengan demikian, penyeberangan Yordan bukan sekadar peristiwa geografis, melainkan deklarasi teologis bahwa Israel menaklukkan bukan karena keberanian militer, tetapi karena mereka berjalan mengikuti hadirat Allah.
- Perayaan Paskah di Gilgal, yang berlangsung sesaat setelah bangsa Israel menyeberangi Sungai Yordan (Yos. 5:10–12), menjadi titik balik spiritual yang penting. Dari kehidupan sebagai pengembara di padang gurun, mereka kini memasuki fase baru: menetap sebagai umat yang tinggal di tanah perjanjian.(66) Alkitab mencatat dengan penuh makna bahwa pada hari setelah Paskah, mereka mulai “makan hasil negeri itu”, dan pada saat itulah “manna berhenti turun”.(67) Ini bukan sekadar kronologi sejarah, melainkan pernyataan teologis yang kuat: Allah sedang mengubah cara-Nya memelihara umat-Nya, dari penyediaan supranatural di padang gurun menuju pemeliharaan melalui tanah yang kini menjadi milik mereka.(68) Berhentinya manna bukanlah tanda bahwa Allah tidak lagi hadir, melainkan bukti bahwa janji-Nya kini diwujudkan melalui stabilitas dan kelimpahan tanah perjanjian.

Paskah di Gilgal juga menegaskan bahwa penaklukan tanah bukan semata urusan militer. Ini adalah kelanjutan dari karya penebusan Allah yang telah dimulai sejak pembebasan dari Mesir.(69) Teolog seperti Wright menyoroti bagaimana narasi ini dirancang untuk menyambungkan eksodus dan penaklukan sebagai dua bagian dari satu kisah keselamatan: Allah tidak hanya membebaskan umat-Nya dari perbudakan, tetapi juga meneguhkan mereka dalam warisan yang dijanjikan.(70) Maka, Paskah di Gilgal berfungsi sebagai momen rekalibrasi identitas, mengingatkan bahwa mereka bukan sekadar pasukan penyerbu, melainkan umat perjanjian yang dipanggil untuk hidup dalam kekudusan dan senantiasa mengingat karya penyelamatan Allah.
Berhentinya manna setelah empat dekade pengembaraan menjadi lambang kedewasaan rohani bangsa Israel.(71) Mereka tidak lagi menerima makanan langsung dari langit, melainkan dipanggil untuk mengolah tanah dan memakmurkannya, sesuai dengan mandat penciptaan.(72) Peristiwa ini menegaskan bahwa kedewasaan iman bukan hanya soal menerima berkat, tetapi juga tentang mengelola berkat itu dengan tanggung jawab. Gilgal, dalam konteks ini, menjadi tempat transformasi identitas: dari budak menjadi peziarah, dan dari peziarah menjadi pewaris.
- Runtuhnya Tembok Yerikho (Yosua 6)
- Kisah runtuhnya tembok Yerikho dalam Yosua 6 merupakan salah satu episode paling ikonik dalam seluruh Kitab Yosua, bukan hanya karena keajaiban naratifnya, tetapi juga karena perannya sebagai paradigma teologis tentang bagaimana Allah memimpin peperangan bagi umat-Nya.(73) Yerikho dikenal sebagai kota berkubu kuat di wilayah tengah Kanaan, dan secara strategis menjadi titik kunci yang memisahkan wilayah utara dan selatan.(74) Menariknya, bangsa Israel tidak menaklukkan kota ini dengan strategi militer konvensional, melainkan melalui ritual liturgis: mereka mengelilingi kota selama tujuh hari sambil meniup sangkakala oleh para imam.(75) Kemenangan ini bukan hasil kekuatan manusia, melainkan sepenuhnya karena intervensi ilahi. Dalam konteks ini, Yerikho menjadi semacam teofani dalam bentuk peperangan, manifestasi kuasa Allah yang bekerja melalui ketaatan liturgis umat-Nya.

Narasi ini secara radikal membalikkan pola umum peperangan di dunia kuno. Dalam praktik militer Timur Dekat, penaklukan kota biasanya melibatkan intimidasi, pembangunan tanggul pengepungan, atau penggunaan mesin perang.(76) Namun dalam kasus Yerikho, Allah memerintahkan Yosua untuk menekankan aspek ibadah, bukan taktik senjata. Bahkan penggunaan angka simbolis seperti “tujuh hari” dan “tujuh sangkakala” memperlihatkan bahwa penaklukan ini dikoreografikan sebagai liturgi kosmik.(77) Para ahli seperti Hess menekankan bahwa struktur narasi ini sengaja dirancang menyerupai prosesi kultus, untuk menegaskan bahwa Allah adalah panglima sejati, sementara Israel hanyalah peserta dalam drama keselamatan yang telah ditetapkan.(78)
Peristiwa runtuhnya tembok Yerikho menjadi pola dasar bagi seluruh narasi penaklukan selanjutnya: kemenangan Israel tidak bergantung pada jumlah pasukan, tetapi pada kesetiaan mereka terhadap perintah Tuhan.(79) Bahkan kegagalan mereka di Ai (Yos. 7) segera menunjukkan bahwa keberhasilan tidak otomatis, melainkan bergantung pada kekudusan dan kepatuhan. Maka, Yerikho bukan sekadar kemenangan militer, tetapi deklarasi teologis yang kuat: Allah bukan hanya pemberi tanah, tetapi juga pengatur ritme peperangan.
- Setelah kemenangan spektakuler atas Yerikho, Kitab Yosua secara sengaja menggeser fokus dari kejayaan menuju kegagalan yang memalukan, sebuah peringatan bahwa kemenangan Israel tidak pernah bersifat otomatis atau sekadar hasil kekuatan militer belaka.(80) Kota Ai, yang jauh lebih kecil dan lemah secara militer dibandingkan Yerikho, justru berhasil mengalahkan Israel. Bukan karena keunggulan strategi atau senjata, melainkan karena pelanggaran moral yang terjadi di tengah umat.(81) Teks menegaskan bahwa “orang Israel berubah setia” (Yos. 7:1), menunjukkan bahwa dosa Akhan bukan sekadar kesalahan pribadi, tetapi telah mencemari seluruh komunitas dalam kerangka teologi perjanjian.(82) Kekalahan di Ai menjadi deklarasi teologis: ketidaktaatan moral lebih fatal daripada kekalahan militer, dan kesetiaan kepada Allah adalah syarat utama bagi keberhasilan strategis.

Respons Yosua dan para tua-tua bukanlah menyusun taktik baru, melainkan merendahkan diri secara total, merobek pakaian dan bersujud di hadapan tabut TUHAN hingga petang.(83) Ini bukan sekadar ekspresi kesedihan, tetapi bentuk pertobatan kolektif yang mendalam. Ritual penghukuman terhadap Akhan bukan hanya eksekusi atas pelanggaran, melainkan proses penyucian komunitas agar kemah Israel kembali layak menjadi tempat kehadiran Allah.(84) Pasal berikutnya (Yos. 8) memperlihatkan pola restorasi yang khas: setelah pertobatan, Allah kembali berbicara, memberikan strategi baru, dan menyertai umat-Nya dalam pertempuran yang kini berujung pada kemenangan.(85) Pakar seperti Wenham menafsirkan struktur narasi ini sebagai pelajaran tentang teologi kegagalan—bahwa kekalahan bukan akhir dari segalanya, asalkan direspons dengan pertobatan yang tulus.(86)
Dengan demikian, kisah tentang Ai bukan sekadar catatan militer, melainkan cermin perjalanan iman Israel, dan bahkan refleksi bagi gereja masa kini. Dosa yang disembunyikan akan melemahkan seluruh tubuh umat, tetapi jika dihadapi dengan pertobatan, Allah bukan hanya mengampuni, melainkan juga memulihkan reputasi dan kekuatan umat-Nya.(87) Yosua 7–8 mengingatkan kita bahwa peperangan rohani tidak hanya ditentukan oleh kekuatan eksternal, tetapi terutama oleh integritas batin yang dijaga dengan setia.
- Peristiwa perjanjian dengan orang Gibeon dalam Yosua 9 menghadirkan dimensi etis dan politis yang unik dalam narasi penaklukan.(88) Tidak seperti bangsa-bangsa lain di Kanaan yang menghadapi Israel dengan perlawanan bersenjata, Gibeon memilih pendekatan diplomasi penipuan, menyamar sebagai pelancong dari negeri jauh dengan roti basi dan pakaian lusuh demi memperoleh perlindungan.(89) Strategi ini bukan hanya cerdik, tetapi juga mencerminkan pengakuan implisit bahwa Allah Israel tak terkalahkan, sehingga cara terbaik bertahan hidup bukanlah melawan, melainkan berlindung di bawah perjanjian.(90) Ironisnya, bangsa Israel, yang baru saja diperingatkan melalui kekalahan di Ai untuk tidak bertindak tanpa bimbingan Tuhan, kembali membuat keputusan strategis tanpa terlebih dahulu meminta petunjuk ilahi (Yos. 9:14)(91).

Kesalahan ini menghasilkan perjanjian yang secara hukum tidak dapat dibatalkan, karena sumpah dalam nama TUHAN dianggap bersifat sakral dan mengikat, bahkan jika dibuat berdasarkan kelicikan.(92) Namun alih-alih membatalkan perjanjian secara paksa, Yosua memilih menyelamatkan integritas umat dengan tetap memelihara sumpah itu, sambil memberlakukan status baru bagi orang Gibeon sebagai pelayan di rumah Allah (Yos. 9:27).(93) Dengan demikian, narasi ini tidak hanya menyoroti kelemahan Israel dalam mengambil keputusan, tetapi juga menegaskan bahwa kesetiaan terhadap sumpah lebih penting daripada keuntungan militer.(94) Para penafsir seperti Walton menunjukkan bahwa keputusan Yosua mengintegrasikan bangsa asing ke dalam struktur keagamaan Israel menunjukkan pola awal inklusi ilahi yang kelak berkembang dalam sejarah penebusan.(95)
Dengan demikian, kisah Gibeon bukan hanya catatan diplomasi kuno, tetapi refleksi mendalam tentang bagaimana umat Allah harus menavigasi antara keadilan, belas kasihan, dan integritas sumpah.(96) Bahkan dalam konteks peperangan, Israel dipanggil untuk menjadi bangsa yang bukan hanya kuat, tetapi juga dapat dipercaya oleh kawan maupun musuh.
- Setelah penyelesaian perjanjian dengan orang Gibeon, Yosua memimpin serangkaian kampanye militer yang sistematis di selatan dan utara Kanaan.(97) Pasal 10 menekankan kemenangan di selatan, termasuk penghancuran lima raja Yebusit yang menyerang Gibeon (Yos. 10:1–27). Narasi ini menonjolkan intervensi supranatural Allah, seperti perpanjangan siang hari ketika matahari dan bulan “berhenti” atas perintah-Nya (Yos. 10:12–14), yang menunjukkan bahwa kemenangan Israel tidak semata-mata bergantung pada taktik militer manusia, melainkan atas penyertaan Allah yang nyata.(98)

Pasal 11 kemudian berfokus pada kampanye di utara, di mana Yosua menaklukkan kota-kota yang bersekutu melawan Israel.(99) Strategi militer Yosua menunjukkan perencanaan yang teliti, pengaturan pasukan yang disiplin, dan keberanian untuk menghadapi koalisi musuh yang lebih besar. Namun, narasi tersebut selalu menekankan bahwa keberhasilan itu bersifat teologis, Allah yang mengatur kemenangan, sementara Israel bertindak sebagai instrumen-Nya.(100) Para sejarawan seperti Nelson menekankan bahwa narasi ini juga berfungsi untuk menegaskan legitimasi klaim Israel atas tanah Kanaan, menunjukkan bahwa seluruh wilayah secara de facto dan de jure berada di bawah kuasa mereka melalui perintah Allah.(101)
Daftar raja yang ditaklukkan (Yos. 12) menutup bagian ini dengan cara yang sistematis dan legalistik, menekankan bahwa kemenangan bukan hanya peristiwa militer tetapi juga formalitas kepemilikan tanah.(102) Dengan demikian, kampanye militer di selatan dan utara menegaskan pola narasi yang berulang: keberhasilan umat Israel selalu bergantung pada ketaatan mereka kepada Allah, dan intervensi ilahi menjadi faktor penentu dalam penaklukan tanah perjanjian.
- Pasal 12 Kitab Yosua menutup bagian penaklukan dengan cara yang sangat khas: bukan dengan narasi heroik, melainkan dengan daftar sistematis raja-raja yang telah ditaklukkan oleh Israel, baik di sisi timur maupun barat Sungai Yordan.(103) Daftar ini bukan sekadar arsip sejarah, melainkan juga berfungsi sebagai dokumen legal dan teologis yang menegaskan klaim Israel atas tanah Kanaan.(104) Setiap nama raja dan wilayah yang disebut menjadi bukti konkret pencapaian Israel di bawah pimpinan Allah, sekaligus memperlihatkan konsistensi antara perintah ilahi dan pelaksanaannya oleh Yosua.(105)

Lebih dari sekadar daftar administratif, catatan ini mengandung makna teologis yang mendalam. Penekanan pada “semua raja yang ditaklukkan” menegaskan bahwa keberhasilan Israel bersifat menyeluruh, hasil dari ketaatan terhadap mandat Allah.(106) Penulis ingin menunjukkan bahwa kemenangan demi kemenangan bukanlah hasil strategi manusia semata, melainkan manifestasi kuasa Allah yang setia menepati janji-Nya. Bahkan, daftar ini secara halus mengaitkan keberhasilan militer dengan dinamika spiritual sebelumnya, seperti pertobatan setelah kegagalan di Ai dan perjanjian dengan Gibeon.(107)
Bagi pembaca masa kini, daftar ini memberikan kerangka naratif yang tertata rapi dan bermakna. Setiap kemenangan lokal dimasukkan ke dalam narasi besar tentang karya Allah yang terencana dan tidak acak.(108) Allah tidak bertindak secara sporadis, melainkan melalui proses yang melibatkan umat-Nya sebagai mitra dalam sejarah keselamatan. Maka, Pasal 12 bukan hanya penutup administratif, tetapi juga deklarasi teologis: bahwa tanah perjanjian hanya dapat dimiliki melalui kesetiaan kolektif dan penyertaan Allah. Setiap nama raja yang ditaklukkan menjadi saksi iman, bukti bahwa sejarah Israel adalah sejarah penyertaan dan janji yang ditepati.
- Wilayah yang Belum Ditaklukkan (Yosua 13)
- Meskipun Israel telah berhasil menaklukkan banyak wilayah di Kanaan, Yosua 13 menegaskan bahwa masih terdapat sejumlah tanah yang belum sepenuhnya dikuasai.(109) Pasal ini dimulai dengan catatan usia Yosua yang sudah lanjut, menekankan bahwa sebagian penaklukan akan ditangani oleh generasi berikutnya.(110) Hal ini menunjukkan keterbatasan waktu dan sumber daya umat Israel, sekaligus menekankan bahwa proses penguasaan tanah janji bersifat bertahap dan terencana.(111)

Secara teologis, wilayah yang belum ditaklukkan juga berfungsi sebagai pengingat bahwa ketaatan dan penyertaan Allah tetap diperlukan.(112) Allah menekankan bahwa sebagian wilayah tetap berada di tangan musuh bukan karena kelemahan umat, tetapi sebagai ujian kesetiaan dan sarana bagi generasi mendatang untuk mengandalkan kuasa-Nya.(113) Dengan kata lain, penguasaan tanah bukan hanya pencapaian militer, tetapi refleksi dari rencana keselamatan Allah yang berkesinambungan dan memerlukan keterlibatan aktif umat.(114)
Pasal 13 juga menggarisbawahi pembagian administratif: beberapa wilayah ditetapkan untuk suku-suku Israel, sementara yang lain tetap menjadi wilayah “perbatasan” yang harus ditaklukkan.(115) Pola ini menekankan keseimbangan antara pewarisan yang sah dan tanggung jawab berkelanjutan umat Israel untuk memelihara tanah yang dijanjikan Allah. Dengan demikian, bagian ini memadukan sejarah, teologi, dan administrasi dalam satu narasi sistematis tentang penguasaan tanah Kanaan.
- Pembagian tanah dalam Yosua 14–19 merupakan salah satu bagian terpenting dalam struktur kitab ini karena menandai transformasi Israel dari komunitas peziarah dan penakluk menjadi masyarakat yang menetap secara terorganisir.(116) Proses ini tidak dilakukan secara sepihak oleh Yosua, melainkan melalui undian di hadapan Tuhan di Silo, menunjukkan bahwa distribusi wilayah bukan hasil favoritisme politik, tetapi tindakan teologis yang menegaskan bahwa Allah sendiri menjadi “pewaris tanah” bagi umat-Nya.(117) Narasi ini menggabungkan unsur administratif, yudisial, dan liturgis menjadi satu kesatuan, memperlihatkan bahwa penataan sosial Israel berdasar pada kedaulatan dan kehadiran Allah di tengah umat.(118)

Bagian ini juga menyoroti kisah iman personal, khususnya pada sosok Kaleb dari suku Yehuda. Ia menuntut wilayah Hebron berdasarkan janji yang diberikan Musa empat puluh lima tahun sebelumnya, dan imannya digambarkan sebagai teladan bagi generasi berikut.(119) Dengan memasukkan kisah ini ke dalam konteks administratif yang kaku, penulis kitab Yosua menunjukkan bahwa pembagian tanah bukan sekadar transaksi legal, tetapi merupakan manifestasi kesetiaan Allah kepada mereka yang tetap teguh dalam kepercayaan.(120) Dengan demikian, distribusi tanah mengandung dimensi memorial dan profetis, mengingatkan umat akan janji masa lalu dan mengarahkan mereka pada tanggung jawab masa depan.
Selain itu, keberadaan beberapa suku yang mengeluh karena wilayahnya dianggap terlalu sempit (misalnya suku Yusuf) menunjukkan bahwa penerimaan warisan Allah pun membutuhkan kerja keras dan keberanian untuk mengelola serta memperluas wilayah yang telah diberikan.(121) Yosua tidak menenangkan mereka dengan kompromi politik, tetapi menantang mereka untuk menebang hutan dan mengusir para penduduk raksasa yang masih tersisa.(122) Hal ini menunjukkan bahwa warisan ilahi tidak bersifat pasif; sekalipun diberikan oleh anugerah, tetap harus dirawat melalui usaha dan keberanian.(123) Dengan demikian, bagian pembagian tanah ini tidak hanya mencatat sejarah administratif Israel, tetapi memuat teologi kerja, iman, dan tanggung jawab komunitas perjanjian.
- Setelah pembagian tanah kepada suku-suku Israel, Yosua 20–21 mencatat penetapan kota perlindungan dan kota orang Lewi sebagai dua institusi sosial-keagamaan yang bertujuan menjaga keadilan dan kekudusan umat.(124) Kota perlindungan (Ibrani: ʿārê miqlāṭ) disediakan bagi mereka yang secara tidak sengaja membunuh seseorang agar terhindar dari pembalasan darah oleh go’el (penuntut darah) hingga pengadilan berlangsung.(125) Dengan demikian, konsep ini memperlihatkan perpaduan antara keadilan restoratif dan perlindungan hukum, jauh sebelum lahirnya sistem peradilan modern. (126) Sistem ini memastikan bahwa masyarakat Israel tidak jatuh pada siklus balas dendam tribal, tetapi tetap mengakui nilai kehidupan manusia sekaligus kewajiban penegakan hukum.(127)

Sementara itu, kota-kota orang Lewi (Yosua 21) mencerminkan peran unik suku Lewi sebagai pelayan rohani dan pengajar hukum Taurat.(128) Karena mereka tidak menerima wilayah khusus seperti suku-suku lain, Allah sendiri menjadi bagian mereka; sebaliknya, mereka diberi kota-kota tersebar di seluruh tanah Israel agar fungsi pengajaran Taurat dapat menjangkau seluruh komunitas.(129) Dengan demikian, sistem ini menciptakan jaringan rohani dan edukatif yang menopang kehidupan keagamaan bangsa Israel secara merata.(130) Selain itu, penempatan suku Lewi di wilayah berbagai suku sekaligus berfungsi sebagai pengawas moral komunitas, menjaga agar seluruh bangsa tetap setia pada perjanjian dengan Allah.(131)
Kedua sistem ini, kota perlindungan dan kota Lewi, menegaskan bahwa penataan tanah dalam kitab Yosua bukan semata-mata proyek agraria atau militer, tetapi juga proyek etika dan teologi.(132) Tanah bukan hanya tempat tinggal, tetapi ruang kudus yang harus dijaga dengan keadilan dan kesetiaan pada hukum Allah. Dengan demikian, Yosua 20–21 menghadirkan model masyarakat yang menyeimbangkan keamanan, hukum, pendidikan rohani, dan penyembahan, menjadikan struktur sosial Israel sebagai cerminan pemerintahan Allah sendiri.(133)
- Peringatan kepada suku-suku di seberang Yordan (Yosua 22)
- Setelah tugas militer bersama selesai, dua suku setengah yakni Ruben, Gad, dan setengah suku Manasye, diizinkan kembali ke wilayah mereka di sebelah timur Sungai Yordan sebagaimana telah dijanjikan Musa sebelumnya (bdk. Bilangan 32).(134) Namun, sebelum meninggalkan tanah Kanaan, Yosua memberikan peringatan tegas agar mereka tetap berpegang pada hukum Tuhan dan tidak melepaskan diri dari ikatan perjanjian bangsa Israel.(135) Hal ini menegaskan bahwa sekalipun mereka tinggal secara geografis terpisah, secara teologis mereka tetap bagian dari umat perjanjian.(136) Dengan kata lain, identitas Israel tidak ditentukan oleh lokasi geografis, melainkan oleh kesetiaan pada Taurat dan penyembahan kepada Allah yang esa.(137)

Ketegangan muncul ketika suku-suku di seberang Yordan membangun sebuah mezbah besar dekat sungai, yang segera disalahpahami oleh suku-suku lainnya sebagai bentuk pemberontakan agama.(138) Reaksi keras dari Israel barat menunjukkan betapa seriusnya ancaman perpecahan ibadah dianggap dalam komunitas perjanjian.(139) Namun, klarifikasi dari suku-suku timur mengungkap bahwa mezbah tersebut bukan untuk pengorbanan, melainkan sebagai tanda kesaksian (‘ed) agar generasi mendatang tidak melupakan bahwa mereka pun bagian dari Israel.(140) Dengan demikian, konflik ini diselesaikan melalui dialog dan penegasan kembali loyalitas kepada Allah, bukan melalui kekerasan.(141)
Narasi ini memiliki makna teologis mendalam: kesatuan umat Allah harus dijaga bukan hanya melalui kesamaan wilayah, tetapi melalui komitmen bersama terhadap penyembahan yang benar.(142) Selain itu, pembentukan mezbah sebagai “monumen kesaksian” menyiratkan pentingnya simbol-simbol iman dalam menjaga solidaritas lintas generasi.(143) Dengan demikian, Yosua 22 tidak hanya berbicara tentang potensi perpecahan, tetapi juga tentang bagaimana komunitas umat Allah seharusnya mengelola perbedaan tanpa kehilangan kesatuan di bawah satu perjanjian.
- Menjelang akhir hidupnya, Yosua menyampaikan pidato perpisahan kepada para pemimpin dan tua-tua Israel sebagaimana Musa lakukan sebelumnya (bdk. Ulangan 31–33), sehingga membingkai dirinya dalam kesinambungan tradisi kenabian dan kepemimpinan teokratik.(144) Pidato ini tidak hanya bersifat emosional atau seremonial, melainkan berfungsi sebagai renewed covenant exhortation, sebuah seruan penguatan identitas dan ketaatan umat setelah fase penaklukan beralih ke fase pemeliharaan warisan.(145) Dalam pidatonya, Yosua mengingatkan bahwa seluruh keberhasilan Israel dalam menaklukkan bangsa-bangsa adalah semata-mata karena Allah yang berperang bagi mereka, bukan karena kekuatan militer mereka sendiri.(146) Dengan demikian, teologi peperangan dalam kitab ini diarahkan kembali kepada teologi ketergantungan: kemenangan masa lalu menjadi argumen untuk kesetiaan masa depan.(147)

Peringatan utama dalam pidato ini adalah agar Israel tidak berbaur dengan bangsa-bangsa kafir yang masih tersisa di tengah mereka, baik melalui interaksi agama maupun hubungan pernikahan.(148) Yosua menggunakan bahasa perjanjian yang sangat kuat: jika Israel berpaling dan bersatu dengan bangsa-bangsa asing itu, maka Allah tidak akan lagi menghalau musuh-musuh mereka, dan bangsa-bangsa itu akan menjadi “jerat dan perangkap,” “cambuk pada lambung,” serta “duri di mata” mereka.(149) Bahasa figuratif ini menekankan bahwa kompromi rohani bukanlah bentuk toleransi, tetapi pengkhianatan terhadap Allah yang telah membuktikan kesetiaan-Nya.(150) Dengan demikian, pesan Yosua bersifat defensif terhadap asimilasi budaya sekaligus ofensif dalam mempertahankan kekudusan umat.
Pidato ini ditutup dengan pengakuan pribadi Yosua bahwa dirinya akan segera “meninggalkan jalan segala yang fana” (Yos. 23:14), namun ia menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa “tidak ada satu pun dari segala janji Tuhan yang telah gagal.”(151) Pernyataan ini bukan sekadar kesaksian pribadi, melainkan fondasi teologis bagi generasi berikutnya: jika Allah telah terbukti setia, maka Israel tidak memiliki alasan untuk tidak setia.(152) Dengan demikian, pidato perpisahan Yosua bukan hanya akhir dari kepemimpinan seorang tokoh, tetapi juga momentum pembaruan komitmen nasional, meneguhkan bahwa keberlanjutan umat Allah tidak tergantung pada figur manusia, melainkan pada kesetiaan mereka terhadap perjanjian yang kekal.(153)
- Setelah menyampaikan pesan perpisahannya, Yosua mengumpulkan seluruh bangsa Israel di Sikhem untuk sebuah momen penting: pembaharuan perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Tempat ini bukan dipilih secara kebetulan — Sikhem memiliki makna historis dan teologis yang kuat. Di sinilah Abraham pertama kali menerima janji Allah tentang tanah Kanaan,(154) dan di tempat ini pula Yakub mendirikan mezbah sebagai tanda pengakuan kepada Allah Israel.(155) Dengan demikian, Yosua secara sengaja membawa bangsa itu kembali ke titik awal sejarah iman mereka, seakan menegaskan bahwa keberadaan mereka di tanah perjanjian bukanlah hasil dari kehebatan militer, melainkan bukti kesetiaan Allah terhadap janji-Nya.

Dalam pidatonya, Yosua meninjau kembali seluruh karya Allah sejak pemanggilan Abraham hingga penaklukan Kanaan, menekankan bahwa semua kemenangan mereka adalah anugerah Allah semata: “Bukan engkau yang berperang dengan pedangmu dan dengan panahmu.(156) Narasi ini bukan sekadar kilas balik, tetapi berfungsi sebagai argumen teologis yang mendasari tuntutannya selanjutnya: jika Allah telah setia sepenuhnya, maka Israel wajib merespons dengan ketaatan total. Yosua kemudian mengajukan deklarasi terkenal, “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan!”(157) sebuah pernyataan yang bukan hanya bersifat pribadi, tetapi juga menjadi tantangan publik kepada seluruh umat agar menetapkan pilihan mereka secara sadar.
Bangsa itu menanggapi dengan janji mereka sendiri, menyatakan kesediaan untuk setia kepada Tuhan. Sebagai penegasan hukum transaksi perjanjian kuno, Yosua menulis perjanjian itu dalam kitab Taurat dan menegakkan sebuah batu besar sebagai “saksi” terhadap sumpah mereka.(158) Praktik ini paralel dengan bentuk perjanjian suzerain-vassal di dunia Timur Dekat kuno, di mana perjanjian tidak hanya diikrarkan secara lisan, tetapi diikat melalui dokumentasi dan simbol fisik agar generasi berikutnya tidak melupakannya.(159) Dengan demikian, pembaharuan perjanjian di Sikhem menjadi klimaks spiritual dari seluruh kitab Yosua: bukan hanya penaklukan geografis yang menjadi tujuan akhir, melainkan peneguhan kembali relasi perjanjian antara Allah dan umat-Nya sebagai landasan keberlangsungan bangsa itu.
- Kematian Yosua dicatat dengan nada kehormatan dan ketenangan, menandai berakhirnya satu era penting dalam sejarah Israel. Teks menyebut bahwa Yosua wafat pada usia seratus sepuluh tahun, usia yang sama dengan Yusuf (Kej. 50:26), sehingga penulis sengaja menghubungkan keduanya sebagai figur besar yang menutup dua masa transisi besar umat Allah: dari leluhur ke perbudakan Mesir, dan dari padang gurun ke tanah perjanjian.(160) Pemilihan usia ini tidak hanya mencatat fakta historis, melainkan juga berfungsi sebagai simbol kepenuhan hidup yang diberkati oleh Allah. Yosua kemudian dikuburkan di wilayah miliknya sendiri di Timnat-Serah, di pegunungan Efraim.(161) Ini penting, sebab ia bukan hanya pemimpin yang membagi tanah bagi umatnya, tetapi juga seorang pewaris sah atas janji itu, tanda bahwa pemimpin sejati dalam Israel tidak hanya memberi instruksi, tetapi ikut serta dalam warisan iman yang ia perjuangkan.(162)

Catatan akhir kitab ini menyebut bahwa “Israel beribadah kepada Tuhan sepanjang zaman Yosua dan para tua-tua yang hidup lebih lama daripadanya” (Yos. 24:31), menunjukkan bahwa integritas kepemimpinan memiliki pengaruh langsung terhadap kesetiaan kolektif umat.(163) Banyak penafsir menilai bagian ini sebagai salah satu evaluasi kepemimpinan paling positif dalam seluruh Alkitab, sebab tidak ada catatan kemurtadan selama masa Yosua, sebuah kontras tajam dengan kitab Hakim-hakim yang mengikutinya, di mana setiap orang “berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hak. 21:25).(164) Dengan demikian, kematian Yosua bukan hanya penutup biografi seorang tokoh, tetapi penanda momentum spiritual: stabilitas iman Israel ternyata sangat bergantung pada hadirnya figur pemimpin yang setia.(165)
Penutup kitab ini juga mencatat penguburan tulang-tulang Yusuf yang telah lama disimpan sejak zaman Keluaran, dan kini dimakamkan di Sikhem (Yos. 24:32).(166) Ini merupakan tanda bahwa janji Allah kepada para leluhur akhirnya tergenapi secara penuh, bukan hanya secara teritorial, tetapi juga secara memorial dan teologis. Sementara itu, Eleazar bin Harun, imam besar, juga dicatat wafat dan dikuburkan di tanah milik anaknya (Yos. 24:33), sehingga seluruh generasi pemimpin perintis kini benar-benar “diserahkan kepada tanah perjanjian” yang dahulu hanya dijanjikan.(167) Dengan demikian, penutup Kitab Yosua membentuk semacam liturgi penggenapan: tanah telah ditaklukkan, perjanjian diperbarui, tulang leluhur dimakamkan, dan para pemimpin ditempatkan dalam perhentian kekal, menegaskan bahwa karya Allah berlangsung lintas generasi dan tidak terputus oleh kematian hamba-hamba-Nya.(168)
Tema-tema Teologis Inti
(A). Kesetiaan Allah terhadap Janji-Nya- Salah satu tema teologis paling menonjol dalam Kitab Yosua adalah penegasan bahwa Allah setia kepada janji yang telah Dia ucapkan kepada para leluhur Israel. Narasi penaklukan dan distribusi tanah bukan sekadar catatan politik atau militer, melainkan deklarasi bahwa “Tuhan telah memberikan kepada Israel seluruh negeri yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyang mereka” (Yos. 21:43).(169) Pernyataan eksplisit ini, yang muncul pada bagian klimaks kitab, menandakan bahwa inti dari seluruh kisah bukan pada keberhasilan strategi manusia, melainkan pada konsistensi komitmen ilahi. Marten Woudstra mencatat bahwa formula “Tuhan memberi” (Ibrani: wayyitten), yang berulang di sepanjang kitab, berfungsi sebagai refrén teologis untuk menegaskan bahwa setiap kemenangan Israel adalah konsekuensi langsung dari kesetiaan Allah, bukan kemampuan mereka.(170) Dengan demikian, Kitab Yosua menampilkan Allah sebagai pelaku utama sejarah, dan Yosua hanya sebagai instrumen pelaksanaan kehendak janji itu.
Kesetiaan Allah yang ditegaskan dalam Yosua tidak bersifat abstrak, melainkan historis dan konkret. Janji kepada Abraham mengenai tanah (Kej. 12:7; 15:18–21) diteruskan kepada Ishak dan Yakub, lalu diperkuat kembali kepada Musa (Kel. 6:4), sebelum akhirnya diaktualisasikan melalui Yosua.(171) Martin Noth menyebut kitab ini sebagai “dokumen penggenapan” dari siklus janji-perjanjian yang dimulai dalam Pentateukh, sehingga ia harus dibaca sebagai bagian akhir dari drama teologis panjang, bukan sebagai narasi yang berdiri sendiri.(172) ahkan frasa “tidak satu pun dari segala yang baik yang dijanjikan TUHAN kepada kaum Israel yang gagal” (Yos. 21:45) berfungsi sebagai formula liturgis untuk menutup konflik janji dan pengembaraan, sekaligus menyiapkan landasan bagi refleksi lebih lanjut dalam kitab-kitab sesudahnya.(173)
Menariknya, penegasan kesetiaan Allah dalam Kitab Yosua tidak dimaksudkan untuk menghasilkan sikap fatalistik atau pasif dalam diri umat, melainkan untuk membangun kepercayaan aktif dan ketaatan total. Dale Ralph Davis menekankan bahwa penggenapan janji Allah di dalam Yosua harus dipandang bukan sebagai akhir dari cerita, melainkan sebagai prolog bagi ketaatan generasi baru.(174) Dengan kata lain, Allah tidak hanya setia dalam memberi, tetapi juga konsisten dalam menuntut respons. Oleh karena itu, kesetiaan Allah dalam Kitab Yosua bersifat kovenantal, yaitu kesetiaan yang selalu mengundang umat untuk tetap tinggal dalam komitmen yang sama. Ini menegaskan bahwa dalam teologi Yosua, janji ilahi bukan kontrak statis, melainkan relasi dinamis yang terus berlanjut sepanjang sejarah umat.
- Salah satu tema teologis yang menonjol dalam Kitab Yosua adalah penekanan bahwa keberhasilan umat Allah tidak ditentukan oleh kekuatan militer, strategi politik, ataupun jumlah pasukan, melainkan oleh ketaatan mereka terhadap firman Tuhan.(175) Sejak awal, Yosua diperingatkan bahwa kesuksesannya sebagai pemimpin tidak bergantung pada kecakapan berperang, tetapi pada komitmennya untuk “merenungkan Taurat siang dan malam” dan melakukannya dengan setia (Yos. 1:8).(176) Dengan demikian, Taurat bukan hanya norma etis, tetapi fondasi eksistensial bagi keberlangsungan hidup bangsa Israel di Tanah Perjanjian. Pola ini ditegaskan kembali dalam seluruh kitab: setiap kemenangan besar, seperti di Yerikho, dikaitkan dengan ketaatan, sementara setiap kegagalan, seperti kekalahan di Ai, dikaitkan dengan pelanggaran terhadap perintah Tuhan.(177)
Narasi Yosua 7–8 menjadi contoh paling eksplisit bagaimana satu tindakan ketidaktaatan dari individu (Akhan) dapat membawa dampak kolektif terhadap seluruh bangsa.(178) Hal ini menunjukkan bahwa dalam teologi Perjanjian Lama, ketaatan bukan hanya urusan personal tetapi juga bersifat komunal. Tidak heran jika kata ḥērem (larangan mutlak atau benda yang dikhususkan bagi Tuhan) menjadi konsep kunci yang menuntut Israel untuk menjaga kekudusan mereka dari segala bentuk kompromi spiritual.(179) Kegagalan untuk mematuhi prinsip ini berarti menyingkirkan perlindungan Allah dari tengah-tengah umat-Nya, sebagaimana dinyatakan melalui firman Tuhan: “Aku tidak akan menyertai kamu lagi, jika barang yang dikhususkan itu tidak kamu lenyapkan” (Yos. 7:12).(180)
Tema ini tidak hanya relevan secara historis tetapi juga memiliki implikasi etis bagi pembacaan kontemporer. Kesuksesan rohani tidak pernah dijanjikan tanpa ketaatan yang konkret terhadap kehendak Allah. Kesetiaan kepada perintah Tuhan bukan sekadar respons emosional terhadap anugerah, tetapi merupakan syarat operasional bagi partisipasi dalam karya penyelamatan-Nya.(181) Dengan demikian, ketaatan dalam Kitab Yosua harus dipahami bukan sebagai legalisme, tetapi sebagai ekspresi kesetiaan perjanjian yang memungkinkan umat Allah hidup dalam kehadiran dan perlindungan-Nya.(182)
- Salah satu tema sentral dalam Kitab Yosua adalah penggambaran Allah bukan hanya sebagai pemberi janji, melainkan juga sebagai prajurit ilahi yang secara aktif berperang menggantikan umat-Nya.(183) Kemenangan Israel atas berbagai kerajaan Kanaan tidak dipresentasikan sebagai hasil superioritas militer atau strategi manusia, tetapi sebagai manifestasi langsung dari intervensi Allah.(184) Dalam kisah runtuhnya tembok Yerikho (Yosua 6), peran umat Israel sangat minimal, mereka hanya diperintahkan berbaris dan bersorak, sementara kuasa Allah-lah yang membuat tembok itu roboh.(185) Demikian pula pada pertempuran di Gibeon (Yosua 10), narator menekankan bahwa lebih banyak musuh mati karena hujan batu dari langit daripada oleh pedang Israel.(186) Hal ini menunjukkan teologi perang yang unik dalam tradisi Israel: umat bukanlah subjek utama peperangan, melainkan saksi atas tindakan Allah sebagai panglima agung.(187)
Konsep YHWH sebagai pejuang (Ibrani: YHWH tsaba’ot, “Tuhan semesta tentara”) bukan hanya bersifat metaforis, melainkan menjadi kerangka teologis yang menentukan cara Israel memahami sejarahnya.(188) Dalam Keluaran 15:3 Allah diperkenalkan sebagai “Pahlawan Perang,” dan tema ini berlanjut dalam Kitab Yosua sebagai perwujudan konkret dari deklarasi tersebut.(189) Namun, keberpihakan Allah dalam peperangan selalu bersyarat: ketika Israel taat, Allah bertindak; tetapi ketika mereka berdosa, seperti dalam kasus Akhan (Yosua 7), Allah menarik dukungan-Nya dan Israel mengalami kekalahan.(190) Maka teologi peperangan dalam Yosua tidak bersifat imperialistis, melainkan bersifat perjanjian, Allah hanya berperang bagi umat yang setia kepada-Nya.(191)
Dari perspektif kanonis, tema ini menjadi dasar bagi pemahaman eskatologis dalam kitab-kitab kemudian. Dalam Mazmur 24 dan 46, Allah digambarkan sebagai Raja Peperangan; dalam kitab para nabi, terutama Yesaya 59 dan Zakharia 14, Allah akan kembali berperang untuk membebaskan umat-Nya pada akhir zaman.(192) Bahkan dalam Perjanjian Baru, gambaran Kristus sebagai prajurit apokaliptik (misalnya Wahyu 19:11–16) merupakan perkembangan dari motif Yosua: Allah adalah pejuang yang tidak pernah dikalahkan.(193) Dengan demikian, tema “Allah sebagai pejuang” dalam Kitab Yosua bukan sekadar catatan historis, tetapi fondasi teologis bagi doktrin providensia dan penebusan eskatologis dalam keseluruhan narasi Alkitab.(194)
- Dalam teologi Kitab Yosua, tanah bukan sekadar aset geografis atau hasil ekspansi militer, melainkan anugerah ilahi yang diberikan berdasarkan janji Allah kepada nenek moyang Israel.(195) Penekanan pada istilah “menerima bagian” (Ibrani: nḥl, diwarisi) menunjukkan bahwa tanah Kanaan dipandang bukan sebagai hasil usaha manusia semata, tetapi sebagai pemberian yang bersifat karunia.(196) Struktur narasi pembagian tanah dalam Yosua 13–21 mendukung perspektif ini: seluruh proses pembagian dilakukan “di hadapan Tuhan” (Yos. 18:6), dengan imam dan pemimpin suku bertindak hanya sebagai pihak administratif, bukan pemilik otoritas final.(197) Dengan demikian, kepemilikan tanah dalam perspektif Israel bersifat teonomik, Allah tetap pemilik utamanya (Leviticus 25:23), sementara Israel hanya pengelola yang menerima mandat.(198)
Namun sifatnya sebagai anugerah tidak meniadakan unsur tanggung jawab. Hak atas tanah selalu disertai dengan kewajiban hidup sesuai dengan hukum perjanjian.(199) Dalam Yosua 23:15–16, Yosua memperingatkan bahwa jika Israel menyimpang dan mengikuti ilah lain, maka tanah yang telah diberikan itu dapat dicabut kembali melalui intervensi Allah.(200) Dengan demikian, tanah bukan hak absolut, tetapi hak bersyarat, diterima melalui ketaatan dan dapat hilang melalui pembangkangan.(201) Pola ini juga menjadi dasar bagi teologi kemudian, terutama dalam kitab para nabi seperti Yeremia dan Hosea, di mana pembuangan ke Asyur dan Babel dipahami sebagai konsekuensi dari kegagalan menjaga tanggung jawab perjanjian atas tanah.(202)
Konsep tanah sebagai anugerah sekaligus tanggung jawab menciptakan keseimbangan antara teologi pemberian (grace) dan teologi perjanjian (obedience).(203) Ia menolak dua ekstrem: pertama, gagasan bahwa janji Allah menjadikan Israel kebal terhadap konsekuensi moral; dan kedua, anggapan bahwa tanah hanya dapat dipertahankan melalui usaha politik atau militer.(204) Dalam narasi biblika, keberlanjutan berdiam di tanah tidak ditentukan oleh kekuatan militer melainkan integritas spiritual.(205) Dengan demikian, teologi tanah dalam Yosua tidak bersifat eksklusif-etnis, melainkan etis-kovenantal: tanah adalah panggilan untuk hidup dalam kesetiaan, bukan sekadar simbol dominasi.(206)
- Perjanjian (berit) merupakan konsep fundamental dalam Kitab Yosua dan menjadi bingkai teologis yang menentukan identitas umat Israel.(207) Identitas Israel tidak dibangun atas dasar etnisitas, superioritas budaya, atau kekuatan militer, melainkan atas status mereka sebagai umat yang hidup dalam relasi kovenantal dengan YHWH.(208) Hal ini ditegaskan secara eksplisit dalam Yosua 24, ketika Yosua mengadakan pembaharuan perjanjian di Sikhem dan menuntut bangsa itu untuk menyatakan secara publik komitmen mereka: “Pilihlah pada hari ini siapa yang kamu layani” (Yos. 24:15).(209) Ritual tersebut bukan sekadar peneguhan moral, melainkan deklarasi jati diri kolektif—bahwa keberadaan Israel sebagai bangsa hanya sah sejauh mereka berpegang pada perjanjian Allah.(210)
Struktur liturgis dalam Yosua 24 mencerminkan pola suzerainty treaty (perjanjian kerajaan-ketergantungan) yang dikenal dalam budaya Timur Dekat Kuno.(211) Dalam model tersebut, raja agung (suzerain) memberikan perlindungan dan tanah kepada vasalnya, sementara sang vassal wajib menunjukkan kesetiaan eksklusif.(212) Dengan menggunakan pola ini, narator kitab Yosua menyampaikan bahwa hubungan Israel dengan YHWH bersifat legal-kovenantal: Allah adalah Raja dan Israel adalah umat perjanjian-Nya.(213) Penyimpangan dari kesetiaan kepada YHWH secara otomatis dianggap sebagai pengkhianatan (treason), sebagaimana dinyatakan dalam ancaman Yosua: “Jika kamu meninggalkan YHWH dan beribadah kepada allah lain, maka Ia akan berbalik melawan kamu” (Yos. 24:19–20).(214) Maka, perjanjian tidak hanya memberi hak keagamaan, tetapi juga menetapkan batas moral dan sosial yang membedakan Israel dari bangsa-bangsa lain.(215)
Signifikansi perjanjian dalam Kitab Yosua melampaui konteks historisnya dan menjadi fondasi bagi perkembangan teologi Alkitab selanjutnya.(216) Dalam kitab Hakim-hakim, kemunduran Israel selalu dikaitkan dengan pelanggaran perjanjian; dalam kitab nabi-nabi, seruan utama mereka bukan inovasi doktrin, melainkan panggilan kembali kepada perjanjian yang telah dilupakan.(217) Bahkan dalam Perjanjian Baru, konsep Perjanjian Baru dalam darah Kristus (Luk. 22:20) dipahami sebagai kelanjutan dan penggenapan dari kerangka kovenantal yang ditetapkan sejak Yosua.(218) Dengan demikian, tema perjanjian dalam Kitab Yosua menegaskan bahwa umat Allah tidak didefinisikan oleh garis keturunan atau wilayah, tetapi oleh kesetiaan pada komitmen relasional terhadap Allah yang hidup.(219)
Relevansi Teologis bagi Iman Kristen Masa Kini
(A). Janji Allah yang Pasti Digenapi di dalam Kristus- Kitab Yosua menegaskan bahwa janji Allah mengenai tanah perjanjian dan keselamatan umat-Nya bukan sekadar retorika historis, tetapi penggenapan yang pasti atas kehendak Ilahi.(220) Dalam konteks Perjanjian Lama, janji ini diberikan kepada Abraham dan keturunannya sebagai warisan yang dijamin oleh Allah (Kej. 12:1–7; 15:18–21).(221) Narasi Yosua menekankan keberlanjutan janji tersebut melalui pemeliharaan dan bimbingan Allah bagi umat-Nya dalam memasuki tanah Kanaan (Yos. 1:1–9), menunjukkan bahwa janji Allah terealisasi secara nyata bagi mereka yang hidup dalam ketaatan dan iman.(222)
Dalam perspektif Kristen kontemporer, janji Allah yang digenapi di Yosua dipandang sebagai tipologi atau gambaran yang lebih lengkap dalam Kristus.(223) Kristus hadir sebagai penggenapan janji Allah kepada Abraham dan Israel, yang bukan lagi hanya mengenai tanah fisik, tetapi tanah rohani dan keselamatan universal.(224) Dengan demikian, umat Kristen di Lakahang dan sekitarnya, yang menghadapi tantangan sosial, ekonomi, dan pendidikan, dapat meneguhkan iman bahwa penggenapan janji Allah selalu nyata dan berlaku bagi setiap orang yang percaya, meskipun wujudnya mungkin tidak selalu langsung terlihat.(225)
Kesadaran akan janji Allah yang pasti digenapi membentuk kerangka hidup spiritual masyarakat Lakahang.(226) Janji tersebut menumbuhkan harapan yang stabil di tengah keterbatasan pedesaan dan perubahan sosial budaya. Ia mengajarkan bahwa iman yang teguh bukan sekadar penerimaan pasif, melainkan melibatkan partisipasi aktif dalam menjaga nilai rohani, membangun komunitas yang setia, dan mengelola sumber daya secara bijaksana.(227) Dengan demikian, penggenapan janji Allah di dalam Kristus tidak hanya bersifat teologis abstrak, tetapi memiliki implikasi konkret bagi kehidupan umat sehari-hari.(228)
- Ketaatan merupakan salah satu tema sentral dalam Kitab Yosua, di mana keberhasilan Israel dalam menaklukkan tanah Kanaan sangat terkait dengan kepatuhan mereka terhadap perintah Allah (Yos. 1:7–8; 6:2–5).(229) Narasi ini menekankan bahwa ketaatan bukan sekadar ritual formalitas, melainkan wujud nyata iman yang memengaruhi kehidupan sehari-hari.(230) Bagi masyarakat Kristen, khususnya di Lakahang, ketaatan ini dapat dipahami sebagai penerapan prinsip rohani dalam konteks sosial dan budaya: mematuhi ajaran iman, menjaga integritas moral, dan aktif berperan dalam komunitas gereja maupun masyarakat.(231)
Dalam praktik teologis, ketaatan dalam Kitab Yosua bersifat dinamis; ia menuntut kesetiaan yang terus-menerus, bukan kepatuhan sesaat.(232) Misalnya, peristiwa kekalahan Israel di Ai (Yos. 7) menegaskan bahwa pelanggaran terhadap hukum Allah membawa konsekuensi serius, sementara pertobatan dan ketaatan kembali mendatangkan pemulihan (Yos. 8:1–29).(233) Pola ini memberikan pelajaran bahwa iman yang hidup selalu berwujud dalam tindakan yang konsisten dengan prinsip perjanjian Allah. Bagi generasi muda dan masyarakat pedesaan di Lakahang, hal ini dapat menjadi pedoman etis dan motivasi untuk membangun kehidupan yang produktif, disiplin, dan setia pada nilai-nilai rohani sekaligus sosial.(234)
Ketaatan sebagai wujud iman yang hidup juga menekankan dimensi kolektif.(235) Komunitas gereja di Lakahang dapat melihat ketaatan sebagai tanggung jawab bersama: menjaga persatuan, memelihara tradisi dan adat yang mendukung nilai moral, serta mengupayakan kesejahteraan sosial-ekonomi warga.(236) Dalam perspektif teologis, tindakan ketaatan ini memperteguh identitas umat Allah yang hidup sesuai perjanjian, sehingga iman Kristen tidak hanya menjadi konsep teoretis, tetapi menuntun masyarakat untuk hidup sebagai umat yang terlibat, peduli, dan produktif.(237)
- Kitab Yosua menekankan bahwa tanah perjanjian bukan sekadar wilayah geografis, melainkan simbol bagi panggilan rohani umat Allah untuk hidup kudus dan setia kepada perjanjian-Nya.(238) Tanah perjanjian rohani menggambarkan kehidupan yang diarahkan oleh iman, ketaatan, dan kesetiaan kepada Allah, yang diwujudkan melalui tindakan nyata dalam komunitas.(239) Bagi jemaat Kristen di Lakahang, prinsip ini relevan dalam konteks sosial, budaya, dan ekonomi, di mana kehidupan kudus menuntut pemisahan diri dari praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai iman serta pelestarian norma moral dan tradisi positif.(240)
Hidup kudus di tanah perjanjian rohani menuntut keterlibatan aktif dalam membangun komunitas yang selaras dengan kehendak Allah.(241) Ketaatan pada ajaran rohani, partisipasi dalam pembangunan ekonomi lokal, solidaritas sosial, dan pengelolaan sumber daya secara bijaksana merupakan wujud konkret dari panggilan ini.(242) Narasi Yosua menegaskan bahwa keberhasilan umat Allah tidak hanya terletak pada penguasaan wilayah fisik, tetapi pada kesetiaan dan integritas rohani yang konsisten melalui iman dan ketaatan.(243)
Selain dimensi individu, panggilan hidup kudus juga membentuk identitas kolektif umat Allah.(244) Gereja di Lakahang dapat menafsirkan hal ini sebagai pembinaan jemaat yang holistik, meliputi pendidikan rohani, penguatan karakter, pelayanan sosial, dan peran aktif dalam memelihara nilai-nilai moral masyarakat.(245) Dengan demikian, “tanah perjanjian rohani” menjadi arena bagi umat untuk mengekspresikan iman secara nyata, menguatkan komunitas, dan berkontribusi bagi kesejahteraan sosial yang sejalan dengan kehendak Allah.(246)
- Kitab Yosua menegaskan bahwa keberhasilan umat Allah tidak lepas dari kepemimpinan ilahi, baik dalam penaklukan tanah maupun dalam pemeliharaan perjanjian.(247) Prinsip ini memberikan dasar teologis bagi gereja sebagai komunitas rohani yang dipimpin oleh Allah dalam pelaksanaan misi. Dalam konteks Lakahang, gereja tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pembinaan moral, sosial, dan spiritual bagi masyarakat pedesaan yang menghadapi berbagai tantangan sosial-ekonomi dan perubahan budaya.(248)
Kehadiran gereja sebagai komunitas misi menuntut partisipasi aktif jemaat dalam pelayanan dan pembangunan masyarakat.(249) Sama seperti Israel yang dipimpin Allah untuk menaklukkan tanah Kanaan, gereja dipanggil untuk bergerak secara kolektif demi kebaikan umat, melestarikan nilai-nilai rohani, mendukung pendidikan generasi muda, dan mendorong usaha ekonomi lokal.(250) Hal ini menunjukkan bahwa misi gereja tidak terbatas pada dimensi liturgis semata, tetapi mencakup transformasi sosial dan penguatan komunitas yang selaras dengan prinsip-prinsip alkitabiah.(251)
Lebih jauh, gereja sebagai komunitas yang dipimpin Allah menguatkan identitas rohani umat dan kesadaran akan tanggung jawab kolektif.(252) Bagi jemaat di Lakahang, hal ini berarti meneguhkan peran gereja sebagai agen perubahan positif, memfasilitasi interaksi antara iman dan kehidupan nyata, serta membangun solidaritas sosial yang berakar pada prinsip kasih dan ketaatan.(253) Dengan demikian, keberadaan gereja bukan hanya sebagai institusi keagamaan, tetapi sebagai komunitas yang bergerak secara sadar dalam misi ilahi, menjaga tanah perjanjian rohani, dan membimbing umat menuju kehidupan kudus serta produktif.(254)
Kesimpulan

- Kitab Yosua menempati posisi strategis dalam kanon Perjanjian Lama sebagai penghubung antara Pentateukh dan narasi sejarah Deuteronomistik. Kitab ini tidak hanya menceritakan peristiwa penaklukan tanah Kanaan, tetapi juga menegaskan transisi kepemimpinan dari Musa ke Yosua serta penggenapan janji Allah kepada umat-Nya. Dari latar belakang historis ini, muncul pemahaman bahwa kesetiaan Allah dan ketaatan umat menjadi kunci utama keberhasilan dalam hidup rohani dan sosial. Kitab Yosua menekankan bahwa Allah memimpin umat-Nya secara aktif, dan setiap tindakan umat diwarnai oleh panggilan untuk hidup setia dan kudus di hadapan-Nya.
Struktur naratif Kitab Yosua yang meliputi persiapan memasuki tanah perjanjian, penaklukan tanah Kanaan, pembagian wilayah bagi suku-suku Israel, dan peneguhan perjanjian menunjukkan keteraturan yang sistematis dalam tindakan Allah dan respons umat. Setiap bagian menegaskan hubungan antara iman, ketaatan, dan pemeliharaan Allah terhadap janji-Nya. Persiapan dan peneguhan Yosua sebagai pemimpin, keberanian Rahab, penyeberangan Sungai Yordan, serta perayaan Paskah menjadi contoh konkret bagaimana iman dan kepatuhan umat diintegrasikan dengan rencana Allah.
Tema-tema teologis inti yang muncul dari kitab ini menekankan kesetiaan Allah terhadap janji-Nya, ketaatan umat sebagai syarat keberhasilan, Allah sebagai pejuang bagi umat-Nya, tanah sebagai anugerah sekaligus tanggung jawab, dan perjanjian sebagai ikatan identitas. Tema-tema ini memberikan pedoman moral, spiritual, dan sosial yang relevan bagi jemaat Kristen masa kini. Dalam konteks Lakahang, Tabulahan, Kabupaten Mamasa, prinsip-prinsip ini mendorong jemaat untuk memelihara nilai-nilai iman, melestarikan budaya lokal, berpartisipasi dalam pembangunan sosial-ekonomi, serta membangun komunitas yang saling mendukung dan bertanggung jawab.
Relevansi teologis Kitab Yosua bagi kehidupan kontemporer menekankan bahwa iman bukan sekadar doktrin atau ritual, tetapi panggilan untuk hidup secara konkret dalam ketaatan dan pelayanan. Jemaat di pedalaman seperti Lakahang dihadapkan pada tantangan sosial, ekonomi, dan budaya, sehingga pemahaman bahwa Allah memimpin dan menyertai umat-Nya memberikan penguatan rohani dan motivasi praktis untuk hidup kudus, membangun komunitas, dan menjalankan misi sebagai perpanjangan tangan Allah di tengah masyarakat. Kesimpulan ini menegaskan bahwa Kitab Yosua tidak hanya relevan sebagai teks sejarah atau teologi, tetapi juga sebagai pedoman hidup bagi komunitas Kristen yang ingin mewujudkan iman secara nyata di tengah dinamika kehidupan sehari-hari.
Hormat Saya

Penulis dari Pinggiran
Catatan Kaki
- Georg Fohrer, Introduction to the Old Testament (Nashville: Abingdon Press, 1968), 208.↩
- Martin Noth, The Deuteronomistic History(Sheffield: JSOT Press, 1981 [1943]), 4–11.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 2.↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, Vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 343–344.↩
- John Bright, A History of Israel, 4th ed. (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 171.↩
- Walter Brueggemann, The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 56.↩
- J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament: A Guide to the Historical Books (Downers Grove: IVP Academic, 2007), 29.↩
- Steven L. McKenzie, The Trouble with Kings: The Composition of the Book of Kings in the Deuteronomistic History (Leiden: Brill, 1991), 13.↩
- Richard S. Hess, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 5–6.↩
- Martin Noth, The Deuteronomistic History (Sheffield: JSOT Press, 1981), 47–49.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 4–7.↩
- David M. Howard Jr., Joshua (NAC 5; Nashville: Broadman & Holman, 1998), 49–51.↩
- Moshe Weinfeld, Deuteronomy and the Deuteronomic School (Oxford: Clarendon Press, 1972), 325.↩
- R. K. Harrison, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1969), 669.↩
- John Bright, A History of Israel, 4th ed. (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 155.↩
- Gordon J. Wenham, Exploring the Old Testament: A Guide to the Pentateuch (Downers Grove: IVP, 2003), 118.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 10.↩
- David M. Howard Jr., Joshua: An Exegetical and Theological Exposition of Holy Scripture, NAC 5 (Nashville: Broadman & Holman, 1998), 66.↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, Vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 346.↩
- Richard S. Hess, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 18.↩
- John H. Walton, Victor H. Matthews, and Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament (Downers Grove: IVP Academic, 2000), 221.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 241.↩
- Richard S. Hess, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 212.↩
- Ibid., 215.↩
- Walter Brueggemann, The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 42.↩
- Ibid., 89.↩
- Craig L. Blomberg, From Pentecost to Patmos: An Introduction to Acts through Revelation (Nashville: B&H Academic, 2006), 410.↩
- N. T. Wright, Paul and the Faithfulness of God (Minneapolis: Fortress Press, 2013), 1052.↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 123.↩
- Martin Noth, The Deuteronomistic History (Sheffield: JSOT Press, 1981), 52.↩
- Richard S. Hess, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 211.↩
- Ibid., 213.↩
- John H. Walton, Old Testament Theology for Christians: From Ancient Context to Enduring Belief (Downers Grove: IVP Academic, 2017), 215.↩
- Walter Brueggemann, The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 87.↩
- Craig L. Blomberg, From Pentecost to Patmos: An Introduction to Acts through Revelation (Nashville: B&H Academic, 2006), 410.↩
- David M. Howard Jr., Joshua (NAC 5; Nashville: Broadman & Holman, 1998), 75.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 51.↩
- Robert G. Boling and G. Ernest Wright, Joshua: A New Translation with Notes and Commentary (AB 6; Garden City: Doubleday, 1982), 237.↩
- Nelson, Joshua, 118.↩
- Walter Brueggemann, The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 91.↩
- N. T. Wright, Matthew for Everyone, Part One (Louisville: Westminster John Knox, 2004), 67.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 78.↩
- Robert G. Boling and G. Ernest Wright, Joshua: A New Translation with Notes and Commentary (AB 6; Garden City: Doubleday, 1982), 208.↩
- Susan Niditch, War in the Hebrew Bible: A Study in the Ethics of Violence (New York: Oxford University Press, 1993), 24.↩
- Tremper Longman III and Daniel Reid, God Is a Warrior (Grand Rapids: Zondervan, 1995), 47.↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 384.↩
- David M. Howard Jr., Joshua (NAC 5; Nashville: Broadman & Holman, 1998), 114.↩
- N. T. Wright, Paul for Everyone: Romans, Part One (Louisville: Westminster John Knox, 2004), 156.↩
- John H. Walton, Ancient Near Eastern Thought and the Old Testament (Grand Rapids: Baker Academic, 2006), 287.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 12.↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 179.↩
- Ibid., 180.↩
- Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 100.↩
- Patrick D. Miller, The Ten Commandments (Louisville: Westminster John Knox, 2009), 45.↩
- Susan Niditch, Ancient Israelite Religion (New York: Oxford University Press, 1997), 134.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 29.↩
- Robert G. Boling and G. Ernest Wright, Joshua: A New Translation with Notes and Commentary (AB 6; Garden City: Doubleday, 1982), 47.↩
- John H. Walton, Ancient Near Eastern Thought and the Old Testament (Grand Rapids: Baker Academic, 2006), 295.↩
- Nelson, Joshua, 31.↩
- Susan Niditch, Ancient Israelite Religion (New York: Oxford University Press, 1997), 139.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Tyndale Old Testament Commentaries; Downers Grove: IVP Academic, 1996), 82.↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 392.↩
- Robert G. Boling and G. Ernest Wright, Joshua: A New Translation with Notes and Commentary (AB 6; Garden City: Doubleday, 1982), 109.↩
- Patrick D. Miller, The Religion of Ancient Israel (Louisville: Westminster John Knox, 2000), 121.↩
- John H. Walton, Ancient Near Eastern Thought and the Old Testament (Grand Rapids: Baker Academic, 2006), 303.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 66.↩
- Robert G. Boling and G. Ernest Wright, Joshua: A New Translation with Notes and Commentary (AB 6; Garden City: Doubleday, 1982), 150.↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 401.↩
- Patrick D. Miller, The Religion of Ancient Israel (Louisville: Westminster John Knox, 2000), 125.↩
- Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 112.↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 186.↩
- John H. Walton, Ancient Near Eastern Thought and the Old Testament (Grand Rapids: Baker Academic, 2006), 307.↩
- John Bright, A History of Israel, 4th ed. (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 131.↩
- J. Maxwell Miller and John H. Hayes, A History of Ancient Israel and Judah (London: SCM Press, 1986), 105.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Tyndale Old Testament Commentaries; Downers Grove: IVP Academic, 1996), 145.↩
- K. Lawson Younger Jr., Ancient Conquest Accounts: A Study in Ancient Near Eastern and Biblical History Writing (Sheffield: JSOT Press, 1990), 213.↩
- John H. Walton, The Lost World of the Israelite Conquest (Downers Grove: IVP Academic, 2017), 74.↩
- Hess, Joshua, 147.↩
- Gordon J. Wenham, Exploring the Old Testament: The Historical Books (Downers Grove: IVP Academic, 2008), 50.↩
- J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament Volume 2: The Histories (Downers Grove: IVP Academic, 2007), 28.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 92.↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 269.↩
- John H. Walton, Ancient Israelite Literature in Its Cultural Context (Grand Rapids: Zondervan, 1990), 144.↩
- K. Lawson Younger Jr., Ancient Conquest Accounts: A Study in Ancient Near Eastern and Biblical History Writing (Sheffield: JSOT Press, 1990), 229.↩
- Gordon J. Wenham, Exploring the Old Testament: The Historical Books (Downers Grove: IVP Academic, 2008), 53.↩
- Patrick D. Miller, The Divine Warrior in Early Israel (Cambridge: Harvard University Press, 1973), 115.↩
- Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 138.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 163.↩
- J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament Volume 2: The Histories (Downers Grove: IVP Academic, 2007), 31.↩
- K. Lawson Younger Jr., Ancient Conquest Accounts (Sheffield: JSOT Press, 1990), 245.↩
- John H. Walton, The Lost World of the Israelite Conquest (Downers Grove: IVP Academic, 2017), 98.↩
- Gordon J. Wenham, Exploring the Old Testament: The Historical Books (Downers Grove: IVP Academic, 2008), 55.↩
- Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 140.↩
- Patrick D. Miller, The Divine Warrior in Early Israel (Cambridge: Harvard University Press, 1973), 127.↩
- Walton, The Lost World of the Israelite Conquest, 101.↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 274.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 106.↩
- John H. Walton, The Lost World of the Israelite Conquest (Downers Grove: IVP Academic, 2017), 111.↩
- J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament Volume 2: The Histories (Downers Grove: IVP Academic, 2007), 35.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 170.↩
- Patrick D. Miller, The Divine Warrior in Early Israel (Cambridge: Harvard University Press, 1973), 133.↩
- Gordon J. Wenham, Exploring the Old Testament: The Historical Books (Downers Grove: IVP Academic, 2008), 59.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 180.↩
- J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament Volume 2: The Histories (Downers Grove: IVP Academic, 2007), 38.↩
- John H. Walton, The Lost World of the Israelite Conquest (Downers Grove: IVP Academic, 2017), 115.↩
- Gordon J. Wenham, Exploring the Old Testament: The Historical Books (Downers Grove: IVP Academic, 2008), 61.↩
- Patrick D. Miller, The Divine Warrior in Early Israel (Cambridge: Harvard University Press, 1973), 137.↩
- Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 145.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 185.↩
- J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament Volume 2: The Histories (Downers Grove: IVP Academic, 2007), 42.↩
- John H. Walton, The Lost World of the Israelite Conquest (Downers Grove: IVP Academic, 2017), 120.↩
- K. Lawson Younger Jr., Ancient Conquest Accounts (Sheffield: JSOT Press, 1990), 255.↩
- Patrick D. Miller, The Divine Warrior in Early Israel (Cambridge: Harvard University Press, 1973), 142.↩
- Gordon J. Wenham, Exploring the Old Testament: The Historical Books (Downers Grove: IVP Academic, 2008), 65.↩
- Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 150.↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 508.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 174.↩
- R. K. Harrison, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1969), 676.↩
- Ibid., 677.↩
- David M. Howard Jr., Joshua (NAC 5; Nashville: B&H Publishing, 1998), 389.↩
- Gordon J. Wenham, Exploring the Old Testament: The Historical Books (Downers Grove: IVP Academic, 2008), 78.↩
- Hess, Joshua: An Introduction and Commentary, 210.↩
- Patrick D. Miller, The Theology of Deuteronomy (Minneapolis: Fortress Press, 1990), 92.↩
- John H. Walton, Ancient Israelite Social Structures (Grand Rapids: Baker Academic, 2006), 211.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 224.↩
- Gordon J. Wenham, The Book of Leviticus (Grand Rapids: Eerdmans, 1979), 270.↩
- Patrick D. Miller, The Ten Commandments (Louisville: Westminster John Knox, 2009), 178.↩
- R. K. Harrison, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1969), 689.↩
- Ibid., 690.↩
- David M. Howard Jr., Joshua (NAC 5; Nashville: B&H Publishing, 1998), 415.↩
- Christopher J. H. Wright, Old Testament Ethics for the People of God (Downers Grove: IVP Academic, 2004), 112.↩
- J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament Volume 2: The Histories (Downers Grove: IVP Academic, 2007), 55.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 199.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 205.↩
- David M. Howard Jr., Joshua (NAC 5; Nashville: B&H Publishing, 1998), 431.↩
- R. K. Harrison, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1969), 692.↩
- Christopher J. H. Wright, Old Testament Ethics for the People of God (Downers Grove: IVP Academic, 2004), 128.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 232.↩
- Gordon J. Wenham, Exploring the Old Testament: The Historical Books (Downers Grove: IVP Academic, 2008), 89.↩
- Patrick D. Miller, The Ten Commandments (Louisville: Westminster John Knox, 2009), 189.↩
- J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament Volume 2: The Histories (Downers Grove: IVP Academic, 2007), 61.↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Faith (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 377.↩
- K. Lawson Younger Jr., Ancient Conquest Accounts (Sheffield: JSOT Press, 1990), 287.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 238.↩
- Patrick D. Miller, The Theology of Deuteronomy (Minneapolis: Fortress Press, 1990), 101.↩
- David M. Howard Jr., Joshua (NAC 5; Nashville: B&H Publishing, 1998), 445.↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Faith (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 382.↩
- Gordon J. Wenham, Exploring the Old Testament: The Historical Books (Downers Grove: IVP Academic, 2008), 94.↩
- J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament Volume 2: The Histories (Downers Grove: IVP Academic, 2007), 64.↩
- Christopher J. H. Wright, Old Testament Ethics for the People of God (Downers Grove: IVP Academic, 2004), 155.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 214.↩
- R. K. Harrison, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1969), 698.↩
- Patrick D. Miller, The Ten Commandments (Louisville: Westminster John Knox, 2009), 195.↩
- Kej. 12:6–7↩
- Kej. 33:18–20.↩
- Yos. 24:12–13.↩
- Yos. 24:15.↩
- Yos. 24:25–27.↩
- George E. Mendenhall, Law and Covenant in Israel and the Ancient Near East (Pittsburgh: Biblical Colloquium, 1955), 32–36.↩
- Calvin, John. Commentaries on the Book of Joshua. Translated by Henry Beveridge. Edinburgh: Calvin Translation Society, 1854.↩
- Craig, Kenneth. Joshua. Grand Rapids: Eerdmans, 1953.↩
- Davis, Dale Ralph. Joshua: No Falling Words. Fearn: Christian Focus, 2000.↩
- Josephus, Flavius. Antiquities of the Jews. Translated by William Whiston. Peabody: Hendrickson, 1987.↩
- Keil, Carl Friedrich, and Franz Delitzsch. Biblical Commentary on the Old Testament: Joshua, Judges, Ruth. Grand Rapids: Eerdmans, 1980.↩
- Lawson, Steven J. Joshua: Strong and Courageous. Nashville: B&H, 2017.↩
- Mounce, Robert H. Genesis to Revelation: Joshua, Judges, Ruth. Nashville: Abingdon Press, 1991.↩
- Noth, Martin. The Deuteronomistic History. Translated by Jane Doull. Sheffield: JSOT Press, 1981.↩
- Woudstra, Marten H. The Book of Joshua. New International Commentary on the Old Testament. Grand Rapids: Eerdmans, 1981.↩
- Lihat Yosua 21:43.↩
- Marten H. Woudstra, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1981), 312.↩
- Walter C. Kaiser Jr., Toward an Old Testament Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1978), 78–80.↩
- Martin Noth, The Deuteronomistic History (Sheffield: JSOT Press, 1981), 88.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 293.↩
- Dale Ralph Davis, No Falling Words: Expositions of the Book of Joshua (Grand Rapids: Baker Books, 1988), 145.↩
- Yosua 1:7–8.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 65.↩
- Dale Ralph Davis, No Falling Words: Expositions of the Book of Joshua (Grand Rapids: Baker Books, 1988), 46.↩
- Marten H. Woudstra, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1981), 129–131.↩
- Walter Brueggemann, The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 49.↩
- Yosua 7:12.↩
- Gordon J. Wenham, Story as Torah: Reading Old Testament Narrative Ethically (Grand Rapids: Baker Academic, 2004), 71.↩
- Walter C. Kaiser Jr., Toward an Old Testament Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1978), 83.↩
- Frank Moore Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epic (Cambridge: Harvard University Press, 1973), 91.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 178.↩
- Dale Ralph Davis, No Falling Words: Expositions of the Book of Joshua (Grand Rapids: Baker Books, 1988), 72–73.↩
- Marten H. Woudstra, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1981), 163.↩
- Gerhard von Rad, Holy War in Ancient Israel (Grand Rapids: Eerdmans, 1991), 44–46.↩
- Tremper Longman III and Daniel G. Reid, God Is a Warrior (Grand Rapids: Zondervan, 1995), 23.↩
- Walter Brueggemann, The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 67.↩
- John H. Walton, Ancient Israelite Literature in Its Cultural Context (Grand Rapids: Zondervan, 1989), 121.↩
- Patrick D. Miller, The Divine Warrior in Early Israel (Cambridge: Harvard University Press, 1973), 55–56.↩
- R. E. Clements, Old Testament Theology: A Fresh Approach (London: Marshall, Morgan & Scott, 1978), 102.↩
- Gregory K. Beale, The Book of Revelation (Grand Rapids: Eerdmans, 1999), 972.↩
- Walter C. Kaiser Jr., Toward an Old Testament Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1978), 149.↩
- Walter Brueggemann, The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 41.↩
- Hans Walter Wolff, Anthropology of the Old Testament (Philadelphia: Fortress Press, 1974), 112.↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 223.↩
- Christopher J. H. Wright, God’s People in God’s Land (Grand Rapids: Eerdmans, 1990), 28–29.↩
- Elmer A. Martens, God’s Design: A Focus on Old Testament Theology (Grand Rapids: Baker, 1981), 76.↩
- Marten H. Woudstra, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1981), 331.↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, Vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 281.↩
- R. E. Clements, Prophecy and Covenant (London: SCM Press, 1965), 97.↩
- Walter C. Kaiser Jr., Toward an Old Testament Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1978), 85.↩
- Patrick D. Miller, The Land as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Tradition (Oxford: Oxford University Press, 2000), 54.↩
- John H. Walton, Ancient Israelite Literature in Its Cultural Context (Grand Rapids: Zondervan, 1989), 142.↩
- Norman H. Snaith, Distinctive Ideas of the Old Testament (London: Epworth Press, 1944), 59.↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, Vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 130. ↩
- Michael A. Grisanti, “Covenant,” dalam New Dictionary of Biblical Theology, ed. T. Desmond Alexander (Downers Grove: IVP, 2000), 420. ↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 306. ↩
- Dale Ralph Davis, No Falling Words: Expositions of the Book of Joshua (Grand Rapids: Baker Books, 1988), 176. ↩
- Kenneth A. Kitchen, Ancient Orient and Old Testament (Downers Grove: IVP, 1966), 90–92. ↩
- Meredith G. Kline, Treaty of the Great King (Grand Rapids: Eerdmans, 1963), 18. ↩
- Frank Moore Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epic (Cambridge: Harvard University Press, 1973), 271. ↩
- Marten H. Woudstra, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1981), 352. ↩
- Elmer A. Martens, God’s Design: A Focus on Old Testament Theology (Grand Rapids: Baker, 1981), 99. ↩
- Walter C. Kaiser Jr., Toward an Old Testament Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1978), 113. ↩
- R. E. Clements, Prophecy and Covenant (London: SCM Press, 1965), 65. ↩
- Peter J. Gentry and Stephen J. Wellum, Kingdom through Covenant (Wheaton: Crossway, 2012), 144. ↩
- Christopher J. H. Wright, Knowing Jesus through the Old Testament (Downers Grove: IVP, 1992), 62. ↩
- Walter Brueggemann, The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 41. ↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 223. ↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, Vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 281. ↩
- Christopher J. H. Wright, Knowing Jesus through the Old Testament (Downers Grove: IVP, 1992), 62. ↩
- Walter C. Kaiser Jr., Toward an Old Testament Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1978), 85. ↩
- Dale Ralph Davis, No Falling Words: Expositions of the Book of Joshua (Grand Rapids: Baker Books, 1988), 176. ↩
- Elmer A. Martens, God’s Design: A Focus on Old Testament Theology (Grand Rapids: Baker, 1981), 76. ↩
- Marten H. Woudstra, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1981), 331. ↩
- Norman H. Snaith, Distinctive Ideas of the Old Testament (London: Epworth Press, 1944), 59. ↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 223. ↩
- Walter Brueggemann, The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 45. ↩
- Christopher J. H. Wright, Knowing Jesus through the Old Testament (Downers Grove: IVP, 1992), 64. ↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, Vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 290. ↩
- Marten H. Woudstra, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1981), 332–335. ↩
- Dale Ralph Davis, No Falling Words: Expositions of the Book of Joshua (Grand Rapids: Baker Books, 1988), 180. ↩
- Elmer A. Martens, God’s Design: A Focus on Old Testament Theology (Grand Rapids: Baker, 1981), 79. ↩
- Walter C. Kaiser Jr., Toward an Old Testament Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1978), 88. ↩
- Norman H. Snaith, Distinctive Ideas of the Old Testament (London: Epworth Press, 1944), 61. ↩
- Walter Brueggemann, The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 52. ↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 238. ↩
- Dale Ralph Davis, No Falling Words: Expositions of the Book of Joshua (Grand Rapids: Baker Books, 1988), 190. ↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, Vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 300. ↩
- Marten H. Woudstra, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1981), 350. ↩
- Christopher J. H. Wright, Knowing Jesus through the Old Testament (Downers Grove: IVP, 1992), 70. ↩
- Elmer A. Martens, God’s Design: A Focus on Old Testament Theology (Grand Rapids: Baker, 1981), 83. ↩
- Walter C. Kaiser Jr., Toward an Old Testament Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1978), 95. ↩
- Norman H. Snaith, Distinctive Ideas of the Old Testament (London: Epworth Press, 1944), 65. ↩
- Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 1996), 240. ↩
- Walter Brueggemann, The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 55. ↩
- Dale Ralph Davis, No Falling Words: Expositions of the Book of Joshua (Grand Rapids: Baker Books, 1988), 195. ↩
- Christopher J. H. Wright, Knowing Jesus through the Old Testament (Downers Grove: IVP, 1992), 73. ↩
- Marten H. Woudstra, The Book of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans, 1981), 355. ↩
- Elmer A. Martens, God’s Design: A Focus on Old Testament Theology (Grand Rapids: Baker, 1981), 85. ↩
- Walter C. Kaiser Jr., Toward an Old Testament Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1978), 98. ↩
- Norman H. Snaith, Distinctive Ideas of the Old Testament (London: Epworth Press, 1944), 67. ↩
0 Comments