I. Latar Belakang Historis Kitab Hakim-Hakim
-
(1). Kondisi Israel Setelah Kematian Yosua
-
Kematian Yosua meninggalkan kekosongan kepemimpinan yang besar bagi bangsa Israel. Selama kepemimpinannya, Israel mengalami kestabilan rohani dan militer karena Yosua bukan hanya seorang panglima perang, tetapi juga seorang pemimpin rohani yang senantiasa mengarahkan bangsa itu kepada ketaatan kepada Tuhan. Namun setelah ia meninggal, bangsa Israel mulai goyah, sebab otoritas kepemimpinan yang bersifat sentral hilang dan setiap suku harus berjuang sendiri tanpa koordinasi nasional yang jelas(1). Kitab Hakim-Hakim 2:10 mencatat dengan nada pilu bahwa “bangkitlah sesudah mereka angkatan lain, yang tidak mengenal TUHAN ataupun perbuatan yang dilakukan-Nya bagi orang Israel.” Ayat ini menggambarkan bukan hanya hilangnya pengenalan historis akan karya Allah, tetapi juga terputusnya warisan rohani antargenerasi. Banyak ahli Perjanjian Lama menilai bahwa inilah awal keruntuhan spiritual Israel. Daniel I. Block menyebut fase ini sebagai “a transition from covenant fidelity to covenant amnesia”, suatu perpindahan dari kesetiaan kepada pelupaan perjanjian(2).

Ketiadaan figur pemersatu menyebabkan bangsa Israel memasuki era “konfederasi longgar”, di mana setiap suku hidup menurut kepentingannya masing-masing tanpa ikatan persatuan yang kuat. Kondisi ini tidak hanya melemahkan kekuatan militer, tetapi juga merusak solidaritas antar-suku. George F. Moore menggambarkannya sebagai “an age of disintegration, where tribal identity outweighed national faith”, masa perpecahan di mana identitas suku lebih diutamakan daripada iman nasional(3). Dalam kekosongan kepemimpinan inilah bangsa-bangsa Kanaan mulai memengaruhi Israel melalui relasi dagang, pernikahan campur, dan penyembahan berhala. Dengan tidak adanya pemimpin yang menegakkan hukum Allah secara konsisten, Israel mulai kehilangan distingsi moralnya dan hidup tidak lagi berdasarkan ketaatan, melainkan menurut apa yang dianggap benar oleh masing-masing orang (Hak. 17:6; 21:25). Inilah latar historis yang melahirkan era para hakim: masa di mana bangsa Allah jatuh berulang kali bukan karena kekurangan senjata, tetapi karena kehilangan arah rohani.
-
Setelah kematian Yosua, bangsa Israel memasuki periode yang unik dan kompleks dalam sejarah mereka: tidak ada raja di antara mereka. Situasi ini bukan sekadar kekosongan politik, melainkan juga tantangan rohani. Tanpa figur sentral yang menegakkan hukum Allah dan menyatukan seluruh suku, setiap kelompok suku hidup menurut kebijaksanaan dan pandangan sendiri, seringkali bertolak belakang dengan kehendak Tuhan(4). Keadaan ini menciptakan semacam “konfederasi longgar” di mana solidaritas antar-suku melemah dan identitas suku lebih dominan daripada kesatuan nasional. Para ahli menilai bahwa model kepemimpinan seperti ini, meski tidak ideal, memberi ruang bagi Allah untuk menunjukkan kepemimpinan karismatik-Nya melalui hakim-hakim, tokoh yang dibangkitkan Tuhan sesuai kebutuhan situasi(5).

Para hakim berfungsi sebagai pemimpin sementara, panglima, dan pembawa keadilan. Mereka bukan raja turun-temurun; otoritas mereka diberikan Allah dalam konteks krisis spiritual atau militer. Richard S. Hess menekankan bahwa para hakim muncul "as divine deliverers, not dynastic rulers", sehingga setiap kepemimpinan sangat tergantung pada panggilan ilahi dan ketaatan umat, bukan hak keturunan atau kekuasaan politik(6). Struktur sosial tanpa raja ini menunjukkan paradoks: di satu sisi, ketidakteraturan sosial memungkinkan kebebasan, namun di sisi lain, kebebasan itu seringkali berujung pada kemerosotan moral. Tanpa figur yang menegakkan hukum Allah, masyarakat mudah terjerumus ke dalam penyembahan berhala dan konflik antar-suku.
Namun, pola kepemimpinan karismatik ini juga mencerminkan ketergantungan total umat pada Tuhan. Setiap kali Israel jatuh dalam dosa dan penindasan datang, Allah membangkitkan hakim sebagai sarana pembebasan, menegaskan prinsip bahwa keselamatan dan kesejahteraan bangsa bukan bergantung pada sistem politik manusia, melainkan pada kesetiaan Allah dan respons manusia terhadap panggilan-Nya. Barry G. Webb menekankan bahwa meski model ini tampak tidak stabil menurut standar manusia, Tuhan memakai kelemahan manusia untuk menampilkan kekuatan karismatik-Nya dan mengajarkan umat-Nya pelajaran moral yang mendalam(7). Hal ini menjadi cermin yang relevan bagi jemaat di pedalaman, seperti di Kelurahan Lakahang, di mana pemimpin rohani lokal memainkan peran strategis dalam membimbing umat yang tersebar dan menghadapi tantangan sosial, budaya, maupun ekonomi.