property='og:image'/>

Sore di Trotoar Plaza Indonesia

Sore di Trotoar Plaza Indonesia: Ketika Tuhan Menyapa Lewat Kesederhanaan

Kenangan Awal Tahun 2022

Jakarta, seperti biasa, sibuk dan tergesa. Tapi sore itu, awal tahun 2022, semuanya terasa lebih lambat, lebih tenang, seolah waktu sendiri sedang ingin istirahat sejenak.

Kami berdua duduk di trotoar depan Plaza Indonesia. Bukan sebagai pelancong mewah, bukan pula sebagai pebisnis ibu kota. Hanya dua orang yang sedang mengambil jeda, dari segala rutinitas, dari segala kebisingan batin. Kami tidak membahas proyek, ambisi, atau capaian. Kami hanya duduk dan menikmati menjadi manusia, sepenuhnya. Tanpa target. Tanpa tekanan. Hanya hadir. Dan ternyata itu cukup.

Lalu, perhatian kami tertuju pada satu titik.

Seorang pria buta berdiri dengan gitarnya, menyanyikan sebuah lagu yang… entah mengapa, menghentikan seluruh dunia di sekitar kami. Lagu itu bukan lagu populer yang biasa menghiasi trotoar kota besar. Itu lagu rohani, sederhana, lirih, tapi menghujam. Kata-katanya seperti doa yang dilantunkan oleh jiwa yang mengenal luka, namun tetap berharap.

Beberapa orang melambatkan langkah, ada yang berdiri sejenak. Bukan karena suara yang merdu, tapi karena pesan yang dibawanya. Kami pun terdiam. Di tengah hingar-bingar ibu kota, suara itu menjadi nyanyian jiwa yang menyentuh relung terdalam kami.

Saya menatap teman di samping saya. Tidak ada kata-kata, hanya anggukan pelan. Seolah kami berdua tahu: Tuhan sedang berbicara. Bukan lewat mimbar megah atau panggung rohani, tetapi lewat seorang yang tak melihat, namun menyanyikan pengharapan dengan iman yang terang.

Malam perlahan datang. Langit menggelap, lampu-lampu kota menyala. Namun hati kami justru tercerahkan. Kami berdiri dan berjalan kembali ke hotel pada pukul 7.30 malam, tidak hanya membawa langkah kaki, tapi juga membawa pulang sapaan lembut dari Tuhan yang hadir lewat hal-hal kecil.

Momen itu mengajarkan kami: kadang, Tuhan tidak hadir dalam guntur dan kilat. Ia hadir dalam suara lembut, dalam lagu yang dinyanyikan oleh mereka yang dilupakan dunia, namun dikenang surga.

Dalam dunia yang terus berlari, kami bersyukur telah berhenti sejenak, untuk mendengarkan.

Rano Yonathan

Aktivis Gereja & Penulis Pinggiran 

Post a Comment

0 Comments