property='og:image'/>

Negeri Seribu Bambu

Lakahang: Negeri Seribu Bambu

Di sebuah dataran yang tenang, di tengah perbukitan Kecamatan Tabulahan, berdirilah sebuah negeri kecil bernama Lakahang, tempat di mana bambu tidak sekadar tumbuhan, tapi lambang ketekunan dan keteguhan hidup.

Masyarakat menyebutnya dengan bangga: “Negeri Seribu Bambu.”

Bukan tanpa alasan. Di sepanjang aliran Sungai Lakahang yang membelah kampung, di tepian kebun yang belum tergarap, hingga batas persawahan yang luasnya mencapai seratus hektar, bambu tumbuh tanpa diundang, dan kembali bangkit meski ditebang. Ia tumbuh dalam diam, namun menjadi saksi atas segala musim. Setiap pagi, kabut tipis sering menyelimuti dataran ini. Orang-orang tua percaya, itu pertanda kemarau sedang menjelang. Sementara saat senja, di barat Lakahang, matahari tenggelam perlahan seperti pulang ke rumahnya. Di tanah yang dalam bahasa daerah disebut "Rante", yang berarti datar, keindahan dan keteduhan berpadu dalam sunyi yang bersahaja.

Sebagian besar masyarakat Lakahang adalah petani, hidup dari tanah yang mereka rawat turun-temurun. Sebagian lainnya menjadi guru, pedagang kecil, atau pegawai negeri. Namun semua hidup berdampingan dalam ritme yang damai, di bawah naungan bambu yang tak pernah mengeluh meski sering dilukai.

Bambu bagi mereka bukan benda istimewa, tapi selalu ada ketika dibutuhkan. Untuk pagar kebun, untuk nampan, untuk alat musik tradisional, menaungi petani lewat topi anyaman sederhana atau bahkan dikirim jauh ke Toraja sebagai bahan kerajinan adat. Suatu hari, penulis melihat truk kecil mengangkut bambu ke luar Lakahang. Ketika ditanya, sopirnya berkata, “Ini bambu untuk longa, bahan penting rumah adat Toraja.” Meski Lakahang tenang, hasil alamnya punya cerita panjang. Mereka tak hanya tumbuh di tanah lokal, tapi mengalir melintasi jarak, ikut membentuk wajah budaya negeri.

Ada satu cerita kecil namun tak terlupakan:
Di suatu sore, ketika warga membakar lahan untuk pertanian baru, bambu-bambu yang terkena api meledak satu per satu. Suaranya nyaring, keras, dan menggelegar. Kami menonton seperti menonton pesta kembang api desa, dengan rasa ingin tahu, tawa, dan sedikit kagum. Bambu, bahkan ketika terbakar, masih ingin bersuara.

Makna dari Negeri Seribu Bambu

Bambu adalah simbol ketahanan diam. Ia tidak tumbuh cepat, tetapi kuat dalam badai. Ia mungkin tampak biasa, namun menyimpan potensi tak terduga, seperti halnya Lakahang sendiri.

Tak banyak orang mengenal kampung ini. Tapi lewat blog ini, penulis ingin menyuarakan bahwa dari pinggiran Mamasa pun ada kisah yang patut dibaca dunia. Ada ketabahan, ada keindahan, ada kehidupan yang tetap bertumbuh meski ditekan oleh waktu dan peradaban.

“Tuliskanlah penglihatan itu dan ukirkanlah itu pada loh-loh, supaya orang sambil lalu dapat membacanya.” (Habakuk 2:2)

Inilah penglihatan itu. Inilah suara dari pinggiran. 

Post a Comment

0 Comments