property='og:image'/>

Pengharapan Kristen di Tengah Pergumulan Hidup: Tinjauan Biblis, Teologis, Pastoral, dan Eskatologis

Ilustrasi pengharapan Kristen: sosok berdoa di antara siang dan malam, menandai keteguhan iman di tengah pergumulan.

PENDAHULUAN

Hidup manusia tidak pernah lepas dari pergumulan. Dalam lintasan sejarah maupun pengalaman kontemporer, realitas penderitaan senantiasa hadir dalam bentuk yang beragam: krisis ekonomi, penyakit, relasi yang retak, hingga pengalaman rohani ketika doa tidak segera terjawab. Dalam konteks Indonesia, tekanan ekonomi menjadi salah satu sumber penderitaan yang signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 mencatat peningkatan angka rumah tangga yang mengalami kesulitan membayar pinjaman konsumtif, terutama akibat inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat(1). Kondisi demikian berdampak pada meningkatnya tekanan psikologis, termasuk di kalangan orang Kristen, yang sering kali berdoa siang dan malam namun tidak segera menemukan jawaban dari Allah. Situasi seperti ini menimbulkan pertanyaan eksistensial yang mendalam: sampai kapan pengharapan ini harus bertahan, dan apakah orang percaya harus tetap teguh dalam pengharapan tersebut?

Pertanyaan tersebut bukan sekadar persoalan psikologis, melainkan juga menyentuh inti teologi Kristen. Alkitab menempatkan pengharapan sebagai salah satu aspek mendasar dari kehidupan iman, sejajar dengan iman dan kasih (1 Kor. 13:13). Berbeda dengan pengharapan dunia yang sering didasarkan pada optimisme atau kalkulasi rasional, pengharapan Kristen berakar pada janji Allah yang setia. Jürgen Moltmann menegaskan bahwa pengharapan Kristen bersifat proleptik, yaitu berorientasi pada masa depan yang dijanjikan Allah, namun sudah bekerja dalam realitas saat ini(2). Dengan demikian, pengharapan bukanlah sekadar sikap mental untuk bertahan, melainkan suatu tindakan iman yang berakar pada kesetiaan Allah dan karya Roh Kudus dalam hati orang percaya.

Rasul Paulus menyatakan bahwa pengharapan orang percaya “tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Rm. 5:5). Ayat ini menunjukkan bahwa pengharapan tidak bergantung pada keberhasilan doa secara instan, tetapi pada relasi kasih Allah yang menopang umat-Nya. Demikian pula, penulis surat Ibrani mengingatkan: “Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia” (Ibr. 10:23). Kesetiaan Allah menjadi dasar objektif yang membedakan pengharapan Kristen dari sekadar optimisme duniawi.

Lebih jauh, dimensi eskatologis pengharapan Kristen juga penting. Roma 8:24–25(3) menegaskan bahwa pengharapan berkaitan dengan sesuatu yang belum terlihat. N. T. Wright menekankan bahwa pengharapan eskatologis orang percaya bukanlah pelarian dari realitas dunia, tetapi janji pemulihan ciptaan Allah secara utuh yang memotivasi umat untuk setia dalam perjuangan hidup(4). Dengan kata lain, pengharapan Kristen bersifat transformatif: ia memberi kekuatan di masa kini sekaligus mengarahkan pandangan pada pemulihan yang akan datang.

Namun demikian, tantangan besar muncul dalam konteks kehidupan jemaat masa kini. Tidak sedikit orang Kristen yang mengalami krisis iman ketika harapan mereka atas penyelesaian cepat tidak kunjung terwujud. Timothy Keller mengingatkan bahwa penderitaan dapat menjadi batu sandungan yang besar bagi iman, tetapi juga dapat menjadi sarana bagi pembentukan karakter rohani, jika dijalani dengan perspektif pengharapan Injil(5). Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman pengharapan Kristen perlu terus dikaji secara teologis dan pastoral, agar jemaat tidak kehilangan arah di tengah tekanan hidup yang berkepanjangan.

Berdasarkan latar belakang ini, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis konsep pengharapan Kristen secara teologis dengan bertumpu pada kesaksian Alkitab, khususnya Roma 5:1–5 dan Ibrani 10:23, serta teks-teks pendukung seperti Mazmur 42:6, 2 Korintus 4:16–18, dan Pengkhotbah 3:11. Pertanyaan utama yang hendak dijawab adalah: Apakah pengharapan Kristen hanya bersifat psikologis, ataukah ia memiliki dasar teologis yang kokoh sehingga dapat menopang orang percaya di tengah krisis hidup? Pertanyaan turunan yang terkait ialah: (1) Bagaimana pengharapan Kristen berbeda dari optimisme duniawi? (2) Bagaimana pengharapan Kristen membentuk spiritualitas jemaat di tengah penderitaan? dan (3) Bagaimana implikasi pastoral dari pengharapan Kristen bagi gereja masa kini? Dengan pendekatan biblika dan refleksi pastoral, artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengharapan Kristen, sekaligus menjadi sarana penguatan iman bagi jemaat. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Miroslav Volf, pengharapan yang berakar pada Allah adalah “kekuatan yang membuat manusia dapat hidup dengan penuh makna di tengah keterbatasan dan penderitaan dunia ini.”(6)

KAJIAN PUSTAKA

1. Pengharapan dalam Teologi Kontemporer

Konsep pengharapan Kristen telah lama menjadi perhatian dalam teologi sistematika. Jürgen Moltmann melalui teologinya menekankan bahwa pengharapan Kristen bersifat proleptik, yaitu orientasi kepada masa depan Allah yang sudah mulai dialami pada masa kini.(7) Dalam karyanya yang lebih mutakhir, Moltmann menegaskan bahwa dunia yang rapuh saat ini hanya dapat bertahan melalui kekuatan pengharapan yang bersumber dari Roh Kudus.(8)

Selain Moltmann, Miroslav Volf menyoroti dimensi eksistensial pengharapan. Ia menekankan bahwa pengharapan tidak sekadar orientasi ke depan, tetapi juga kekuatan yang membuat hidup manusia bernilai di tengah penderitaan. Menurutnya, tanpa pengharapan, manusia mudah jatuh pada keputusasaan dan kehilangan arah hidup.(9) Perspektif ini menegaskan fungsi pengharapan sebagai “energi rohani” yang menopang eksistensi manusia sehari-hari.

James K. A. Smith, dalam refleksi filosofis-teologisnya, menghubungkan pengharapan dengan praktik liturgi. Baginya, ibadah Kristen merupakan “sekolah pengharapan” karena melalui doa, nyanyian, dan sakramen, umat diajar untuk menantikan penggenapan janji Allah.(10

2. Kajian Biblika tentang Pengharapan

Alkitab secara konsisten mengajarkan bahwa pengharapan adalah bagian integral dari iman. Dalam Roma 5:1–5, Paulus menekankan bahwa penderitaan menghasilkan ketekunan, ketekunan menghasilkan tahan uji, dan tahan uji menghasilkan pengharapan yang tidak mengecewakan. Struktur teks ini menunjukkan bahwa pengharapan tidak hadir di luar penderitaan, tetapi justru lahir dari dalam penderitaan itu sendiri.(11)

Sementara itu, Ibrani 10:23 menegaskan dimensi objektif pengharapan, yakni kesetiaan Allah. Penulis surat Ibrani mendorong jemaat untuk tidak meninggalkan pengharapan, meskipun mereka mengalami penganiayaan dan kesulitan.(12) Teks-teks lain juga menegaskan pentingnya pengharapan: Mazmur 42,(13) 2 Korintus 4:16–18,(14) dan Pengkhotbah 3:11.

3. Refleksi Pastoral Kontemporer

Dalam bidang pastoral, pengharapan menjadi kunci dalam mendampingi jemaat yang menghadapi penderitaan. Timothy Keller menekankan bahwa penderitaan dapat melemahkan iman, tetapi Injil memberi pengharapan melalui salib dan kebangkitan Kristus. Kebangkitan bukan hanya jaminan hidup kekal, tetapi juga sumber kekuatan menghadapi penderitaan sekarang.(15) Di sisi lain, komunitas iman dalam menopang pengharapan tidak pernah bersifat individualistis; ia dipelihara dan diperkuat melalui persekutuan umat Allah. Pandangan ini menegaskan bahwa pengharapan Kristen tidak dapat dilepaskan dari konteks gereja sebagai tubuh Kristus


PEMBAHASAN

Dimensi Biblika Pengharapan di Tengah Pergumulan

Pengharapan dalam iman Kristen tidak dapat dilepaskan dari kesaksian Alkitab. Dalam Perjanjian Lama, pengharapan umat Allah sering muncul dalam konteks penderitaan dan keterpurukan. Misalnya, Mazmur 42 memperlihatkan seorang pemazmur yang mengalami kegalauan jiwa, namun tetap mengarahkan dirinya untuk berharap kepada Allah: “Mengapakah engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah!” (Mzm. 42:6a). Ayat ini menunjukkan bahwa pengharapan bukan sekadar optimisme, melainkan sebuah pilihan iman untuk tetap menantikan Allah di tengah realitas pahit.(16)

Dalam Perjanjian Baru, Paulus menekankan bahwa penderitaan justru melahirkan pengharapan. Roma 5:3–5 menegaskan bahwa “kesengsaraan menimbulkan ketekunan, ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan.” Douglas J. Moo menafsirkan bahwa rantai progresif ini menggambarkan proses transformasi iman, di mana penderitaan bukan hanya ujian, tetapi sarana Allah untuk membentuk ketahanan rohani.(17) Dengan demikian, pengharapan tidak muncul secara instan, melainkan melalui perjalanan iman yang diwarnai pergumulan. Selain itu, Ibrani 10:23 menekankan agar orang percaya “teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan” karena Allah yang menjanjikan adalah setia. Gareth Lee Cockerill menegaskan bahwa penulis Ibrani menempatkan kesetiaan Allah sebagai fondasi objektif pengharapan Kristen, sehingga pengharapan tidak pernah menjadi sekadar ilusi subjektif.(18) Di sini, dimensi biblika pengharapan jelas: ia berakar pada karakter Allah yang setia dan janji-Nya yang kekal. Korelasi antara pengharapan dan penderitaan juga terlihat dalam 2 Korintus 4:16–18. Paulus menyebut penderitaan sekarang sebagai “penderitaan ringan” jika dibandingkan dengan kemuliaan kekal yang akan datang. N. T. Wright menafsirkan bahwa pengharapan ini bersifat eskatologis, yakni orientasi kepada kebangkitan dan pembaruan ciptaan.(19) Maka, pengharapan Kristen tidak pernah terlepas dari realitas penderitaan, tetapi memberi perspektif baru bahwa penderitaan bukanlah akhir dari segala sesuatu. Dengan demikian, dimensi biblika menegaskan bahwa pengharapan Kristen bukan sekadar menghindari penderitaan, melainkan kemampuan untuk tetap setia dan bertahan karena yakin pada janji Allah. Inilah yang membedakan pengharapan Kristen dengan bentuk optimisme manusiawi yang rapuh.


Dimensi Teologis: Pengharapan sebagai Anugerah dan Tanggung Jawab

Pengharapan dalam iman Kristen bukanlah hasil usaha manusia semata, melainkan anugerah Allah . Paulus dalam 1 Korintus 13:13 menempatkan pengharapan sejajar dengan iman dan kasih sebagai tiga keutamaan yang akan tetap tinggal. Ketiganya adalah pemberian Allah, yang berarti bahwa pengharapan tidak dapat direduksi menjadi optimisme manusiawi, melainkan manifestasi karya Roh Kudus dalam hati orang percaya.(20) Dalam kerangka teologi sistematik, pengharapan Kristen dipahami sebagai anugerah yang mengalir dari karya keselamatan Kristus. Jürgen Moltmann menegaskan bahwa pengharapan lahir dari salib dan kebangkitan: salib menunjukkan penderitaan yang nyata, sedangkan kebangkitan memberi kepastian akan masa depan Allah. Dengan demikian, pengharapan adalah bagian integral dari eskatologi Kristen, yang berakar pada peristiwa historis Kristus. Namun, pengharapan bukan hanya anugerah pasif; ia juga menuntut tanggung jawab aktif dari orang percaya. Ibrani 6:11–12 mendorong jemaat untuk tidak menjadi lamban, tetapi meneladani mereka yang melalui iman dan kesabaran memperoleh janji-janji Allah. Artinya, pengharapan harus dipelihara melalui disiplin rohani: doa, firman, dan ketaatan. James K. A. Smith menekankan bahwa praktik liturgi gereja berfungsi sebagai “sekolah pengharapan,” tempat umat dibentuk untuk terus menantikan Allah meskipun realitas hidup tampak mengecewakan.(21) Dimensi teologis ini juga menegaskan relasi antara pengharapan dan iman. Miroslav Volf menyebut pengharapan sebagai “ekstensi iman ke masa depan”, iman mempercayai Allah pada masa kini, sementara pengharapan mempercayai janji-Nya yang belum terlihat.(22)

Dengan demikian, iman dan pengharapan tidak dapat dipisahkan: iman menopang pengharapan, dan pengharapan memperluas iman menuju horizon eskatologis.

Lebih jauh, pengharapan juga mengandung dimensi etis. Pengharapan sejati mendorong orang percaya untuk hidup kudus dan aktif berkarya di dunia. 1 Yohanes 3:3 menegaskan bahwa setiap orang yang menaruh pengharapan pada Kristus akan menyucikan dirinya, sama seperti Dia adalah suci. N. T. Wright menambahkan bahwa pengharapan akan kebangkitan bukan alasan untuk lari dari dunia, melainkan dorongan untuk berpartisipasi dalam karya Allah membarui ciptaan.(23) Dengan demikian, secara teologis, pengharapan Kristen memiliki dua sisi: ia adalah anugerah Allah yang diberikan melalui karya Kristus dan Roh Kudus, sekaligus tanggung jawab manusia untuk memelihara, menghidupi, dan mewujudkan pengharapan itu dalam iman, kasih, dan tindakan nyata.(24)


Dimensi Pastoral: Pengharapan dalam Kehidupan Jemaat (Konteks Indonesia)


Realitas jemaat di Indonesia sering diwarnai oleh pergumulan ekonomi. Banyak keluarga Kristen hidup dalam tekanan finansial akibat rendahnya pendapatan, naiknya harga kebutuhan pokok, dan ketidakstabilan ekonomi. Dalam situasi ini, tidak jarang muncul persoalan utang yang menumpuk, rencana hidup yang tertunda, bahkan putus asa karena doa-doa seolah belum dijawab. Pergumulan seperti ini sering membuat pengharapan terasa rapuh. Namun, justru di sinilah pengharapan Kristen menemukan relevansinya.


a. Pengharapan sebagai Penopang dalam Krisis Ekonomi

Mazmur 37:25 berkata, “Aku muda, dan sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti.” Ayat ini menjadi dasar iman bahwa Allah tetap setia memelihara umat-Nya, sekalipun dalam kesempitan ekonomi. Bagi jemaat yang berhadapan dengan utang dan beban finansial, pesan pastoral yang penting adalah: pengharapan bukan berarti semua masalah langsung selesai, tetapi keyakinan bahwa Allah menyediakan kekuatan untuk melewati krisis dengan setia. Timothy Keller dalam refleksinya menegaskan bahwa penderitaan ekonomi seringkali membuka ruang untuk pengalaman lebih dalam tentang kasih karunia Allah. Kesadaran ini mengubah cara jemaat memandang krisis, bukan sebagai tanda ditinggalkan Tuhan, melainkan kesempatan untuk mengandalkan Allah sepenuhnya.(25)


b. Komunitas Gereja sebagai Wadah Solidaritas

Dalam konteks Indonesia, di mana budaya komunal masih kuat, pengharapan dapat dipelihara melalui solidaritas jemaat . Gereja dipanggil bukan hanya untuk mendoakan, tetapi juga hadir secara konkret dalam membantu anggota yang kesulitan. Kisah Para Rasul 4:34–35 memberi teladan, ketika jemaat mula-mula saling berbagi sehingga tidak ada seorang pun yang berkekurangan. Dalam pelayanan pastoral Indonesia, bentuk konkret pengharapan adalah gotong royong jemaat, misalnya, penggalangan dana, koperasi gereja, atau dukungan usaha kecil jemaat. John Swinton mengingatkan bahwa pengharapan sejati dipelihara bersama dalam komunitas iman.(26)

Artinya, seorang jemaat yang terbeban utang atau kehilangan pekerjaan tidak seharusnya berjalan sendirian, melainkan merasakan dukungan nyata dari tubuh Kristus.


c. Liturgi sebagai Sumber Kekuatan Rohani

Ibadah dan liturgi gereja di Indonesia juga berfungsi sebagai ruang pembentukan pengharapan. Nyanyian rohani seperti “Besar Setia-Mu” atau doa syafaat yang menyinggung pergumulan ekonomi dapat menjadi pengingat bahwa Allah tetap setia. James K. A. Smith menyebut liturgi sebagai “sekolah pengharapan” karena melalui ritme ibadah, jemaat dituntun untuk melihat masa depan Allah meski kondisi sekarang sulit.(27) Dalam konteks pastoral Indonesia, khotbah dan doa yang relevan dengan realitas jemaat (misalnya soal utang, pengangguran, atau gagal panen) menjadi penting. Hal ini menegaskan bahwa pengharapan bukanlah wacana abstrak, tetapi jawaban Injil bagi kebutuhan sehari-hari umat.


d. Pengharapan Mendorong Tanggung Jawab Sosial

Pengharapan bukan hanya memberi ketenangan, tetapi juga mendorong jemaat untuk bertindak. 1 Korintus 15:58 menegaskan bahwa “dalam Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” Dalam pelayanan pastoral, ini berarti jemaat yang berharap kepada Allah juga dipanggil untuk bekerja keras, mengelola keuangan dengan bijak, dan mencari solusi bersama dalam mengatasi utang. N. T. Wright menegaskan bahwa pengharapan eskatologis bukan alasan untuk pasif, tetapi dasar untuk terlibat aktif dalam membangun kehidupan yang lebih baik.(28)

Bagi jemaat Indonesia, pengharapan yang sehat adalah kombinasi antara iman pada janji Allah dan tanggung jawab dalam tindakan nyata, baik dalam usaha ekonomi, solidaritas sosial, maupun kehidupan rohani. Dengan demikian, dalam konteks pastoral jemaat Indonesia, pengharapan Kristen berfungsi ganda: sebagai kekuatan rohani untuk bertahan dalam krisis, sekaligus sebagai dorongan etis untuk hidup aktif, setia, dan saling menopang dalam kasih Kristus.


Dimensi Eskatologis: Kepastian Pengharapan Kekal


Salah satu ciri khas iman Kristen adalah orientasi eskatologisnya: iman bukan hanya menyangkut masa kini, tetapi juga masa depan yang Allah janjikan. Paulus menegaskan dalam Roma 8:24–25, “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukanlah pengharapan lagi… Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.” Ayat ini menegaskan bahwa pengharapan Kristen bersifat futuristik, yaitu menantikan kepenuhan keselamatan dalam Kristus.


a. Kepastian Kebangkitan dan Hidup Kekal

Fondasi pengharapan eskatologis adalah kebangkitan Yesus Kristus. 1 Korintus 15:20–22 menegaskan bahwa Kristus telah bangkit sebagai yang sulung dari antara orang mati, sehingga orang percaya memiliki jaminan kebangkitan. N. T. Wright menekankan bahwa kebangkitan bukan sekadar simbol spiritual, melainkan realitas historis yang menjadi dasar kepastian masa depan.(29)

Bagi jemaat, pengharapan ini berarti bahwa penderitaan dunia saat ini, termasuk kesulitan ekonomi, sakit penyakit, dan pergumulan sosial, tidak akan memiliki kata akhir.


b. Pengharapan akan Pemulihan Segala Sesuatu

Eskatologi Kristen tidak hanya berbicara tentang keselamatan pribadi, tetapi juga tentang pemulihan kosmik. Wahyu 21:4 menggambarkan masa depan ketika Allah akan menghapus segala air mata, dan tidak ada lagi maut, perkabungan, ratap tangis, atau dukacita. Jürgen Moltmann menyebut visi ini sebagai “teologi pengharapan” yang memberi makna baru pada penderitaan: penderitaan tidak sia-sia, karena Allah sedang menuntun ciptaan menuju pemulihan penuh.(30)

Dalam konteks pastoral, janji ini sangat penting bagi jemaat yang bergumul dengan masalah utang, kehilangan, dan tekanan hidup. Pengharapan eskatologis menolong mereka melihat bahwa hidup di dunia ini bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan menuju kepenuhan janji Allah.


c. Dimensi Etis dari Pengharapan Eskatologis

Pengharapan eskatologis tidak berarti orang percaya boleh pasif menunggu. Sebaliknya, Alkitab mendorong umat untuk hidup dalam kesetiaan sambil menantikan penggenapan janji Allah. 2 Petrus 3:13–14 menegaskan bahwa karena kita menantikan langit dan bumi yang baru, maka kita harus berusaha hidup kudus dan tak bercacat. Dengan demikian, pengharapan akan masa depan yang kekal menjadi motivasi untuk hidup benar di masa kini. Miroslav Volf menambahkan bahwa eskatologi Kristen menumbuhkan daya tahan moral, karena orang percaya tahu bahwa penderitaan saat ini bersifat sementara dibandingkan dengan kemuliaan kekal yang menanti.(31) Artinya, pengharapan eskatologis bukan hanya bersifat kontemplatif, tetapi juga memberi tenaga etis untuk menjalani hidup sehari-hari dengan penuh kesetiaan.


d. Penghiburan dan Kepastian bagi Jemaat

Dimensi eskatologis ini juga menjadi penghiburan mendalam bagi jemaat di Indonesia yang berhadapan dengan realitas keras kehidupan. Janji kebangkitan dan pemulihan ciptaan memberi perspektif bahwa utang, kegagalan rencana, atau penderitaan sosial bukanlah akhir dari segalanya. Seperti yang ditegaskan Paulus dalam 2 Korintus 4:17, “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan itu.” Dalam pelayanan pastoral, pengharapan eskatologis ini perlu terus diwartakan, bukan untuk melarikan diri dari realitas, tetapi untuk memperkuat jemaat agar tetap setia menanggung penderitaan dengan pandangan terarah pada janji kekal Allah. Jadi dimensi eskatologis menegaskan bahwa pengharapan Kristen adalah pasti karena berakar pada kebangkitan Kristus, berorientasi pada pemulihan ciptaan, dan menuntun umat hidup kudus sambil menantikan janji Allah. Inilah kepastian yang membedakan pengharapan Kristen dari optimisme duniawi: pengharapan ini tidak pernah sia-sia karena berakar pada Allah yang setia.(32)

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

A. Kesimpulan

Artikel ini telah menelaah pengharapan Kristen dalam empat dimensi: biblis, teologis, pastoral, dan eskatologis. Pertama, secara biblis, pengharapan Kristen berakar dalam janji Allah yang dinyatakan melalui kebangkitan Yesus Kristus. Kitab Suci menegaskan bahwa pengharapan ini bukanlah ilusi melainkan janji yang pasti (Roma 8:24–25; 1 Kor. 15:20–22). Kedua, secara teologis, pengharapan Kristen merupakan tindakan iman yang terikat pada karya penebusan Kristus dan pemeliharaan Roh Kudus. Pengharapan tidak berdiri sendiri, melainkan menyatu dengan iman dan kasih, membentuk inti kehidupan Kristen.
Ketiga, secara pastoral, pengharapan Kristen memberi daya tahan rohani dan moral bagi jemaat yang bergumul dengan krisis ekonomi, tekanan sosial, dan pergumulan utang. Pengharapan tidak hanya menjadi penghiburan, tetapi juga kekuatan untuk bertahan dan terus melangkah.
Keempat, secara eskatologis, pengharapan Kristen berorientasi pada kepastian kebangkitan dan pemulihan kosmik. Pengharapan ini memberi perspektif bahwa penderitaan saat ini bersifat sementara dan akan digantikan dengan kemuliaan kekal. Dengan demikian, pengharapan Kristen bukanlah sekadar optimisme manusiawi, melainkan kepastian ilahi yang berakar dalam karya Kristus, menopang umat dalam penderitaan, dan mengarahkan mereka menuju pemulihan penuh dalam Kerajaan Allah. .

B. Implikasi

  1. Implikasi Teologis:
    Pengharapan Kristen menantang gereja untuk terus mengajarkan iman yang berakar dalam Kitab Suci dan teologi yang sehat. Gereja tidak boleh menyederhanakan pengharapan menjadi sekadar motivasi psikologis, melainkan menegaskannya sebagai kepastian eskatologis yang dijamin oleh kebangkitan Kristus.(33)
  2. Implikasi Pastoral:
    Dalam konteks jemaat Indonesia, khususnya yang berhadapan dengan krisis ekonomi dan sosial, pengharapan Kristen harus diterjemahkan dalam pelayanan pastoral yang memberi penghiburan sekaligus penguatan iman. Konseling pastoral, khotbah, dan pendampingan jemaat perlu berpusat pada pengharapan kekal yang memberi daya tahan menghadapi kesulitan hidup sehari-hari.(34)
  3. Implikasi Etis dan Sosial:
    Pengharapan Kristen menuntut orang percaya untuk hidup dalam kekudusan dan kesetiaan sambil menantikan pemulihan ciptaan. Jemaat dipanggil untuk menjadi saksi pengharapan melalui tindakan etis, jujur, adil, peduli sesama, sebagai tanda kehadiran Kerajaan Allah di dunia.(35)
  4. Implikasi Misi
    Gereja dipanggil untuk mewartakan pengharapan Kristus bukan hanya kepada jemaat, tetapi juga kepada dunia yang kehilangan arah akibat penderitaan, kemiskinan, dan krisis moral. Dengan demikian, pengharapan Kristen menjadi kesaksian hidup yang relevan dan transformatif.

C. Penutup

Akhirnya, pengharapan Kristen adalah “jangkar jiwa” (Ibr. 6:19) yang kokoh, yang mengikat orang percaya pada janji Allah yang kekal. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, pengharapan ini memberikan kepastian, kekuatan, dan arah hidup bagi gereja dan jemaat. Oleh karena itu, teologi pengharapan perlu terus dihidupi, diajarkan, dan diwujudkan dalam penerapan pastoral dan misi gereja di tengah dunia.

Catatan Kaki

  • Badan Pusat Statistik (BPS), indikator rumah tangga terkait kesulitan membayar pinjaman konsumtif (2023).↩︎
  • Jürgen Moltmann, Theology of Hope, ed. revisi (Fortress Press, 2019); lihat juga The Spirit of Hope (Westminster John Knox, 2019).↩︎
  • LAI, “Lembaga Alkitab Indonesia.↩︎
  • N. T. Wright, Surprised by Hope (HarperOne, 2018), 110–115.↩︎
  • Timothy Keller, Hope in Times of Fear (Viking, 2021), 87–92.↩︎
  • Miroslav Volf, Life Worth Living (Penguin Press, 2023), 112–121.↩︎
  • Jürgen Moltmann, The Spirit of Hope (Westminster John Knox, 2019), 44–53.↩︎
  • Ibid, 187–190.↩︎
  • Miroslav Volf, Life Worth Living: A Guide to What Matters Most (New York: Penguin Press, 2023), 112.↩︎
  • James K. A. Smith, On the Road with Saint Augustine: A Real-World Spirituality for Restless Hearts (Grand Rapids: Brazos Press, 2019), 187–190.↩︎
  • Douglas J. Moo, The Letter to the Romans, 2nd ed. (Grand Rapids: Eerdmans, 2018), 345–347.↩︎
  • Gareth Lee Cockerill, The Epistle to the Hebrews (Grand Rapids: Eerdmans, 2019), 489–492.↩︎
  • Timothy Keller, Hope in Times of Fear: The Resurrection and the Meaning of Easter (New York: Viking, 2021), 87–90.↩︎
  • John Swinton, Finding Jesus in the Storm: The Spiritual Lives of Christians with Mental Health Challenges (Grand Rapids: Eerdmans, 2020), 221.↩︎
  • Walter Brueggemann, From Whom No Secrets Are Hid: Introducing the Psalms (Louisville: Westminster John Knox, 2019), 87–89.↩︎
  • Douglas J. Moo, The Letter to the Romans, 2nd ed. (Grand Rapids: Eerdmans, 2018), 345–347.↩︎
  • Gareth Lee Cockerill, The Epistle to the Hebrews (Grand Rapids: Eerdmans, 2019), 489–492.↩︎
  • N. T. Wright, Surprised by Hope: Rethinking Heaven, the Resurrection, and the Mission of the Church (New York: HarperOne, 2018), 112–115.↩︎
  • Winri Allo Lembang et al., “DAMPAK PEMAHAMAN TEOLOGI ANUGERAH TERHADAP PERTUMBUHAN IMAN JEMAAT,” HUMANITIS: Jurnal Homaniora, Sosial dan Bisnis 3, no. 3 (2025): 410–23.↩︎
  • Richard B. Hays, First Corinthians (Louisville: John Knox Press, 2019), 223.↩︎
  • Jürgen Moltmann, The Spirit of Hope: Theology for a World in Peril (Louisville: Westminster John Knox, 2019), 52–53.↩︎
  • James K. A. Smith, On the Road with Saint Augustine: A Real-World Spirituality for Restless Hearts (Grand Rapids: Brazos Press, 2019), 187–190.↩︎
  • Miroslav Volf, Life Worth Living: A Guide to What Matters Most (New York: Penguin Press, 2023), 115.↩︎
  • N. T. Wright, Surprised by Hope: Rethinking Heaven, the Resurrection, and the Mission of the Church (New York: HarperOne, 2018), 198.↩︎
  • Timothy Keller, Hope in Times of Fear: The Resurrection and the Meaning of Easter (New York: Viking, 2021), 92.↩︎
  • Desi Rendealla, “Pastoral Budaya Mangadai’dalam Mewujudkan Resolusi Konflik bagi Masyarakat kalumpang” (Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Toraja, 2024).↩︎
  • John Swinton, Finding Jesus in the Storm: The Spiritual Lives of Christians with Mental Health Challenges (Grand Rapids: Eerdmans, 2020), 224.↩︎
  • James K. A. Smith, On the Road with Saint Augustine: A Real-World Spirituality for Restless Hearts (Grand Rapids: Brazos Press, 2019), 187–190.↩︎
  • N. T. Wright, Surprised by Hope: Rethinking Heaven, the Resurrection, and the Mission of the Church (New York: HarperOne, 2018), 198–199.↩︎
  • Ibid, 110–113.↩︎
  • Jürgen Moltmann, The Spirit of Hope: Theology for a World in Peril (Louisville: Westminster John Knox, 2019), 47–49↩︎
  • Miroslav Volf, Life Worth Living: A Guide to What Matters Most (New York: Penguin Press, 2023), 120–121↩︎
  • Richard B. Hays, Reading with the Grain of Scripture (Grand Rapids: Eerdmans, 2020), 175–176.↩︎
  • Andrew Root, The Pastor in a Secular Age: Ministry to People Who No Longer Need a God (Grand Rapids: Baker Academic, 2019), 203–204.↩︎
  • Miroslav Volf & Matthew Croasmun, For the Life of the World: Theology That Makes a Difference (Grand Rapids: Brazos, 2019), 140–142.↩︎
  • Post a Comment

    0 Comments