Romantisisme, Tradisi, dan Rohani di Pedalaman: Refleksi untuk Mamasa
Pada awal abad ke-19, Eropa mengalami perubahan besar dalam cara memandang kehidupan, budaya, dan agama. Perubahan ini lahir dari sebuah gerakan yang dikenal sebagai Romantisisme. Gerakan ini bukan sekadar aliran seni atau sastra, melainkan sebuah cara pandang yang menempatkan emosi, tradisi, dan kehidupan komunitas di atas kalkulasi rasional semata.
Romantisisme menghargai warisan budaya, ritual keagamaan, dan kehidupan pedesaan yang sederhana—nilai-nilai yang akrab bagi masyarakat pedalaman seperti di Kabupaten Mamasa, khususnya Kecamatan Tabulahan dan Kelurahan Lakahang.
Di tengah derasnya arus modernisasi, globalisasi, dan teknologi yang mengubah pola hidup, nilai-nilai budaya dan rohani di Mamasa kini mulai diuji. Adat istiadat yang dulu menjadi denyut kehidupan masyarakat mulai jarang dihidupkan, sementara generasi muda lebih akrab dengan layar gawai daripada musik bambu atau tarian tradisional.
Dalam situasi ini, semangat Romantisisme mengajarkan kita untuk menghargai yang lama tanpa menolak pembaruan, memelihara akar sambil meraih masa depan. Firman Tuhan pun menegaskan:
"Berdirilah di jalan-jalan dan lihatlah, tanyakanlah jalan-jalan yang dahulu kala, di manakah jalan yang baik, tempuhilah itu, maka kamu akan mendapat ketenangan jiwamu" (Yeremia 6:16).
1. Romantisisme: Menghargai Tradisi dan Emosi
Romantisisme lahir sebagai reaksi terhadap Pencerahan (Enlightenment) yang menekankan logika dan kemajuan teknis. Bagi kaum Romantis, manusia bukan hanya makhluk berpikir, tetapi juga makhluk berperasaan, berimajinasi, dan berakar pada komunitas.
Bagi masyarakat Mamasa, khususnya Tabulahan dan Lakahang, pandangan ini selaras dengan kenyataan bahwa kehidupan sehari-hari di desa selalu terikat pada nilai-nilai rohani dan adat yang diwariskan turun-temurun.
"Janganlah kamu melupakan perkara-perkara yang telah dilihat oleh matamu... tetapi beritahukanlah itu kepada anak-anakmu dan kepada cucu-cucumu" (Ulangan 4:9).
2. Pelajaran Romantisisme untuk Sosial Masyarakat Mamasa
Kaum Romantis menolak hubungan sosial yang hanya bersifat transaksional. Mereka memuliakan kebersamaan dan gotong royong—nilai yang sudah lama menjadi jantung kehidupan desa di Mamasa.
Di Tabulahan dan Lakahang, kerja bakti membangun rumah, membantu tetangga berduka, atau merayakan pesta panen adalah wujud modal sosial yang harus dipelihara.
"Janganlah kamu masing-masing hanya memperhatikan kepentingan sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga" (Filipi 2:4).
3. Budaya Lokal dan Adat yang Mulai Tergerus
Banyak tradisi di Mamasa yang mulai jarang dilakukan: nyanyian adat, musik bambu, tarian, bahkan cerita rakyat dari para tetua. Generasi muda mulai kehilangan pemahaman akan makna simbol-simbol adat.
Kaum Romantis di Eropa pernah menghidupkan kembali ritual kuno gereja dan musik tradisional sebagai cara menjaga identitas. Di Mamasa, pelestarian adat bisa berjalan seiring dengan pendidikan modern, selama ada komitmen untuk mengajarkannya kepada generasi penerus.
"Peganglah teguh apa yang ada padamu, supaya tidak seorang pun mengambil mahkotamu" (Wahyu 3:11).
4. Potensi Ekonomi Desa dalam Semangat Romantisisme
Romantisisme menghargai alam dan kehidupan desa sebagai sumber kemurnian hidup. Tabulahan dan Lakahang memiliki potensi alam luar biasa: kopi, kakao, cengkeh, sayuran organik, hingga kerajinan bambu dan rotan.
Mengelola potensi ini tidak sekadar mencari keuntungan, tetapi juga menjaga warisan dan kelestarian alam. Kopi Lakahang, misalnya, bisa dipromosikan sebagai kisah tentang tanah, petani, dan tradisi yang menjaganya.
"TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu" (Kejadian 2:15).
5. Pendidikan dan Perjuangan Generasi Muda
Bagi kaum Romantis, pendidikan membentuk karakter dan rasa memiliki terhadap komunitas, bukan hanya mengisi kepala dengan pengetahuan.
Generasi muda Mamasa perlu dikenalkan pada budaya lokal, bahasa daerah, dan kisah leluhur, sekaligus dipersiapkan menghadapi dunia global.
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu" (Amsal 22:6).
6. Dimensi Rohani dan Refleksi Iman
Romantisisme mengakui peran agama dalam membentuk jiwa manusia. Di Mamasa, iman Kristen dan adat sering berjalan beriringan. Namun, ibadah dapat menjadi rutinitas jika tidak dihidupi dengan kesadaran rohani.
Menghidupkan kembali ibadah dengan sentuhan budaya lokal dapat membuat iman lebih membumi dan relevan, selama tetap setia pada kebenaran Firman.
"Allah adalah Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran" (Yohanes 4:24).
Kesimpulan
Romantisisme mengajarkan untuk menghargai masa lalu, memelihara akar budaya, dan memanfaatkannya untuk masa depan. Di Mamasa, terutama Tabulahan dan Lakahang, pelajaran ini berarti:
-
Memperkuat kebersamaan masyarakat (Ibrani 10:24-25).
-
Melestarikan adat dan seni lokal (Yeremia 6:16).
-
Mengembangkan potensi ekonomi rakyat secara berkelanjutan (Kejadian 2:15).
-
Mendidik generasi muda dengan akar budaya dan iman (Amsal 22:6).
-
Menghidupkan kembali ritual rohani agar menjadi sumber kekuatan batin (Yohanes 4:24).
Dengan demikian, kita bukan hanya menjaga identitas, tetapi juga mempersiapkan generasi yang mampu menghadapi masa depan dengan percaya diri, sambil tetap berpijak pada tanah kelahiran mereka.
0 Comments