
Suara dari Pinggiran: Mencatat Kehidupan dari Lakahang, Tabulahan
Di balik hamparan terpal biru dan aroma biji kakao yang dijemur di bawah terik matahari, terbentang kisah hidup yang jarang terdengar oleh dunia luar. Inilah Lakahang, sebuah kelurahan kecil di Kecamatan Tabulahan, Kabupaten Mamasa, titik sunyi di peta yang menyimpan makna besar dan ketekunan yang tak pernah usai.
Di tanah ini, bumi tak pernah benar-benar berhenti memberi. Sepanjang tahun, warga menjemur hasil panen kakao, karena musim raya buah cokelat ini datang dua kali dalam setahun, April hingga Juli, lalu berlanjut dari Oktober hingga Maret. Sementara itu, sawah ditanam dua kali dalam setahun, dengan masa tanam terbaik dimulai pada akhir September atau awal Oktober, dan panen jatuh pada bulan Desember. Siklus alam ini membentuk ritme kehidupan masyarakat, mengatur hari-hari mereka dari ladang hingga lumbung.
Namun kisah Lakahang bukan semata-mata tentang hasil bumi. Ia adalah catatan diam dari kerja keras, kearifan lokal, budaya yang terus berjuang untuk bertahan, dan iman yang bertumbuh di tanah tinggi. Dari tempat inilah, suara dari pinggiran berseru, bukan untuk mengeluh, tetapi untuk mencerminkan tentang kehidupan yang jujur dan utuh.
“Tuhan akan membuka bagimu perbendaharaan-Nya yang berlimpah, yakni langit, untuk memberi hujan bagi tanahmu pada waktunya dan menjamin seluruh pekerjaan tanganmu.” ( Ulangan 28:12a)
Ayat ini seolah menjadi gema harapan bagi petani Lakahang: bahwa kerja keras mereka tidak sia-sia, dan Tuhan tetap hadir di tiap musim, baik hujan maupun kemarau. Setiap biji kakao yang dijemur, setiap bulir padi yang menguning, menjadi wujud janji-Nya yang nyata.
Wajah Sosial di Pedalaman Mamasa
Masyarakat di Kelurahan Lakahang, Kecamatan Tabulahan, hidup dalam jalinan sosial yang erat. Di tengah arus zaman yang terus berubah, semangat gotong royong tetap hidup, mengalir dalam kesekharian mereka. Di antara rumah-rumah yang kini mulai berdinding tembok dari batu merah, rumput liar kering berjejer tanpa pola yang rapi di atas tanah yang mulai retak karena kemarau, tersaji pemandangan khas: biji kakao dan nilam dijemur di atas terpal biru, berbaur dengan aroma bumi dan harapan.
Pemandangan ini bukanlah sekedar rutinitas agraris. Ia adalah cerminan dari kerja keras kolektif, nilai yang diwariskan turun-temurun, bahwa hidup di pedalaman bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang saling menopang.
Namun dibalik kehangatan sosial itu, tersimpan dinamika yang rumit. Banyak anak muda memilih merantau ke kota demi pendidikan dan peluang yang lebih luas. Yang tertinggal harus membagi waktu antara sekolah, ladang, serta beban tanggung jawab yang terkadang terlalu besar untuk usia mereka. Mimpi mereka kadang harus ditunda, disimpan rapi dalam lemari doa, berharap suatu saat ada musim yang cukup baik untuk menyambutnya.
setara tertulis dalam firman Tuhan:
“Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah tiba waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.” Galatia 6:9 (TB)
Budaya Lokal yang Bergerak Bersama Zaman
Kini, setiap kali panen padi berhasil dengan baik, masyarakat masih merayakannya dalam bentuk pesta panen atau syukuran. Tradisi ini umumnya dilaksanakan di gereja, biasanya setelah ibadah Minggu, atau pada hari tertentu yang ditetapkan oleh majelis jemaat. Di sanalah kegembiraan hasil bumi dipersembahkan kepada Tuhan, disertai doa syukur dan kebersamaan sebagai tubuh Kristus. Meski bentuknya telah berubah, semangat bersyukur tetap hidup dalam nuansa iman.
"Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya." ( Mazmur 107:1)
Namun di sisi lain, budaya-budaya lokal lainnya tampak mulai memudar. Upacara adat, syair-syair berbahasa Mamasa, hingga simbol-simbol leluhur kini hanya dikenang oleh generasi tua. Anak-anak muda banyak yang tidak lagi akrab dengan makna dan nilai-nilai dalam ritus adat yang dahulu mengiringi seluruh siklus hidup, dari kelahiran hingga kematian.
Patut juga mencatat bahwa Kabupaten Mamasa dihuni oleh berbagai etnis yang masing-masing memiliki kekayaan budaya tersendiri. Suku Mamasa, Suku Bambang, serta komunitas Mappurondo (atau dikenal juga sebagai Aluk Todolo), menyimpan adat istiadat yang beragam, baik dalam sistem sosial, musik tradisional, maupun tata upacara. Perbedaan ini tidak menjadi penghalang, justru melahirkan kolaborasi budaya yang indah, terutama dalam acara-acara penting seperti pelamar, pernikahan, atau upacara duka.
“Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, meskipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus.” ( 1 Korintus 12:12)
Di tengah modernisasi, semangat “satu dalam keberagaman” tetap menjadi kekuatan sosial yang bersatu. Iman menjadi jembatan yang merangkul semua perbedaan, dan budaya lokal tetap punya tempat untuk dihargai, bukan sebagai peninggalan, tetapi sebagai kekayaan yang hidup bersama iman.
Dari Tanah yang Sunyi, Suara yang Menggema

Gambar yang Anda lihat adalah potret nyata dari ekonomi pedesaan: hasil panen dijemur di tepi jalan. Ini bukan hanya cara menghemat biaya, tapi juga strategi bertahan. Tak ada gudang, tak ada alat pengering modern, hanya sinar matahari dan harapan agar hujan tak datang terlalu cepat. Potensi usaha rakyat besar: kakao, nilam, kopi, dan keterampilan lokal seperti menjahit dan membangun rumah. Namun minimnya pelatihan, akses pasar, dan modal usaha membuat perekonomian desa berjalan lambat, namun tetap berjalan, ditopang oleh ketekunan rakyat kecil. Di Lakahang, tak semua anak bisa sekolah dengan mudah. Jarak, biaya, dan beban rumah tangga menjadi kendala. Beberapa harus berjalan kaki untuk mencapai sekolah terdekat. Namun semangat belajar belum padam. Di sela menjemur hasil panen, mereka membaca buku, mempelajari tutorial dari ponsel, atau sekadar menulis cita-cita di lembar-lembar usang. Generasi ini bukan hanya penerus tanah kelahiran mereka, tapi juga pemilik masa depan yang lebih layak. Mereka butuh dukungan, bukan belas kasihan. Mereka butuh akses, bukan hanya menyatakan motivasi.

Di sini, kehidupan sehari-hari bukanlah rutinitas Minggu pagi. Setiap langkah di ladang, setiap tetes peluh saat menjemur hasil panen, menjadi bagian dari doa yang hidup. Gereja menjadi tempat berlindung, tempat belajar, dan kadang satu-satunya tempat di mana harapan dinyatakan dengan suara lantang. Di tengah segala keterbatasan, iman mereka justru kuat, karena hanya dengan percaya dan mengandalkan Tuhan, mereka bisa bertahan. Nilai-nilai spiritual bukan pelengkap, melainkan fondasi kehidupan sehari-hari. Blog ini tidak ditulis untuk mengundang rasa iba. Tapi untuk membuka mata. Bahwa di sudut-sudut pedalaman seperti Lakahang, Kec. Tabulahan, ada cerita yang jujur, ada kehidupan yang nyata, dan ada suara yang pantas didengar. Bagi para peneliti, mahasiswa, aktivis sosial: inilah lahan subur untuk kajian dan aksi nyata. Bagi masyarakat kota dan diaspora Mamasa: inilah panggilan untuk tidak melupakan akar. Bagi gereja, pemerintah, dan semua yang peduli: inilah bidang pelayanan dan kebijakan yang belum banyak disentuh. Mari jangan biarkan narasi dari pinggiran ini tenggelam dalam diam. Karena dari tanah yang sederhana, suara kebenaran bisa menggema paling lantang.
sebagaimana tertulis,
“Ia menegakkan orang yang tertindas, tetapi memberikan orang fasik sampai ke bumi” (Mazmur 147:6).
0 Comments