Pemberkatan Nikah dan Kasih Karunia: Refleksi atas Hamil di Luar Nikah dan Janda yang Menikah Kembali

Di tengah kehidupan bergereja,
tidak jarang kita mendengar pertanyaan seperti ini:
“Mengapa seseorang yang pernah hamil di luar nikah tidak boleh diberkati,
sementara seorang janda bisa menikah kembali dan diberkati?”
Pertanyaan ini membuka perdebatan yang sering kali
menyingkapkan adanya standar ganda dalam cara kita memperlakukan masa lalu
seseorang. Namun, sebagai umat Tuhan, kita dipanggil untuk menjawabnya berdasarkan
kebenaran firman Allah, bukan hanya tradisi atau pandangan sosial.
Antara Dosa dan Pemulihan
Hal pertama yang perlu ditegaskan adalah: tidak ada satu pun
ayat dalam Alkitab yang secara eksplisit melarang pemberkatan nikah bagi
seseorang yang pernah hamil di luar nikah. Alkitab justru lebih banyak
berbicara tentang pertobatan, pemulihan, dan kasih karunia Allah.
Dalam Yohanes 8:1–11, kita melihat bagaimana Yesus
memperlakukan seorang perempuan yang kedapatan berzinah. Alih-alih
menghukumnya, Yesus berkata,
“Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi!”
(Yoh. 8:11)
Yesus tidak membenarkan dosa, tetapi juga tidak mengutuk
masa lalu seseorang. Ia justru mengarahkan kepada pertobatan dan masa depan
yang kudus.
Begitu pula dalam perumpamaan anak
yang hilang (Lukas 15:11–32), kita melihat bahwa Allah Bapa bersukacita
menyambut mereka yang bertobat, tak peduli seberapa buruk masa lalunya. Anak
yang menghamburkan harta dan hidup dalam dosa tetap disambut dengan pelukan dan
pesta sukacita.
Janda Menikah Kembali: Sah dan
Diperbolehkan
Di sisi lain, Alkitab memberikan izin bagi seorang janda
untuk menikah kembali, selama dalam Tuhan. Rasul Paulus menulis:
“Isteri terikat selama suaminya hidup. Jika suaminya telah meninggal, bebaslah ia untuk menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah orang yang percaya.”
(1 Korintus 7:39)
Jadi, ketika seorang janda menikah
lagi dan diberkati di gereja, itu adalah sesuatu yang sah menurut firman Tuhan,
karena tidak ada unsur dosa di dalamnya. Ia melanjutkan hidup dalam kesucian.
Namun di sinilah muncul tantangan pastoral: Mengapa yang
satu diterima, sementara yang lain ditolak?
Jangan Hakimi Lebih dari Tuhan
Jika seseorang pernah jatuh dalam dosa, misalnya hamil di
luar nikah, tetapi kemudian bertobat dengan sungguh-sungguh, meninggalkan cara
hidup lama, dan ingin membangun rumah tangga yang kudus, apakah gereja berhak
menolak pemberkatan itu?
Jawabannya seharusnya: Tidak.
“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”
(1 Yohanes 1:9)“Ia tidak melakukan kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak membalas kita setimpal dengan kesalahan kita. Sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita.”
(Mazmur 103:10,12)
Gereja seharusnya tidak menghakimi
masa lalu lebih keras daripada apa yang sudah diampuni oleh Tuhan sendiri. Yang
lebih penting bukan status sosial, melainkan kondisi rohani dan kesediaan untuk
hidup benar di hadapan Tuhan.
Kesimpulan: Gereja Sebagai Rumah
Pemulihan

Gereja dipanggil bukan sebagai tempat seleksi masa lalu,
melainkan sebagai rumah pemulihan bagi orang-orang berdosa yang bertobat.
Sebagaimana Kristus sendiri datang bukan untuk orang benar, tetapi untuk
memanggil orang berdosa bertobat (Lukas 5:32).
Jika seorang janda bisa diberkati karena hidupnya telah
sesuai dengan kehendak Tuhan, maka seseorang yang pernah hamil di luar nikah
pun tidak boleh dikecualikan dari kasih karunia itu, selama ia telah bertobat
dan ingin hidup dalam kekudusan.
"Pemberkatan bukanlah upacara untuk merayakan masa lalu, tetapi komitmen untuk hidup dalam masa depan yang kudus di dalam Kristus."
0 Comments