Pendahuluan dan Latar Belakang Historis-Teologis
(a). Posisi Kitab Ulangan dalam Kanon Perjanjian Lama-
Kitab Ulangan menempati posisi strategis sebagai kitab kelima dalam Taurat atau Pentateukh, yang sekaligus menjadi penutup dari rangkaian hukum dan narasi perjalanan Israel. Sebagai penutup, Ulangan tidak hanya menyajikan rangkuman hukum-hukum yang diberikan Allah melalui Musa di Keluaran, Imamat, dan Bilangan, tetapi juga berfungsi sebagai transisi teologis dan historis menuju kehidupan bangsa Israel di Tanah Perjanjian.(1) Posisi ini menunjukkan bahwa Ulangan bukan sekadar dokumen hukum, melainkan juga pedoman identitas dan moral bagi umat Allah yang siap memasuki fase baru dalam sejarah mereka. Para sarjana klasik, termasuk Gerhard von Rad, menekankan bahwa fungsi penutup ini membentuk kerangka hermeneutik bagi pembacaan sejarah Israel selanjutnya dalam Sejarah Deuteronomistis.(2)

Dalam tradisi Yahudi, Ulangan ditempatkan dalam Torah, yang menjadi inti dari identitas dan kehidupan religius bangsa Israel. Kitab ini memiliki kekhasan karena memuat pidato perpisahan Musa, yang menegaskan kembali perintah Allah dan mengarahkan umat pada kesetiaan kepada perjanjian. Fungsi ini menjadikan Ulangan sebagai covenant renewal document, dokumen pembaruan perjanjian yang meneguhkan komitmen generasi baru terhadap Allah sebelum memasuki Tanah Perjanjian.(3) Kajian modern menunjukkan bahwa konsep pembaruan perjanjian ini bukan hanya bersifat historis, tetapi juga memiliki implikasi teologis yang menegaskan kontinuitas hukum, moral, dan identitas Israel di tengah tantangan sosial-politik pada masa awal Kerajaan Yehuda.(4)
Dari perspektif kanon Kristen, Kitab Ulangan memiliki peran yang signifikan karena sering dikutip dalam Perjanjian Baru. Yesus mengutip Ulangan saat menghadapi pencobaan di padang gurun (Mat. 4:1–11; Luk. 4:1–13), menegaskan otoritas kitab ini sebagai pedoman iman dan ketaatan. Paulus juga merujuk Ulangan (Roma 10:8–10) untuk menegaskan kedekatan firman Allah dengan umat-Nya.(5) Hal ini menunjukkan bahwa posisi Kitab Ulangan tidak hanya penting dalam kanon Yahudi, tetapi juga fundamental dalam tradisi Kristen, karena menjadi penghubung teologis antara hukum Taurat dan penggenapannya dalam Kristus. Lebih jauh, posisi Ulangan sebagai penutup Pentateukh sekaligus pengantar narasi sejarah (Yosua–2 Raja-Raja) menekankan fungsi ganda kitab ini: pertama, sebagai dokumen hukum dan perjanjian untuk generasi penerus; kedua, sebagai karya teologis yang menegaskan hubungan Allah–Israel melalui perintah, berkat, dan kutuk.(6) Dengan demikian, Kitab Ulangan menjadi fondasi utama untuk memahami Sejarah Deuteronomistis dan mempersiapkan umat Israel, serta pembaca modern, untuk menafsirkan hubungan antara hukum, sejarah, dan identitas teologis bangsa Allah.
-
Kitab Ulangan menempati kedudukan khusus sebagai kitab kelima dalam Taurat, berfungsi sebagai rangkuman, penegasan ulang, dan reinterpretasi hukum-hukum Allah yang telah disampaikan melalui Musa dalam kitab-kitab sebelumnya, terutama Keluaran, Imamat, dan Bilangan.(7) Kata “Ulangan” berasal dari istilah Yunani deuteronomion, yang berarti “hukum kedua”, menandakan pengulangan dan penekanan kembali hukum Taurat agar relevan bagi generasi baru Israel yang akan memasuki Tanah Perjanjian.(8) Fungsi ini menjadikan Ulangan sebagai “penutup” Taurat sekaligus pengantar narasi sejarah yang dimulai dengan Yosua, sehingga kitab ini berperan ganda: meneguhkan hukum dan mempersiapkan umat untuk memasuki kehidupan sosial-politik baru.
Dari perspektif struktur teologis, Ulangan mengintegrasikan pengalaman historis Israel dan prinsip-prinsip hukum dalam kerangka perjanjian yang diperbarui. Keluaran menekankan pembebasan dari Mesir dan pemberian hukum di Sinai, Imamat menguraikan regulasi ibadah dan kekudusan, serta Bilangan menekankan perjalanan di padang gurun. Ulangan menyatukan semua elemen ini dan menegaskan kembali peran ketaatan sebagai sarana mempertahankan hubungan umat dengan Allah.(9) Dengan demikian, Ulangan bukan sekadar pengulangan hukum, tetapi reinterpretasi teologis yang menegaskan kontinuitas antara wahyu Allah di Sinai dan aktualisasi hukum di tanah perjanjian.
Para sarjana klasik maupun modern menekankan fungsi redaksional Ulangan dalam keseluruhan Taurat. Von Rad menyebut kitab ini membangun “teologi perjanjian” yang menjadi fondasi tidak hanya bagi Pentateukh, tetapi juga bagi narasi historis Deuteronomistis (Yosua–2 Raja-Raja).(10) John H. Walton menyoroti kesamaan bentuk dengan perjanjian suzerain-vassal di Timur Dekat Kuno, yang menegaskan Allah sebagai penguasa tertinggi dan Israel sebagai vasal yang harus menaati tuntutan-Nya.(11) Dengan pola ini, Ulangan menempatkan seluruh Taurat dalam kerangka relasional yang jelas, sekaligus menekankan integrasi antara hukum, moralitas, dan identitas teologis Israel.
Dalam tradisi Yahudi maupun Kristen, hubungan Ulangan dengan Taurat menjadi kunci untuk memahami keseluruhan Pentateukh. Ulangan menegaskan kesetiaan Allah dan panggilan Israel untuk hidup kudus melalui ketaatan, sekaligus menyiapkan jalan bagi penggenapan dalam Kristus (Mat. 5:17). Dengan demikian, Ulangan berfungsi sebagai simpul teologis yang mengikat seluruh Taurat sekaligus membuka perspektif historis dan teologis bagi narasi Perjanjian Baru, memperlihatkan kesinambungan hukum, sejarah, dan identitas iman dari generasi ke generasi.(12)
-
Secara tradisional, Kitab Ulangan diatributkan kepada Musa, karena teks ini memuat pidato perpisahan, pengulangan hukum, dan perintah untuk setia kepada perjanjian Allah (Ul. 31:9–13; 34:5–12). Dalam pandangan klasik Yahudi maupun Kristen, Musa dipahami sebagai tokoh sentral yang menulis kitab ini untuk membimbing generasi baru Israel sebelum memasuki Tanah Perjanjian.(13) Tradisi ini tetap menjadi dasar pengajaran klasik, meskipun pendekatan kritis modern menekankan perlunya analisis historis dan literer untuk memahami latar penyusunan kitab secara lebih tepat.
Pendekatan modern, melalui hipotesis Deuteronomistis, menegaskan bahwa Kitab Ulangan kemungkinan mengalami penyusunan atau penyuntingan utama pada masa pemerintahan Raja Yosia (abad ke-7 SM) sebagai bagian dari reformasi keagamaan dan politik yang menekankan sentralisasi ibadah di Yerusalem.(14) Hipotesis ini menekankan bahwa teks Ulangan tidak sekadar menyalin hukum Musa, tetapi juga menafsirkan dan menyusun ulang tradisi hukum agar sesuai dengan konteks sosial-politik dan teologis masyarakat Yehuda pada masa itu. Analisis linguistik, retoris, dan tematik mendukung pandangan bahwa kitab ini memiliki konsistensi redaksional yang sengaja diarahkan untuk memperkuat ketaatan terhadap perjanjian dan legitimasi ibadah yang terpusat.(15)
Selain itu, konteks historis Ulangan terkait erat dengan perjalanan Israel di padang gurun dan persiapan memasuki Tanah Perjanjian. Kitab ini menyatukan pidato perpisahan Musa, hukum-hukum, dan peringatan sejarah menjadi suatu kesatuan literer yang sistematis. Proses penyusunan ini menunjukkan kemampuan redaktor dalam membingkai pengalaman sejarah, prinsip-prinsip perjanjian, dan hukum moral ke dalam narasi yang teologis dan aplikatif bagi generasi penerus.(16) Analisis retoris memperlihatkan pola pengulangan, paralelisme, dan motif kontrastif yang menegaskan ketaatan, berkat, dan kutuk sebagai kerangka pembelajaran teologis bagi pembaca.
Dari perspektif literer, Ulangan menampilkan kesatuan tematik dan struktur pidato yang selaras dengan model perjanjian suzerain-vassal Timur Dekat Kuno. Redaktor menyusun kitab ini agar fungsi hukum, peringatan sejarah, dan ajaran moral terintegrasi, menciptakan teks yang relevan bagi generasi Musa sekaligus memberikan kerangka teologis untuk memahami sejarah Israel dalam kitab-kitab Deuteronomistis selanjutnya (Yosua–2 Raja-Raja). Dengan demikian, fokus utama bagian ini adalah menyoroti proses penyusunan, konteks historis, dan motif redaksional, sehingga pembahasan tetap berbeda dari poin (b) yang menekankan hubungan Ulangan dengan Taurat.(17)
Struktur dan Alur Utama Kitab Ulangan
(a). Pidato Pembukaan dan Rangkuman Perjalanan Israel (Ulangan 1–4)-
Pidato pembukaan Kitab Ulangan (Ul. 1:1–5; 1:6–4:43) berfungsi sebagai pengantar yang menyiapkan pembaca untuk memahami seluruh isi kitab. Bagian ini menegaskan bahwa Musa sedang berbicara kepada umat Israel di dataran Moab, sesaat sebelum mereka masuk ke Tanah Perjanjian. Posisi geografis dan waktu penyampaian pidato tersebut memberi kesan historis sekaligus menegaskan otoritas Musa sebagai pemimpin dan pengajar umat.(18) Tujuan utamanya bukan hanya untuk mengingat kembali perjalanan Israel, tetapi juga untuk memberikan penafsiran teologis bahwa setiap pengalaman di masa lalu merupakan pelajaran iman yang harus diingat dan ditaati oleh generasi baru(19).

Rangkuman perjalanan yang terdapat dalam Ulangan 1:19–3:29 mencatat peristiwa-peristiwa penting, seperti penugasan para pemimpin, kegagalan akibat ketidaktaatan, dan kemenangan dalam peperangan di wilayah sebelah timur Sungai Yordan. Namun, rangkuman ini tidak ditulis sekadar untuk mencatat sejarah perjalanan bangsa Israel. Musa menggunakannya untuk menekankan makna rohani di balik pengalaman tersebut, yakni bahwa ketaatan membawa berkat, sementara ketidaktaatan membawa hukuman.(20) Dengan demikian, sejarah Israel disampaikan kembali dalam bentuk pengajaran, sehingga umat belajar dari kesalahan masa lalu dan meneguhkan ketaatan mereka kepada Allah.(21)
Selain itu, bagian pembukaan ini menampilkan Musa sebagai seorang guru yang bukan hanya menyampaikan hukum, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai moral melalui peringatan dan nasihat. Tindakan Musa yang “mengulang” peristiwa-peristiwa sebelumnya dimaksudkan agar umat Israel tidak melupakan pengalaman bersama Allah dan menjadikannya sebagai pedoman dalam menghadapi masa depan di tanah perjanjian.(22) Penggunaan kata-kata pengingat seperti “ingatlah” dan “jangan lupa” menunjukkan bahwa kitab ini bukan sekadar buku hukum, melainkan sebuah pengajaran iman yang membentuk identitas dan pola hidup bangsa Israel.
Akhir dari bagian ini menegaskan beberapa pesan penting, seperti larangan menyembah berhala, penekanan pada Allah yang esa, serta panggilan untuk tetap setia kepada perjanjian. Semua ini menegaskan bahwa rangkuman perjalanan bukan hanya melihat ke belakang, tetapi juga diarahkan ke masa depan, yaitu kehidupan umat di tanah yang dijanjikan Allah. Dengan cara ini, Ulangan 1–4 mempersatukan kenangan masa lalu dengan harapan masa depan, dan meneguhkan bahwa ketaatan kepada Allah adalah kunci bagi keberhasilan Israel.(23)
-
Bagian inti Kitab Ulangan (Ul. 5–26) berisi pengulangan dan penegasan hukum yang telah diberikan sebelumnya, namun dengan penekanan baru yang menyesuaikan konteks generasi Israel yang siap memasuki Tanah Perjanjian. Dimulai dengan pengulangan Sepuluh Firman (Ul. 5), bagian ini menegaskan kembali panggilan umat untuk hidup dalam ketaatan kepada Allah sebagai dasar identitas mereka sebagai bangsa perjanjian.(24) Dengan mengingat pengalaman di Sinai, Musa menempatkan hukum bukan hanya sebagai aturan eksternal, tetapi sebagai sarana yang meneguhkan relasi antara Allah dan Israel. Hal ini memperlihatkan bahwa hukum dalam Ulangan bersifat relasional, lahir dari kasih Allah dan menuntut ketaatan yang didasari rasa hormat dan syukur.(25)

Bagian ini juga menekankan perintah untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan, sebagaimana tertuang dalam Shema Israel (Ul. 6:4–9). Teks ini menjadi pusat teologi Ulangan karena memperlihatkan bahwa hukum bukan hanya dimengerti secara legal, melainkan juga bersifat personal dan spiritual.(26) Shema menuntut internalisasi hukum dalam kehidupan sehari-hari: diajarkan kepada anak-anak, diingat dalam rumah tangga, dan dijadikan pedoman dalam seluruh aktivitas. Dengan demikian, ketaatan kepada hukum Allah tidak terbatas pada ritual keagamaan, melainkan menjadi pola hidup yang menyeluruh.(27)
Selanjutnya, Ulangan 12–26 berisi pengaturan praktis mengenai kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan umat Israel. Penekanan khusus diberikan pada sentralisasi ibadah (Ul. 12), yaitu perintah untuk menyembah hanya di tempat yang dipilih Allah. Ketentuan ini tidak sekadar administratif, tetapi teologis, karena menegaskan keesaan Allah dan menolak praktik sinkretisme dengan bangsa-bangsa sekitar.(28) Selain itu, hukum dalam bagian ini meliputi keadilan sosial, perlindungan bagi orang miskin, yatim piatu, janda, dan orang asing, serta pengaturan mengenai perayaan-perayaan keagamaan seperti Paskah, Pentakosta, dan Pondok Daun. Semua peraturan ini bertujuan membentuk Israel sebagai umat yang kudus, adil, dan berbelas kasih.(29)
Dengan demikian, Ulangan 5–26 memperlihatkan dimensi yang luas dari hukum Allah. Bukan hanya aturan ibadah, melainkan juga etika sosial, ekonomi, dan politik yang mengatur kehidupan umat dalam Tanah Perjanjian. Melalui penegasan hukum ini, Ulangan membangun identitas Israel sebagai umat yang hidup berdasarkan kasih kepada Allah dan keadilan terhadap sesama. Keseluruhan bagian ini menjadi fondasi teologis yang menegaskan bahwa ketaatan kepada hukum merupakan jalan menuju berkat, sedangkan pelanggaran membawa kutuk.(30)
-
Bagian terakhir dari Kitab Ulangan menampilkan pidato perpisahan Musa yang penuh dengan muatan rohani, etis, dan historis. Pada pasal 27–30, Musa memerintahkan bangsa Israel untuk memperbarui komitmen mereka kepada Tuhan dengan penegasan berkat dan kutuk. Gunung Gerizim dan Gunung Ebal menjadi simbol kontras antara ketaatan dan ketidaktaatan. Perjanjian ini tidak sekadar mengikat secara legalistik, melainkan juga meneguhkan identitas Israel sebagai umat yang dipanggil untuk hidup kudus di tengah bangsa-bangsa lain. Dalam hal ini, dimensi pedagogis tampak kuat: Musa menegaskan bahwa pilihan antara berkat dan kutuk adalah pilihan yang menentukan kehidupan atau kematian.(31)

Selanjutnya, pasal 31–32 menampilkan Musa yang menyerahkan tanggung jawab kepemimpinan kepada Yosua. Peralihan kepemimpinan ini memperlihatkan kesinambungan karya Allah dalam sejarah Israel, bahwa sekalipun Musa tidak memasuki tanah perjanjian, Allah tetap setia menuntun umat-Nya. Kidung Musa (Ul. 32) menjadi sebuah refleksi mendalam yang memadukan pujian, peringatan, dan nubuat tentang masa depan bangsa. Kidung ini tidak hanya berfungsi sebagai doa liturgis, tetapi juga sebagai teks pengajaran yang diturunkan dari generasi ke generasi, agar umat tidak melupakan kesetiaan Allah maupun konsekuensi ketidaksetiaan mereka.(32)
Pada pasal 33, Musa memberikan berkat terakhir kepada masing-masing suku Israel. Struktur berkat ini mirip dengan berkat Yakub kepada kedua belas anaknya dalam Kejadian 49, namun konteksnya menekankan peran setiap suku dalam rencana Allah. Di dalamnya terdapat pengakuan akan keterbatasan manusia, namun juga pengharapan akan perlindungan ilahi. Dengan demikian, Musa menutup pelayanannya bukan dengan kekecewaan, melainkan dengan keyakinan bahwa Allah yang sama akan tetap menyertai Israel. Para penafsir melihat bagian ini sebagai bentuk teologi pengharapan, di mana perjanjian Allah melampaui keberadaan pribadi Musa.(33)
Akhir Kitab Ulangan (pasal 34) mencatat kematian Musa. Peristiwa ini sarat makna teologis: Musa melihat tanah perjanjian dari jauh, tetapi tidak memasukinya. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun Musa adalah tokoh besar dalam sejarah Israel, hanya Allah yang menjadi pusat sejarah keselamatan. Kematian Musa menandai akhir sebuah era, tetapi juga membuka jalan bagi generasi baru di bawah kepemimpinan Yosua. Dengan demikian, Kitab Ulangan menutup narasinya dengan pengingat bahwa umat Allah dipanggil untuk terus berjalan dalam iman, tidak menggantungkan diri pada seorang pemimpin manusia, melainkan pada Tuhan yang berdaulat penuh atas sejarah.(34)
Tema Teologis Utama
(a). Perjanjian antara Allah dan Israel-
Perjanjian (covenant) merupakan struktur teologis yang paling mendasar dalam Kitab Ulangan; ia membingkai seluruh tuntutan hukum, narasi sejarah, dan tuntutan etika yang disampaikan Musa. Ulangan menempatkan perjanjian bukan sebagai kontrak semata tetapi sebagai relasi hidup: Allah bertindak sebagai pihak yang mengikat diri untuk melindungi dan memberkati, sementara Israel dipanggil untuk merespons dengan ketaatan, kesetiaan, dan pengesahan identitas kolektif. Dalam bahasa kitab, bentuk perjanjian ini meliputi janji ilahi, tuntutan moral, serta konsekuensi (berkat dan kutuk) yang secara bersama-sama menetapkan basis identitas Israel sebagai “umat perjanjian.” Konsep ini berakar dalam tradisi hukum Perjanjian Lama yang menempatkan hubungan Allah–umat sebagai pusat teologi praktis dan institusional.(35)
Secara literer dan historis, Kitab Ulangan menggunakan motif dan pola yang sejalan dengan model perjanjian suzerain–vassal yang dikenal di Timur Dekat Kuno: adanya penguasa yang mengeluarkan syarat-syarat kepada pihak yang lebih lemah, diikuti oleh saksi, ratifikasi, dan ancaman sanksi bila syarat dilanggar. Ulangan meminjam bentuk-bentuk retoris itu, misalnya pernyataan monolog penguasa, pemberian syarat, dan ancaman berkat/kutuk, namun menggesernya ke dalam konteks teologis yang khas: Allah sebagai Raja yang menuntut kesetiaan moral bukan hanya ketaatan politik. Pembingkaian ini membantu menjelaskan mengapa hukum-hukum Ulangan disajikan sebagai tuntutan perjanjian yang mengikat seluruh aspek kehidupan sosial, ibadah, dan politik Israel.(36)
Fungsi teologis perjanjian dalam Ulangan bersifat formasional: perjanjian membentuk ingatan kolektif, menentukan norma etika, dan meneguhkan praktik ibadah yang menjaga identitas umat. Pidato-pidato Musa, termasuk pengulangan hukum, peringatan sejarah, dan nyanyian, bertujuan untuk membentuk komunitas yang sadar akan panggilannya dalam sejarah keselamatan. Dengan kata lain, perjanjian bukan hanya dokumen normatif, melainkan “kurikulum identitas” yang mengajarkan generasi baru bagaimana menempatkan pengalaman historis (pembebasan, perjalanan, dan penyertaan Allah) sebagai sumber legitimasi bagi tuntutan moral dan sosialnya. Peran ini menjadikan Ulangan sebagai sumber hermeneutik bagi tafsir sejarah Israel dalam karya-karya Deuteronomistis selanjutnya.(37)
Dari perspektif teologi biblika kontemporer, perjanjian Ulangan mengandung dimensi dinamis: ia menuntut respons manusia yang berkelanjutan dan menyediakan kerangka untuk evaluasi sejarah (mengapa bangsa berhasil atau gagal). Pemikiran ini memiliki implikasi ganda bagi pembacaan modern: pertama, ia menegaskan bahwa hukum dan ritual berakar pada relasi yang hidup, sehingga etika sosial (perlindungan kaum miskin, keadilan, kesetiaan kepada orang asing) menjadi bagian tak terpisahkan dari ketaatan religius; kedua, perjanjian Ulangan menjadi lensa kritis untuk memahami narasi-narasi sejarah Israel yang mengikuti, di mana kesetiaan atau pelanggaran terhadap perjanjian menjadi motif penilaian historis dan teologis. Dengan demikian, perjanjian Ulangan berfungsi sebagai tulang punggung teologi Deuteronomistis dan sebagai rujukan normatif yang terus menuntut refleksi etis dalam tradisi Yahudi dan Kristen.(38)
-
Salah satu tema dominan dalam Kitab Ulangan adalah relasi antara ketaatan Israel kepada Allah dan konsekuensi yang mengikuti, berupa berkat atau kutuk. Pasal 28 menjadi teks kunci, di mana Musa dengan jelas menguraikan berkat yang akan diperoleh Israel jika mereka taat, serta kutuk yang akan menimpa apabila mereka berpaling dari hukum Tuhan. Pola berkat dan kutuk ini menegaskan prinsip teologis bahwa kehidupan umat Allah tidak berdiri di ruang hampa, tetapi selalu berada dalam dinamika moral dan spiritual yang berakar pada perjanjian.(39) Kesetiaan kepada Allah dihubungkan secara langsung dengan kelangsungan hidup, kesuburan tanah, keamanan politik, dan kesejahteraan sosial, sedangkan ketidaktaatan berimplikasi pada kehancuran, pembuangan, dan kehilangan identitas sebagai bangsa perjanjian.(40)
Lebih jauh, konsep berkat dan kutuk dalam Ulangan tidak dapat dipahami sekadar sebagai imbalan atau hukuman otomatis, melainkan sebagai ekspresi dari hubungan perjanjian.(41) Allah digambarkan sebagai Raja agung yang menuntut kesetiaan penuh dari Israel, sementara umat dipanggil untuk merespons dengan ketaatan total yang berakar pada kasih kepada-Nya (Ul. 6:4–9). Dengan demikian, ketaatan tidak hanya dipahami dalam dimensi legalistik, melainkan juga bersifat eksistensial dan relasional.(42) Ketaatan adalah bentuk tanggapan iman terhadap kasih Allah yang telah membebaskan Israel dari Mesir. Oleh karena itu, berkat dan kutuk berfungsi sebagai sarana pedagogis: mengingatkan Israel bahwa keberadaan mereka di tanah perjanjian sepenuhnya ditentukan oleh sikap mereka terhadap firman Allah.(43)
Dalam kajian modern, tema ini sering dikaitkan dengan teologi Deuteronomistis. Para ahli menegaskan bahwa pola berkat–kutuk bukan hanya refleksi atas zaman Musa, melainkan juga cermin dari pengalaman historis Israel, khususnya masa pembuangan.(44) Dengan menempatkan ketaatan sebagai syarat utama bagi keberlangsungan bangsa, Kitab Ulangan memberikan sebuah kerangka hermeneutis untuk memahami sejarah Israel. Pembuangan ke Babel dipandang sebagai realisasi dari kutuk akibat ketidaksetiaan, sementara pemulihan pasca-pembuangan dilihat sebagai buah dari ketaatan yang diperbarui.(45) Hal ini memperlihatkan bahwa berkat dan kutuk berfungsi bukan hanya dalam lingkup normatif, tetapi juga sebagai sarana interpretasi sejarah umat Allah.
Bagi tradisi iman Kristen, tema ini memperoleh dimensi baru dalam terang Injil. Paulus, misalnya, menafsirkan kutuk hukum dalam Ulangan 27:26 dan 21:23 sebagai sesuatu yang ditanggung oleh Kristus di kayu salib (Gal. 3:10–13).(46) Dengan demikian, konsekuensi hukum Taurat mencapai klimaksnya dalam karya Kristus, yang mengambil kutuk manusia agar umat beriman memperoleh berkat perjanjian baru. Namun demikian, prinsip ketaatan tetap relevan, sebab iman Kristen menekankan ketaatan sebagai buah kasih dan anugerah (Yoh. 14:15). Ulangan, dengan pola berkat dan kutuknya, tetap menjadi pengingat teologis bahwa relasi dengan Allah menuntut respons nyata dalam ketaatan, yang membawa kehidupan, sedangkan ketidaksetiaan membawa kematian.(47)
-
Salah satu tema teologis utama dalam Kitab Ulangan adalah perintah untuk memusatkan ibadah hanya pada satu tempat yang dipilih Allah (Ul. 12:5, 11, 14). Konsep sentralisasi ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan memiliki makna teologis yang mendalam: hanya Allah Israel yang layak disembah, dan ibadah kepada-Nya tidak boleh bercampur dengan praktik-praktik agama bangsa kafir. Dengan menegaskan satu pusat ibadah, Ulangan menolak segala bentuk sinkretisme dan menjaga kemurnian iman Israel.(48) Sentralisasi ini juga menjadi simbol kesatuan bangsa, karena seluruh Israel berkumpul untuk beribadah di hadapan Tuhan pada satu tempat kudus.

Dalam tradisi Yahudi, pemahaman ini kemudian menemukan puncaknya pada pembangunan Bait Allah di Yerusalem pada zaman Raja Salomo. Yerusalem dipandang sebagai pusat kehadiran Allah di tengah umat-Nya, sehingga ibadah di luar pusat yang ditetapkan dianggap tidak sah.(49) Pandangan klasik ini ditegaskan dalam literatur rabinik yang menekankan bahwa hanya satu tempat ibadah yang ditentukan Tuhan, dan hal ini menjadi dasar legitimasi teologis bagi Bait Allah. Bagi umat Israel, sentralisasi ibadah berarti mengakui bahwa Tuhan bukan hanya objek sembahan, melainkan Raja yang berdaulat yang harus dihormati melalui ketaatan pada aturan ibadah yang telah ditetapkan.
Kajian modern, khususnya melalui hipotesis Deuteronomistis, menekankan bahwa gagasan sentralisasi ibadah berkaitan erat dengan reformasi keagamaan Raja Yosia pada abad ke-7 SM. Reformasi ini menekankan penghancuran tempat-tempat ibadah lokal (high places) dan memusatkan korban serta perayaan hanya di Yerusalem (2Raj. 22–23).(50) Para ahli menilai bahwa redaksi Kitab Ulangan dengan penekanan pada sentralisasi ibadah merupakan sarana untuk memperkuat legitimasi politik dan religius kerajaan Yehuda, sekaligus menjaga identitas iman di tengah ancaman asimilasi budaya.(51) Dengan demikian, pendekatan historis-literer melihat sentralisasi sebagai jawaban terhadap kebutuhan zaman, sekaligus sebagai ekspresi iman yang menyeluruh.
Lebih jauh lagi, sentralisasi ibadah dalam Ulangan memiliki implikasi etis dan spiritual. Ibadah yang dipusatkan bukan hanya sekadar ritual kolektif, melainkan juga memperlihatkan bahwa seluruh hidup umat harus diarahkan kepada Allah yang esa. Rasul Yohanes dalam Injilnya menggemakan dimensi spiritual ini dengan menegaskan bahwa penyembahan sejati adalah menyembah dalam roh dan kebenaran (Yoh. 4:23–24), yang menekankan esensi ibadah bukan hanya tempat fisik, melainkan sikap hati yang benar di hadapan Allah.(52) Dengan demikian, sentralisasi ibadah di Yerusalem pada zamannya berfungsi sebagai sarana menjaga kesatuan, kemurnian, dan identitas iman, sementara dalam terang Perjanjian Baru, prinsip ini menemukan pemenuhannya dalam Kristus yang menjadi pusat penyembahan sejati.
Signifikansi Historis dan Teologis
(a). Fungsi Ulangan bagi Generasi Baru Israel-
Kitab Ulangan berfungsi sebagai dokumen pembentukan (formative document) yang secara sadar ditujukan kepada generasi yang belum mengalami peristiwa pembebasan dari Mesir secara langsung. Fungsi utamanya adalah mendidik dan membentuk ingatan kolektif: melalui pengisahan ulang perjalanan, pengulangan hukum, dan arahan praktis, Ulangan mentransformasikan pengalaman sejarah menjadi kurikulum hidup bagi umat yang akan menempati Tanah Perjanjian. Proses ini melibatkan seleksi peristiwa dan penekanan tertentu sehingga pengalaman masa lalu tidak hanya dikenang, tetapi juga dipahami secara teologis—sebagai dasar legitimasi tuntutan moral dan sosial yang tercantum dalam hukum.(53)
Secara institusional, Ulangan berperan membekali generasi baru dengan kerangka hukum dan ritual yang memungkinkan pembentukan tatanan sosial di tanah baru. Hukum-hukum dalam Ulangan tidak hanya mengatur ritual keagamaan, tetapi juga menyusun norma-norma ekonomi, keluarga, dan keadilan publik yang diperlukan agar komunitas bisa bertahan dan berkembang. Dengan demikian kitab ini bekerja sebagai manual tata hidup kolektif: ia merumuskan bagaimana komunitas harus menyelenggarakan ibadah, mengelola sumber daya, dan melindungi kelompok rentan, sehingga identitas keagamaan sekaligus stabilitas sosial-politik dapat terjaga.(54)
Dari sisi pendidikan lintas-generasi, Ulangan menempatkan tanggung jawab pengajaran pada otoritas komunal—pemimpin, imam, dan orang tua—dengan perintah yang berulang untuk “mengingat” dan “mengajarkan” (Ul. 6:7–9; 11:19). Pola ini menegaskan pentingnya transfer nilai dari orang tua ke anak dan dari pemimpin ke umat sebagai strategi konservasi identitas. Dengan cara demikian, Ulangan tidak sekadar memberikan peraturan; ia merancang mekanisme transmisi budaya-religius yang membuat ketaatan menjadi bagian kebiasaan sehari-hari dan pengalaman liturgis kolektif. Penekanan pada praktik pengajaran domestik dan komunal menjelaskan mengapa Ulangan efektif sebagai dokumen formasi generasi.(55)
Akhirnya, fungsi Ulangan bagi generasi baru juga bersifat prospektif: kitab ini mempersiapkan umat untuk menghayati perjanjian dalam situasi realitas politik dan agama yang berbeda di Kanaan. Ulangan memberi pedoman untuk menghadapi godaan asimilasi, memperteguh kesetiaan dalam konteks interaksi dengan bangsa-bangsa tetangga, dan menyediakan harapan pemulihan jika umat menyimpang. Dengan demikian kitab ini tidak hanya merekam masa lalu tetapi juga membentuk orientasi masa depan—menjadikan ketaatan sebagai jalan menuju kelangsungan berkat kolektif dan mempertahankan identitas umat dalam jangka panjang.(56)
-
Kitab Ulangan memiliki kedudukan istimewa dalam kerangka kanon Perjanjian Lama karena sering dipandang sebagai pengantar bagi apa yang disebut Sejarah Deuteronomistis (Deuteronomistic History), yakni rangkaian kitab Yosua hingga 2 Raja-Raja. Martin Noth pertama kali mengemukakan hipotesis ini dengan menegaskan bahwa seluruh narasi sejarah tersebut ditulis atau disunting oleh seorang teolog pada masa pembuangan yang menggunakan teologi Ulangan sebagai kerangka interpretatif.(57) Ulangan, dalam hal ini, berfungsi sebagai fondasi hermeneutis yang memengaruhi cara perjalanan sejarah Israel dipahami, khususnya dalam hal relasi antara ketaatan pada perjanjian dan nasib bangsa.
Kitab Yosua, misalnya, menggambarkan penaklukan dan pembagian tanah Kanaan sebagai penggenapan janji Allah kepada leluhur Israel, yang didasarkan pada syarat ketaatan sebagaimana ditegaskan dalam Ulangan.(58) Kitab Hakim-Hakim memperlihatkan pola siklus ketidaktaatan, hukuman, seruan umat, dan penyelamatan melalui hakim-hakim, yang selaras dengan teologi berkat dan kutuk dalam Ulangan. Demikian pula kitab 1–2 Samuel dan 1–2 Raja-Raja menafsirkan keberhasilan atau kegagalan para raja Israel berdasarkan sejauh mana mereka memegang prinsip-prinsip hukum dan ibadah yang dirumuskan dalam Ulangan, terutama terkait sentralisasi ibadah dan kesetiaan pada Yahweh.(59) Dengan demikian, narasi sejarah Israel tidak dipahami semata-mata sebagai catatan kronologis, melainkan sebagai tafsiran teologis yang berpijak pada prinsip Ulangan.
Dalam perspektif teologi biblika, hal ini menunjukkan bahwa Ulangan berfungsi sebagai “kunci penafsiran” bagi sejarah bangsa Israel. John Bright menekankan bahwa tanpa memahami peran Ulangan, pembaca tidak akan menangkap benang merah teologis yang menghubungkan kisah penaklukan, kepemimpinan, monarki, hingga pembuangan.(60) Pandangan ini juga diperkuat oleh sarjana kontemporer yang melihat bahwa teologi perjanjian dalam Ulangan menempatkan sejarah Israel dalam kerangka moral dan religius: keberhasilan atau kehancuran bangsa selalu terkait erat dengan ketaatan atau pelanggaran terhadap perjanjian.(61) Dengan demikian, Ulangan menyediakan kerangka konseptual yang memungkinkan umat pasca-pembuangan membaca ulang sejarah mereka dengan makna teologis yang lebih dalam.
Lebih jauh, relevansi hubungan ini tampak dalam perkembangan kanon Kristen. Penulis Perjanjian Baru, khususnya dalam Injil dan Surat Paulus, menyinggung sejarah Israel dengan pemahaman yang sangat dipengaruhi oleh pola Ulangan dan Deuteronomistis.(62) Dengan demikian, Ulangan tidak hanya berperan dalam pembentukan identitas Israel kuno, tetapi juga menjadi fondasi teologis yang melintasi masa, membentuk cara orang percaya memahami relasi antara hukum, sejarah, dan kesetiaan kepada Allah.
-
Kitab Ulangan memiliki peran penting dalam membentuk tradisi religius Yahudi. Dalam konteks Yahudi, Ulangan menjadi fondasi bagi pendidikan agama, pembacaan Torah tahunan, dan praktik ibadah domestik. Shema Israel (Ul. 6:4–9) menjadi teks sentral yang dibaca setiap hari, menegaskan identitas keagamaan dan kesetiaan kepada Allah. Tradisi ini menekankan internalisasi hukum dan nilai moral, serta transmisi lintas generasi melalui pengajaran keluarga dan komunitas.(63) Hal ini menunjukkan bahwa Ulangan bukan sekadar dokumen historis, tetapi juga pedoman hidup yang relevan secara praktis bagi umat Yahudi dari masa ke masa.
Dalam tradisi Kristen, relevansi Ulangan tampak dari kutipan langsung dan pengaruh teologisnya pada Perjanjian Baru. Yesus mengutip Ulangan dalam menghadapi pencobaan di padang gurun (Mat. 4:1–11; Luk. 4:1–13) untuk menekankan ketaatan kepada Allah, menegaskan keselarasan antara hukum Taurat dan misi-Nya. Paulus juga merujuk Ulangan untuk mendukung pengajaran tentang iman, kasih, dan relasi dengan hukum (Rom. 10:5–13).(64) Dengan demikian, Ulangan menjadi jembatan teologis antara hukum Taurat dan penggenapannya dalam Kristus, menunjukkan kontinuitas prinsip moral dan spiritual dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru.
Lebih jauh, kedua tradisi menyoroti dimensi etis dan sosial Ulangan. Hukum yang menekankan perlindungan bagi orang miskin, yatim piatu, janda, dan orang asing (Ul. 14–26) memberikan pedoman bagi keadilan sosial dan kehidupan komunitas yang berlandaskan kasih kepada Allah.(65) Bagi Yahudi, hal ini memperkuat praktik hukum dan tradisi ibadah yang berintegrasi dalam kehidupan sehari-hari; bagi Kristen, prinsip-prinsip ini menemukan penggenapannya dalam ajaran Yesus tentang kasih dan keadilan. Dengan demikian, Ulangan membentuk landasan etis dan teologis yang melintasi tradisi kedua komunitas iman.
Akhirnya, relevansi Ulangan juga bersifat pedagogis dan kontemplatif. Kedua tradisi menekankan pentingnya mengingat sejarah perjanjian, ketaatan, dan konsekuensi dari pelanggaran (berkat dan kutuk). Melalui praktik bacaan, pengajaran, dan refleksi, Ulangan menjadi sarana spiritual yang menuntun umat untuk memahami relasi mereka dengan Allah, membentuk karakter kolektif, dan menegaskan identitas komunitas.(66) Dengan demikian, kitab ini tetap relevan sebagai pedoman teologis, moral, dan sosial, baik bagi Yahudi maupun Kristen.
Kesimpulan dan Implikasi Teologis
(a). Ringkasan Fungsi Kitab Secara Keseluruhan-
Kitab Ulangan berfungsi sebagai penutup Pentateukh sekaligus pengantar narasi sejarah Israel dalam kanon Perjanjian Lama. Secara teologis, kitab ini menegaskan hubungan Allah–Israel melalui perjanjian yang mencakup berkat bagi ketaatan dan kutuk bagi pelanggaran (Ul. 28:1–68). Fungsi utama Ulangan adalah mengingatkan generasi baru Israel tentang perjalanan mereka, hukum yang diberikan, dan pentingnya kesetiaan dalam konteks kehidupan di Tanah Perjanjian. Sebagai dokumen literer dan hukum, Ulangan menyatukan pengalaman historis, prinsip moral, dan arahan ibadah dalam satu kesatuan yang sistematis dan aplikatif bagi umat.
Selain sebagai pengulangan hukum, Ulangan juga berfungsi sebagai pedoman etis dan sosial. Hukum yang disampaikan tidak terbatas pada aspek ritual, tetapi mencakup perlindungan terhadap orang miskin, yatim piatu, janda, dan orang asing (Ul. 14–26), serta aturan mengenai perayaan keagamaan dan kepemimpinan. Dengan demikian, Ulangan membangun fondasi identitas kolektif Israel, di mana ketaatan kepada Allah menjadi dasar bagi kehidupan sosial, politik, dan spiritual bangsa. Fungsi ini menjadikan kitab ini relevan tidak hanya bagi generasi Musa, tetapi juga sebagai pedoman teologis bagi seluruh umat sepanjang sejarah.
Dari perspektif literer, Ulangan berperan sebagai fondasi bagi Sejarah Deuteronomistis (Yosua–2 Raja-Raja), menyediakan kerangka interpretatif yang menghubungkan hukum, ketaatan, dan nasib bangsa. Kesatuan tematik antara pidato perpisahan, pengulangan hukum, dan berkat/kutuk memperlihatkan keterpaduan antara hukum dan sejarah, menjadikan Ulangan sebagai dokumen yang membimbing umat dalam memahami perjalanan historis mereka melalui lensa teologis. Dengan kata lain, kitab ini tidak hanya menyampaikan aturan, tetapi juga membentuk cara berpikir dan membaca sejarah sebagai refleksi dari kesetiaan kepada Allah.
Secara keseluruhan, Kitab Ulangan menegaskan bahwa kehidupan beriman melibatkan kombinasi ketaatan hukum, kesetiaan pada perjanjian, dan tanggung jawab moral terhadap sesama. Fungsi kitab ini bersifat multi-dimensi: historis, etis, liturgis, dan teologis, sehingga menjadi dokumen yang menuntun umat Allah dalam pembentukan identitas, karakter, dan relasi mereka dengan Tuhan. Keutuhan dan konsistensi pesan Ulangan menjadikannya salah satu teks terpenting dalam kanon Perjanjian Lama, dengan implikasi yang luas bagi studi Alkitab dan kehidupan iman.
-
Kitab Ulangan tetap relevan bagi studi Alkitab karena memberikan kerangka teologis yang menjembatani hukum Taurat, narasi sejarah, dan prinsip moral. Bagi para peneliti, teks ini menawarkan pandangan yang sistematis tentang bagaimana hukum, perjanjian, dan pengalaman historis Israel disusun menjadi suatu kesatuan literer yang dapat dianalisis dari perspektif literer, historis, dan teologis. Pendekatan ini memungkinkan para akademisi memahami hubungan antara teks hukum, perjanjian Allah, dan pembentukan identitas kolektif bangsa Israel, serta dampaknya terhadap narasi Deuteronomistis dalam Yosua hingga 2 Raja-Raja.
Dalam kehidupan iman masa kini, Ulangan tetap menjadi pedoman yang relevan bagi pembentukan karakter dan etika. Nilai-nilai kesetiaan kepada Allah, ketaatan terhadap perintah-Nya, dan kepedulian sosial terhadap sesama dapat diaplikasikan dalam konteks modern, baik secara individu maupun komunitas. Misalnya, prinsip keadilan sosial, perlindungan bagi yang lemah, dan tanggung jawab moral yang ditekankan dalam Ulangan 12–26 tetap menjadi acuan bagi praktik keagamaan dan pelayanan masyarakat dalam konteks gereja maupun komunitas iman lainnya.
Lebih jauh, aspek pedagogis Ulangan menekankan pentingnya refleksi atas sejarah dan konsekuensi dari pilihan moral. Berkat dan kutuk yang diuraikan dalam kitab ini menjadi bahan renungan yang mendalam tentang sebab-akibat dalam kehidupan spiritual dan sosial. Ajaran ini mendorong umat untuk menumbuhkan kesadaran bahwa ketaatan kepada Allah membawa kehidupan yang berkelimpahan, sedangkan ketidaktaatan menimbulkan konsekuensi yang nyata. Dengan demikian, Kitab Ulangan tetap relevan sebagai panduan etis dan spiritual untuk pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari-hari.
Secara teologis, Ulangan mengingatkan umat bahwa hubungan dengan Allah bersifat dinamis dan membutuhkan partisipasi aktif dari setiap individu dan komunitas. Hukum dan perintah yang ditafsirkan dalam konteks modern menekankan integrasi iman, moral, dan kehidupan sosial. Dengan pendekatan reflektif ini, kitab Ulangan tidak hanya dipelajari sebagai teks sejarah atau literer, tetapi juga sebagai sumber inspirasi untuk membangun kehidupan iman yang konsisten, beretika, dan berorientasi pada pelayanan kepada sesama.
Hormat Saya

Penulis dari Pinggiran
Catatan Kaki
- Nahum M. Sarna, Exploring Exodus: The Heritage of Biblical Israel (New York: Schocken, 1996), 28–30.↩
- Gerhard von Rad, Studies in Deuteronomy (London: SCM Press, 1953), 15–17.↩
- John H. Walton, Ancient Near Eastern Thought and the Old Testament (Grand Rapids: Baker Academic, 2006), 101–104.↩
- Thomas Römer, The So-Called Deuteronomistic History (London: T&T Clark, 2007), 19–22.↩
- Raymond B. Dillard and Tremper Longman III, An Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 1994), 99–101.↩
- Martin Noth, The Deuteronomistic History (Sheffield: JSOT Press, 1981), 45–48.↩
- Nahum M. Sarna, Exploring Exodus, 32–34.↩
- Raymond B. Dillard and Tremper Longman III, An Introduction to the Old Testament, 103–106.↩
- John H. Walton, Ancient Near Eastern Thought and the Old Testament, 105–108.↩
- Gerhard von Rad, Studies in Deuteronomy, 18–21.↩
- Richard S. Hess, Israelite Religions: An Archaeological and Biblical Survey, 118–121.↩
- Thomas Römer, The So-Called Deuteronomistic History, 24–27.↩
- Nahum M. Sarna, Exploring Exodus: The Heritage of Biblical Israel, 45–47↩
- Thomas Römer, The So-Called Deuteronomistic History, 35–38.↩
- Gerhard von Rad, Studies in Deuteronomy, 22–26.↩
- John H. Walton, Ancient Near Eastern Thought and the Old Testament, 2006), 110–114.↩
- Richard S. Hess, Israelite Religions: An Archaeological and Biblical Survey, 2007), 125–128.↩
- John H. Sailhamer, The Pentateuch as Narrative: A Biblical-Theological Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 1992), 401–406.↩
- Nahum M. Sarna, Exploring Exodus: The Heritage of Biblical Israel, 50–54.↩
- Richard S. Hess, Israelite Religions: An Archaeological and Biblical Survey, 2007), 98–103.↩
- homas Römer, The So-Called Deuteronomistic History: A Sociological, Historical and Philosophical Introduction (London: T & T Clark, 2007), 58–64; Derek Kidner, Deuteronomy: An Introduction and Commentary (Leicester: InterVarsity Press, 1973), 11–20.↩
- Gerhard von Rad, Deuteronomy: A Commentary, 12–18.↩
- R. E. Clements, Deuteronomy: Its Literary and Theological Unity, Journal for the Study of the Old Testament 45 (1989): 27–44.↩
- J. Gordon McConville, Deuteronomy(Leicester: Apollos, 2002), 103–109.↩
- Christopher J. H. Wright, Deuteronomy (Peabody: Hendrickson, 1996), 67–72.↩
- Patrick D. Miller, “The Most Important Word: The Shema,” Interpretation 43, no. 3 (1989): 229–240.↩
- Richard D. Nelson, Deuteronomy: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox, 2002), 88–93.↩
- Jeffrey C. Geoghegan, Centralization in Deuteronomy: Monotheism or Monolatry? Catholic Biblical Quarterly 64, no. 3 (2002): 364–377.↩
- Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 186–191.↩
- Craig G. Bartholomew and Michael W. Goheen, The Drama of Scripture: Finding Our Place in the Biblical Story (Grand Rapids: Baker Academic, 2004), 87–90.↩
- Christopher J. H. Wright, Deuteronomy: Understanding the Bible Commentary (Grand Rapids: Baker Books, 2012), 292–294.↩
- Patrick D. Miller, Deuteronomy (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 261–265.↩
- Daniel I. Block, The NIV Application Commentary: Deuteronomy (Grand Rapids: Zondervan, 2012), 740–743.↩
- Yosia T. Wenas, Teologi Kepemimpinan dalam Peralihan Musa kepada Yosua, Jurnal Teologi dan Pelayanan 19, no. 2 (2023): 155–158.↩
- Gerhard von Rad, Deuteronomy: A Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1966), 3–12.↩
- John H. Walton, Ancient Near Eastern Thought and the Old Testament (Grand Rapids: Baker Academic, 2006), 100–106; see also R. K. Harrison, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1969), 214–218.↩
- Thomas Römer, The So-Called Deuteronomistic History: A Sociological, Historical and Philosophical Introduction (London: T & T Clark, 2007), 20–30; Patrick D. Miller, Deuteronomy (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 45–58.↩
- Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 119–128; J. G. McConville, Deuteronomy (Leicester: Apollos; Downers Grove: IVP Academic, 2002), 15–24.↩
- Gerhard von Rad, Old Testament Theology, Vol. 1 (New York: Harper & Row, 1962), 214–216.↩
- J. Gordon McConville, Deuteronomy (Leicester: Apollos, 2002), 386–390.↩
- Patrick D. Miller, The Ten Commandments and Human Rights (Louisville: Westminster John Knox, 2009), 72.↩
- Christopher J. H. Wright, Deuteronomy (Peabody: Hendrickson, 2006), 89–91.↩
- Elmer A. Martens, God’s Design: A Focus on Old Testament Theology (Grand Rapids: Baker, 1998), 116.↩
- Richard D. Nelson, Deuteronomy: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox, 2002), 334.↩
- Moshe Weinfeld, Deuteronomy and the Deuteronomic School (Oxford: Clarendon Press, 1972), 363–366.↩
- N. T. Wright, Paul and the Faithfulness of God (Minneapolis: Fortress Press, 2013), 741–742.↩
- Andreas J. Köstenberger and Scott R. Swain, Biblical Theology: Old and New Testaments (Wheaton: Crossway, 2021), 129.↩
- John H. Walton, Ancient Israelite Literature in Its Cultural Context (Grand Rapids: Zondervan, 2018), 201.↩
- Nahum M. Sarna, Exploring Exodus: The Origins of Biblical Israel (New York: Schocken Books, 2019), 289.↩
- Richard D. Nelson, Deuteronomy: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox, 2017), 174.↩
- Mark J. Boda, The Theology of Centralization in Deuteronomy and Its Reception in the Deuteronomistic History, Journal for the Study of the Old Testament 43, no. 2 (2019): 152–170.↩
- Samuel T. Liao, From Centralized Worship to Spiritual Worship: A Comparative Study of Deuteronomy 12 and John 4, Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 19, no. 1 (2020): 45–62.↩
- John H. Sailhamer, The Pentateuch as Narrative: A Biblical-Theological Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 1992), 401–408.↩
- J. G. McConville, Deuteronomy (Leicester: Apollos; Downers Grove: IVP Academic, 2002), 12–20, 98–105.↩
- Patrick D. Miller, Deuteronomy (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 58–66.↩
- Thomas Römer, The So-Called Deuteronomistic History: A Sociological, Historical and Philosophical Introduction (London: T & T Clark, 2007), 25–32.↩
- Martin Noth, The Deuteronomistic History (Sheffield: JSOT Press, 1981), 4–12.Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 19–21.↩
- Richard D. Nelson, Joshua: A Commentary (Louisville: Westminster John Knox Press, 1997), 19–21.↩
- Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 231–233.↩
- John Bright, A History of Israel, 4th ed. (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 325–328.↩
- Moshe Weinfeld, Deuteronomy and the Deuteronomic School (Winona Lake: Eisenbrauns, 1992), 15–18.↩
- Frank Moore Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epic (Cambridge: Harvard University Press, 1973), 274–277.↩
- Baruch A. Levine, Deuteronomy 1–11: A New Translation with Introduction and Commentary (New York: Doubleday, 1993), 15–23.↩
- Richard B. Hays, The Moral Vision of the New Testament: Community, Cross, New Creation (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1996), 45–50.↩
- Walter Brueggemann, Deuteronomy (Louisville: Westminster John Knox Press, 2001), 112–120.↩
- Tremper Longman III, How to Read the Bible Book by Book (Grand Rapids: Zondervan, 2002), 68–72.↩
0 Comments