property='og:image'/>

Kekudusan yang Terkoyak Part II

Membangun Disiplin Rohani dan Etika Pelayanan yang Kudus di Tengah Jemaat

“Latihlah dirimu beribadah... karena ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang.”

(1 Timotius 4:7b–8)

Jika dalam bagian sebelumnya kita memikirkan bahaya budaya diam dan dosa yang tersisa hidup dalam jemaat, maka bagian ini mengajak kita menengok ke dalam diri, apa yang sebenarnya sedang rapuh dari dalam?

Gereja bukan hanya tempat ibadah. Gereja adalah komunitas rohani yang dipanggil untuk saling menguduskan. Ketika kehidupan jemaat mulai dikaburkan oleh kompromi, ketika pelayan dipilih tanpa mempertimbangkan karakter, dan ketika disiplin rohani mengabaikan demi kenyamanan relasional, maka gereja sedang kehilangan arahnya..

Mengapa Disiplin Rohani Diperlukan?

Disiplin rohani bukan soal mengontrol kehidupan orang lain. Ia adalah tanda kasih Allah yang menuntun kita kembali ke jalur kebenaran. Seperti seorang ayah yang menegur anaknya karena cinta, demikian pula Allah memanggil umat-Nya untuk hidup tertib dan kudus.

Sayangnya, di tengah banyak jemaat, pelatihan rohani seringkali berhenti di panggung mimbar . Tidak menjangkau kehidupan sehari-hari . Pemuridan seringkali hanya sebatas teori , tanpa penggembalaan yang mendalam. Akibatnya, saat jemaat terjerumus ke dalam dosa, mereka tidak tahu harus berbicara kepada siapa, atau harus ke mana. Dan celakanya, pelayan gereja pun bisa tersesat dalam kekosongan yang sama.

Etika Pelayanan: Antara Jabatan dan Kekudusan

Pelayanan bukan soal panggung atau status. Ini adalah panggilan untuk hidup benar di hadapan Allah dan sesama.

“Barangsiapa ingin menjadi pemimpin di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba.”
(Markus 10:44)

Sayangnya, kenyataan di banyak jemaat justru sebaliknya: pemilihan pelayan didasarkan pada keluarga besar, pengaruh sosial, atau rotasi jabatan, bukan pada wewenang rohani. Tidak ada proses seleksi karakter. Tidak ada pelatihan etika atau pelatihan rohani sebelum menjabat. Maka tidak heran jika banyak pelayan justru menjadi batu sandungan bagi domba yang mereka gembalakan.

Pelayanan etika bukan hanya soal apa yang dilakukan di depan umum, namun siapa kita saat tidak ada yang melihatnya.

Gereja sebagai Tempat Pemuridan, Bukan Sekadar Tempat Ibadah

Jika gereja ingin kembali pada panggilannya yang sejati, maka:

  • Pemuridan harus menjadi inti pelayanan.
  • Disiplin rohani bukan lagi hal tabu, melainkan bagian dari kasih.
  • Pemilihan pelayan harus didasarkan pada karakter, bukan koneksi.
  • Retret rohani, pelatihan etika, dan pelatihan keluarga harus menjadi prioritas.
Memang benar, kekudusan tidak tercapai dengan program, namun dengan komitmen bersama untuk saling menegur, memimpin, dan bertumbuh dalam Kristus.

Penutup Bagian Kedua – Harapan Selalu Ada

Kita tidak sedang berbicara tentang gereja yang sempurna. Kita berbicara tentang yang ingin melakukan pertukaran bersama-sama. Gereja yang menyadari lukanya, dan mau merawatnya. Gereja yang berani berkata: “Kami sudah terlalu lama diam. Sekarang, kami mau hidup dalam terang.”

“Karena itu nasehatkanlah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan.”
(1 Tesalonika 5:11)

Post a Comment

0 Comments