property='og:image'/>

Dari Star Trek ke Tabulahan

Pendahuluan: Dari Star Trek ke Tabulahan

Kisah klasik Star Trek menyuguhkan dua karakter yang sangat kontras: Spock, si logis dingin, dan McCoy, si emosional penuh empati. Keduanya merepresentasikan ketegangan yang kerap juga kita alami dalam hidup: antara akal dan hati, antara logika dan emosi. Apakah kita harus menjadi rasional seperti Spock, atau manusiawi seperti McCoy? Di mana letak keseimbangannya?

Pertanyaan ini bukan hanya milik dunia fiksi. Di pedalaman Mamasa, khususnya di Kelurahan Lakahang, Kec. Tabulahan, kehidupan masyarakat pun bergulat dengan persoalan serupa, walau dalam wujud yang berbeda. Di tengah keterbatasan akses pendidikan tinggi, ilmu pengetahuan, dan teknologi, masyarakat tetap menyimpan nilai-nilai rohani yang dalam, dan logika kehidupan mereka bertumbuh bersama spiritualitas yang kental.

Warisan Barat dan Logika yang Terpisah dari Tuhan

Dalam sejarah pemikiran Barat, logika sering dipandang sebagai alat netral, bahkan otonom, terlepas dari iman. Tokoh seperti Immanuel Kant misalnya, menolak kemungkinan membuktikan keberadaan Tuhan secara rasional. Ia memisahkan iman dari akal, dan meletakkan logika dalam ranah yang hanya berlaku pada dunia fisik, bukan pada perkara rohani.

Sayangnya, warisan Kantian ini telah merasuk dalam budaya modern, termasuk pendidikan dan ilmu pengetahuan. Banyak orang kini berpikir bahwa agama hanyalah masalah pribadi yang tak bisa diuji secara rasional, sementara sains adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang sah.

Namun Alkitab mengajarkan hal yang berbeda.

“Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan...” (Roma 1:20)

Logika Kristen: Ketika Akal dan Iman Bersatu

Seorang filsuf Kristen modern menekankan bahwa logika sejati bukanlah impersonal atau netral, melainkan bagian dari cara Allah menciptakan dunia. Logika dan kasih tidak perlu bertentangan, karena keduanya berasal dari Tuhan sendiri. Di dalam Kristus, kita tidak harus memilih antara menjadi logis atau penuh kasih, kita diajak untuk memiliki keduanya dalam keseimbangan.

Ketegangan antara logika dan emosi, antara pengetahuan dan kasih, hanyalah buah dari dosa dan keinginan manusia untuk hidup otonom, terpisah dari Sang Pencipta. Solusinya bukan menolak logika, tetapi menebusnya melalui Kristus.

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu...” (Roma 12:2)

Refleksi dari Lakahang: Logika dalam Kehidupan Pedalaman

Di Lakahang, orang-orang mungkin tidak mempelajari Immanuel Kant atau Aristoteles. Namun dalam kehidupan mereka yang sederhana, ada logika spiritual yang berjalan berdampingan dengan iman. Contohnya:

  • Para petani yang menabur benih dengan iman, sambil tetap memperhatikan musim dan cuaca.

  • Para orang tua yang menasehati anak-anak mereka untuk takut akan Tuhan, sambil mengajarkan mereka berhitung dan membaca.

  • Jemaat yang mungkin tidak memahami filsafat logika, tapi tahu bahwa hidup dalam hormat kepada Allah adalah dasar dari kebijaksanaan sejati.

Logika yang hidup di Lakahang bukanlah logika dingin Spock, melainkan logika yang dibasahi kasih, iman, dan pengharapan. Ini bukan bentuk kebodohan, melainkan hikmat rohani yang sering dilupakan oleh dunia modern yang terlalu rasional.

Kesimpulan: Mari Menebus Akal dan Hati

Kita tidak perlu membuang akal budi untuk menjadi orang beriman. Sebaliknya, kita diajak untuk menyerahkan logika kita kepada Kristus agar ditebus dan diarahkan kepada kebenaran. Di tengah dunia yang serba logis namun kehilangan makna, gereja dan komunitas Kristen, termasuk di pedalaman seperti Lakahang, dapat menjadi saksi bahwa iman dan akal bisa berjalan bersama, jika kita bersandar pada Tuhan yang adalah sumber keduanya.

“Engkau harus mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Matius 22:37) 

Post a Comment

0 Comments