property='og:image'/>

Kitab 1 Samuel: Dari Krisis Kepemimpinan Hingga Naiknya Daud, Raja Pilihan Allah

I.   Latar Belakang Historis Kitab Samuel

    A.     Penulis, Waktu, dan Tempat Penulisan
      Kitab Samuel secara tradisional dikaitkan dengan nabi Samuel, bersama Natan dan Gad sebagai rekan penyusun setelah kematiannya, sebagaimana disebut dalam 1 Tawarikh 29:29(1). Tradisi Yahudi menegaskan bahwa bagian awal kitab ini ditulis oleh Samuel, sedangkan bagian-bagian sesudahnya, terutama yang mencakup masa pemerintahan Daud, disusun oleh para nabi penerusnya. Meskipun demikian, kajian modern memandang Kitab Samuel sebagai hasil kompilasi dan redaksi teologis dari sumber-sumber sejarah dan tradisi lisan Israel yang disusun oleh penulis atau redaktor dari kalangan nabi pada masa kerajaan atau pascapembuangan(2). Waktu penulisan Kitab Samuel kemungkinan besar terbentang antara abad ke-10 hingga abad ke-6 s.M., dengan bagian-bagian inti berasal dari masa pemerintahan Daud, kemudian disunting ulang pada masa pembuangan di Babel untuk memberikan refleksi teologis atas sejarah monarki Israel(3). Tempat penyusunannya diduga berada di wilayah Israel bagian selatan (Yehuda), pusat pemerintahan Daud, sementara penyuntingan akhirnya kemungkinan dilakukan di lingkungan pembuangan Babel. Secara teologis, penulis tidak bermaksud hanya mencatat kronologi peristiwa, melainkan menafsirkan sejarah dalam terang kedaulatan Allah yang menuntun Israel dari masa hakim-hakim menuju berdirinya kerajaan di bawah Daud sebagai bagian dari rencana keselamatan-Nya(4).

    B.     Kedudukan Kitab Samuel dalam Kanon dan Hubungannya dengan Kitab Lain
      Dalam kanon Ibrani, Kitab Samuel merupakan satu kitab yang disebut Sefer Shmuel (“Kitab Samuel”), dan baru dipisahkan menjadi 1 dan 2 Samuel oleh penerjemah Septuaginta (LXX) karena panjangnya teks Ibrani(5). Kitab ini menempati posisi penting sebagai jembatan antara masa hakim-hakim dan masa raja-raja, sehingga secara literer dan teologis merupakan bagian dari apa yang disebut para ahli sebagai Sejarah Deuteronomistis, bersama dengan kitab Ulangan, Yosua, Hakim-hakim, dan Raja-raja(6). Kitab Samuel melanjutkan kisah penilaian rohani dari Hakim-hakim (“pada masa itu tidak ada raja di Israel, setiap orang berbuat sesuai pandangannya sendiri”, Hak. 21:25) menuju permintaan Israel akan raja seperti bangsa-bangsa lain (1Sam. 8:5). Dengan demikian, Kitab Samuel menjadi transisi naratif dan teologis dari teokrasi menuju monarki, di mana Allah tetap Raja sejati atas umat-Nya meski mereka memiliki pemimpin manusia(7).

    C.     Tujuan dan Tema Utama Penulisan
      Kitab Samuel disusun untuk menegaskan bahwa kedaulatan Allah bekerja melalui sejarah bangsa Israel, bahkan di tengah kelemahan manusia. Tujuan utama kitab ini adalah:
        Menunjukkan bahwa Allah sendirilah yang memilih dan menolak raja sesuai dengan ketaatan mereka terhadap kehendak-Nya (1Sam. 15:22–23).

        Menggambarkan proses transisi spiritual dan politik dari kepemimpinan karismatik (nabi dan hakim) menuju kepemimpinan monarki (Saul dan Daud).

        Menyoroti ketaatan dan kesetiaan sebagai kriteria utama kepemimpinan sejati, bukan asal-usul atau kekuatan militer.

        Menyajikan model ideal raja yang berhati sesuai kehendak Allah (Daud), yang kelak menjadi bayangan mesianik bagi kedatangan Kristus sebagai Raja yang sempurna(8). Tema utama yang menonjol adalah bahwa Allah adalah Raja sejati atas Israel, dan bahwa keberhasilan manusia hanya mungkin melalui ketaatan kepada firman-Nya. Dalam hal ini, sejarah Saul dan Daud menjadi dua cermin kontras: yang satu gagal karena ketidaktaatan, yang lain diteguhkan karena kerendahan hati dan pertobatan.

    D.     Situasi Historis dan Sosial Israel Saat Itu
      Konteks sosial Israel pada masa Samuel ditandai oleh perpecahan antar suku, ancaman eksternal dari bangsa Filistin, dan kemerosotan rohani dalam kepemimpinan imam (1Sam. 2:12–17). Bangsa Israel belum memiliki pemerintahan pusat; mereka hidup sebagai konfederasi suku-suku yang longgar di bawah para hakim lokal. Kondisi ini menimbulkan ketidakstabilan politik dan keputusasaan militer, sehingga rakyat menuntut raja agar dapat “memerintah atas kami seperti segala bangsa lain” (1Sam. 8:5). Dari sisi rohani, kemerosotan rumah tangga imam Eli dan penyalahgunaan tabut perjanjian menandai krisis spiritual nasional, yang memunculkan panggilan nabi Samuel sebagai pemimpin rohani pembaharu. Dengan demikian, Kitab Samuel lahir dari konteks perubahan besar dalam identitas bangsa Israel—dari komunitas suku yang terpecah menuju bangsa dengan pemerintahan monarki di bawah Allah yang berdaulat(9).

    E.     Pembagian dan Struktur Kitab
      Secara modern, Kitab Samuel dibagi menjadi dua bagian: 1 Samuel dan 2 Samuel.
        1 Samuel berfokus pada kelahiran Samuel, penolakan terhadap imam Eli, munculnya Saul sebagai raja pertama, dan pengurapan Daud sebagai penerus. Tema utamanya adalah peralihan dari pemerintahan teokratik ke monarki, dan kontras antara ketaatan Samuel dan ketidaktaatan Saul.

        2 Samuel melanjutkan kisah Daud sebagai raja, peneguhan perjanjian Allah dengannya (2Sam. 7), dosa-dosa pribadi Daud, serta dampak moral dan sosial dari kepemimpinannya. Tema utamanya adalah kemuliaan dan kerentanan raja pilihan Allah, serta kesinambungan janji Allah melalui garis keturunan Daud.

        Kedua kitab ini membentuk satu kesatuan naratif dengan pola teologis yang jelas:
        Allah mengangkat, menilai, dan menegakkan pemimpin berdasarkan ketaatan, bukan kekuasaan.

II.   Struktur Naratif Kitab 1 Samuel

    A.     Latar Awal - Krisis Kepemimpinan dan Panggilan Samuel (1 Sam. 1-7)
      1.     1 Samuel 1:1-2:11 - Kelahiran dan Penyerahan Samuel
        Kisah kelahiran Samuel membuka kitab ini dengan suasana krisis yang mendalam dalam kehidupan rohani Israel. Secara historis, periode ini merupakan masa transisi dari zaman Hakim-hakim menuju munculnya sistem kerajaan. Pada masa itu, bangsa Israel hidup dalam kemerosotan moral dan kekacauan spiritual, sebagaimana disiratkan dalam pernyataan terakhir kitab Hakim-Hakim: “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hak. 21:25). Dalam konteks itulah, kisah Hana dan kelahiran Samuel bukan sekadar kisah keluarga, melainkan simbol intervensi Allah terhadap bangsa yang kehilangan arah rohani.(10) Doa Hana yang penuh iman (1 Sam. 1:10–11) mencerminkan kerinduan umat yang menantikan pemulihan rohani melalui karya Tuhan. Ketidaksuburan Hana bukan hanya penderitaan pribadi, tetapi juga gambaran kondisi Israel yang mandul secara spiritual. Ketika Tuhan “mengingat” Hana (ay. 19), tindakan itu melambangkan kasih karunia ilahi yang kembali bekerja dalam sejarah umat-Nya. Samuel, yang namanya berarti “Allah telah mendengar,” menjadi tanda nyata bahwa Allah tidak berdiam diri terhadap krisis kepemimpinan yang melanda umat-Nya.(11)
        Hana berdoa di pelataran Kemah Suci di Silo sementara imam Eli mengamatinya; cahaya ilahi menyinari Hana sebagai lambang jawaban Tuhan atas doanya.
        “Doa Hana di Silo”
        Kisah iman seorang perempuan yang menjadi titik awal kebangkitan rohani Israel melalui kelahiran Samuel (1 Sam. 1:9–20).

        Motif kesetiaan pribadi dalam kisah Hana dan Elkana menonjol di tengah kebobrokan umum imam Eli dan anak-anaknya. Hana menunjukkan bentuk iman yang murni, sebuah kesetiaan pribadi yang menjadi benih pembaruan spiritual bangsa. Ketika ia menyerahkan Samuel untuk melayani di rumah Tuhan (1 Sam. 1:28), tindakan itu menjadi bentuk pengorbanan iman yang mendahului kebangunan rohani nasional. Dalam konteks teologis, penyerahan Samuel mengandung makna bahwa kebangkitan sejati selalu dimulai dari keluarga dan individu yang setia kepada Allah, bukan dari sistem keagamaan yang mapan tetapi korup.(12) Hana menegaskan hal ini dalam nyanyiannya (1 Sam. 2:1–10), yang menjadi semacam teologi reversi, Allah yang meninggikan yang hina dan merendahkan yang sombong. Nyanyian ini menubuatkan kebesaran Allah yang kelak akan dinyatakan dalam kepemimpinan Daud. Secara literer, mazmur Hana menjadi bingkai teologis seluruh kitab Samuel: Allah berdaulat atas sejarah dan menegakkan kerajaan-Nya melalui orang yang rendah hati. Dengan demikian, kisah awal ini bukan sekadar pengantar naratif, tetapi fondasi teologis yang mengarahkan pembaca pada maksud Allah dalam mengangkat pemimpin sejati bagi Israel.(13)

      2.     1 Samuel 2:12–3:21 - Kejatuhan Keluarga Imam Eli dan Panggilan Nabi Muda Samuel
        Setelah latar awal kelahiran Samuel, narasi berlanjut pada kondisi rohani Israel yang semakin memburuk melalui kisah keluarga imam Eli. Anak-anak Eli, Hofni dan Pinehas, digambarkan sebagai imam yang korup dan menyeleweng, memanfaatkan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi, termasuk mengambil bagian terbaik dari korban umat secara paksa dan memperlakukan perempuan secara tidak pantas (1 Sam. 2:12–17). Kejatuhan moral ini menjadi cerminan krisis kepemimpinan spiritual di Israel; di tengah hukum dan ritual yang dijalankan, hati para pemimpin Allah sudah jauh dari kesetiaan dan keadilan yang dituntut Tuhan(14). Narasi ini menekankan kontras antara korupsi keluarga Eli dan kesalehan Samuel muda, yang tumbuh di bawah bimbingan iman ibunya dan lingkungan Kemah Suci. Samuel digambarkan sebagai sosok yang “dibesarkan di hadapan Tuhan” (1 Sam. 2:26), menandai munculnya figur nabi yang akan menjadi agen perubahan rohani dan moral bangsa Israel. Proses panggilan Samuel (1 Sam. 3:1–21) menunjukkan bahwa Allah bekerja secara rahasia dan penuh hikmat, memilih hati yang bersih untuk memulihkan umat-Nya meskipun institusi religius tampak gagal(15).
        Samuel muda di Kemah Suci di Silo mendengar suara Tuhan saat tidur, sementara imam Eli tua mengamatinya; cahaya ilahi menyoroti Samuel sebagai simbol panggilan Tuhan di tengah kerusakan moral.
        “Panggilan Samuel Muda di Silo”
        Allah memanggil nabi baru di tengah kejatuhan spiritual keluarga Eli, menandai awal kebangkitan rohani Israel (1 Sam. 2:12–3:21).

        Panggilan Samuel juga menggambarkan transisi kepemimpinan rohani: dari imam yang korup ke nabi yang setia. Meskipun masih muda, Samuel mampu mendengar suara Tuhan dan menyampaikan wahyu-Nya dengan keberanian (1 Sam. 3:19–21). Narasi ini menegaskan bahwa kualitas kepemimpinan bukan ditentukan oleh usia atau jabatan formal, melainkan oleh kesetiaan dan kemampuan mendengar kehendak Allah. Tema ini penting bagi pembaca modern, karena menekankan bahwa Allah selalu menyiapkan pemimpin sejati meski sistem yang ada gagal(16). Secara teologis, kisah kejatuhan keluarga Eli dan panggilan Samuel menunjukkan pola berulang dalam sejarah Israel: kebobrokan manusia diimbangi oleh intervensi ilahi melalui figur yang setia. Dengan demikian, Samuel menjadi model nabi yang menegakkan firman Tuhan di tengah kondisi sosial-politik yang rusak, sekaligus memperlihatkan bahwa keberhasilan reformasi rohani bergantung pada panggilan dan ketaatan individu, bukan semata-mata sistem atau institusi(17).

      3.     1 Samuel 4:1-7:17 - Kehancuran dan Pemulihan Tabut Allah
        Setelah panggilan Samuel, narasi berlanjut pada peristiwa yang menggambarkan konsekuensi rohani dan politik dari ketidaktaatan Israel. Pada 1 Samuel 4:1-22, Israel menghadapi bangsa Filistin dalam peperangan, namun mereka mengalami kekalahan yang memalukan. Tabut perjanjian dibawa ke medan perang sebagai lambang kehadiran Allah yang dijadikan “jimat” untuk kemenangan militer. Pendekatan ini menunjukkan kesalahpahaman fundamental tentang hubungan umat dengan Allah, yakni percaya pada simbol ritual semata tanpa ketaatan dan kesalehan pribadi(18). Kekalahan Israel dan jatuhnya tabut ke tangan Filistin menandai kehancuran simbolik dan nyata dari kepemimpinan spiritual yang lemah, termasuk kematian Hofni dan Pinehas, anak-anak Eli. Kejadian ini menegaskan bahwa Allah tidak bisa diperalat oleh manusia untuk tujuan duniawi. Melalui peristiwa ini, pembaca disadarkan akan hubungan yang benar antara umat dan Allah, di mana kemenangan dan keberhasilan bukan semata-mata hasil ritual, melainkan ketaatan dan integritas moral(19).
        Tabut Allah dikembalikan ke Israel setelah jatuh ke tangan Filistin; Samuel muda memimpin umat Israel dalam doa dan pertobatan, disinari cahaya ilahi sebagai simbol pemulihan rohani.
        “Pemulihan Tabut Allah di Mizpa”
        Samuel memimpin umat Israel dalam doa dan pertobatan setelah kehancuran akibat ketidaktaatan, menandai pemulihan rohani bangsa (1 Sam. 4:1-7:17).

        Namun, narasi juga menyoroti pemulihan dan kehadiran Allah yang aktif di tengah penderitaan. Pada 1 Samuel 5-6, tabut yang jatuh ke tangan Filistin menimbulkan malapetaka bagi bangsa tersebut, hingga akhirnya mereka mengembalikannya ke Israel. Peristiwa ini menegaskan bahwa kedaulatan Allah tidak terbatas oleh ketidaktaatan manusia, dan Allah selalu menemukan cara untuk menegakkan kehendak-Nya. Samuel kemudian menjadi pusat pembimbingan rohani yang memulihkan umat melalui peringatan dan perintah Allah (1 Sam. 7:3-17), termasuk kemenangan Israel atas Filistin di Mizpa, yang menunjukkan pemulihan rohani melalui doa, pertobatan, dan kepemimpinan yang benar(20). Secara teologis, kisah ini memperlihatkan polarisasi antara simbolisme ritual dan realitas ketaatan rohani. Tabut Allah tidak sekadar artefak fisik, tetapi peringatan bahwa Allah menuntut kesetiaan, pertobatan, dan pemimpin yang mendengar suara-Nya. Samuel muncul sebagai figur yang mampu mengarahkan bangsa kepada Allah secara benar, memperlihatkan bahwa kebangkitan spiritual bangsa selalu dimulai dari figur yang setia dan peka terhadap panggilan ilahi. Tema ini memiliki relevansi bagi jemaat modern, menekankan bahwa keberhasilan komunitas iman bergantung pada kepatuhan terhadap firman Tuhan, bukan sekadar simbol atau ritual formal(21).

    B.     Permintaan Raja dan Kejatuhan Saul (1 Sam. 8–15)
      1.     1 Samuel 8:1–22 - Israel Meminta Raja Seperti Bangsa-Bangsa Lain
        Kisah dalam 1 Samuel 8 menjadi salah satu titik krisis paling menentukan dalam sejarah kepemimpinan Israel. Pada masa tuanya, Samuel yang telah memimpin bangsa itu dengan integritas menempatkan anak-anaknya sebagai hakim di Bersyeba. Namun, mereka tidak berjalan dalam kebenaran seperti ayahnya, melainkan mencari keuntungan dan menerima suap. Situasi inilah yang menjadi pemicu munculnya desakan dari para tua-tua Israel untuk memiliki seorang raja seperti bangsa-bangsa lain. Permintaan ini pada permukaannya tampak logis dan realistis, tetapi secara teologis mengandung penolakan mendalam terhadap pemerintahan ilahi yang telah menuntun Israel sejak zaman Musa(22). Samuel merasa kecewa dengan permintaan tersebut, tetapi Allah menegaskan bahwa “bukan engkau yang mereka tolak, melainkan Akulah yang mereka tolak supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka” (1Sam. 8:7). Ayat ini menyingkapkan realitas rohani yang mendasar bahwa Israel tidak sekadar menolak seorang pemimpin manusia, tetapi menolak otoritas Allah sendiri.
        Samuel tua berdiri di hadapan para tua-tua Israel yang menuntut seorang raja; cahaya dari kemah pertemuan di kejauhan melambangkan kehadiran Allah yang ditolak umat-Nya.
        “Israel Meminta Raja”
        Di tengah kemerosotan rohani dan kegagalan manusia, Israel menolak pemerintahan ilahi dan menginginkan raja seperti bangsa lain (1 Sam. 8:1–22).

        Mereka ingin menyesuaikan diri dengan sistem politik bangsa-bangsa lain yang bersandar pada kekuatan militer dan simbol kekuasaan duniawi. Dalam narasi ini, tampak bahwa keinginan untuk menjadi “seperti bangsa lain” merupakan bentuk kompromi spiritual yang mengikis identitas teokratis Israel sebagai umat pilihan Allah(23). Samuel, sebagai nabi dan hakim terakhir, memperingatkan mereka tentang konsekuensi dari keinginan tersebut. Ia menyampaikan bahwa raja yang mereka dambakan akan mengambil anak-anak mereka menjadi tentara, menuntut pajak berat, dan memperbudak mereka (ay. 11–17). Namun, bangsa itu tidak bergeming dan tetap bersikeras: “Tidak! Harus ada seorang raja atas kami” (ay. 19). Di sinilah tampak ketegangan antara kehendak manusia dan kedaulatan Allah. Tuhan mengizinkan keinginan mereka, bukan sebagai bentuk restu, melainkan sebagai pelajaran rohani agar mereka menyadari konsekuensi dari penolakan terhadap pimpinan ilahi(24).

        Dari sudut pandang teologis, perikop ini menggambarkan paradoks mendalam dalam relasi antara kedaulatan Allah dan kebebasan manusia. Allah tetap berdaulat meskipun umat-Nya memilih jalan yang keliru; Ia bekerja melalui keputusan manusia untuk menggenapi rencana penebusan-Nya yang lebih besar. Dalam konteks ini, monarki Israel bukan semata-mata hasil pemberontakan manusia, tetapi juga instrumen Allah untuk mempersiapkan kedatangan Raja sejati, yaitu Yesus Kristus, yang memerintah bukan dengan pedang, tetapi dengan kasih dan kebenaran(25). Kisah ini juga mengandung relevansi spiritual yang kuat bagi gereja masa kini. Banyak komunitas Kristen, seperti halnya jemaat di konteks modern (misalnya di Lakahang), sering tergoda untuk meniru sistem dan pola dunia dalam mengelola kepemimpinan gerejawi. Namun, teks ini mengingatkan bahwa ketika umat Allah lebih mengandalkan kekuasaan manusia daripada pimpinan Roh Kudus, maka mereka sedang berjalan di jalur yang sama dengan Israel pada masa Samuel. Dengan demikian, panggilan utama dari pasal ini adalah untuk menegaskan kembali kedaulatan Kristus sebagai satu-satunya Raja dan Gembala sejati umat-Nya(26).

      2.     1 Samuel 9:1-15:35 - Pengangkatan Saul dan Kejatuhannya sebagai Raja Pertama Israel
        Narasi pengangkatan Saul dalam 1 Samuel 9-15 menandai peralihan besar dari sistem pemerintahan teokratis ke monarki dalam sejarah Israel. Saul, putra Kish dari suku Benyamin, digambarkan sebagai seorang muda yang tampan dan tinggi, sosok yang secara fisik memenuhi harapan bangsa akan seorang pemimpin yang gagah. Namun, kisah ini dengan cepat menunjukkan bahwa ukuran lahiriah bukanlah jaminan ketaatan kepada kehendak Allah(27). Pemilihan Saul terjadi bukan karena kebajikan rohani yang luar biasa, melainkan sebagai respons Allah terhadap permintaan rakyat yang ingin memiliki raja seperti bangsa-bangsa lain. Dalam konteks teologis, pengangkatan Saul bersifat ambivalen bahwa ia adalah anugerah sekaligus teguran. Allah mengizinkan Saul naik takhta untuk menyingkapkan bagaimana kekuasaan tanpa ketaatan akan membawa kehancuran.
        Samuel menuangkan minyak ke kepala Saul di bukit Rama, sementara cahaya keemasan dan langit mendung melambangkan anugerah dan kejatuhan dalam perjalanan iman dan kepemimpinan Saul.
        “Pengurapan dan Kejatuhan Saul”
        Dari pilihan Allah hingga penolakan karena ketidaktaatan, kisah Saul mencerminkan bahaya kepemimpinan tanpa ketaatan (1 Sam. 9:1–15:35).

        Meski awalnya rendah hati dan dipenuhi Roh Tuhan (1Sam. 10:9-10), Saul kemudian menunjukkan ketidaksabaran dan ketidaktaatan yang serius terhadap perintah Allah, terutama dalam dua insiden besar bahwa persembahan yang dilakukan tanpa menunggu Samuel (1Sam. 13) dan ketidaktaatan dalam menumpas Amalek (1Sam. 15)(28). Kisah kejatuhan Saul memperlihatkan tema sentral ketaatan sebagai ukuran sejati kepemimpinan rohani. Ketika Samuel menegurnya dengan kalimat tajam, “Ketaatan lebih baik dari pada korban sembelihan” (1Sam. 15:22), teks ini menegaskan prinsip teologis bahwa relasi dengan Allah tidak dapat digantikan oleh ritual keagamaan atau simbol jabatan. Saul berusaha mempertahankan legitimasi politiknya, namun kehilangan legitimasi rohaninya. Ia masih memerintah secara formal, tetapi Allah telah memilih Daud sebagai penggantinya, menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati dalam pandangan ilahi bergantung pada kerendahan hati dan kesediaan tunduk kepada firman Tuhan(29).

        Secara naratif, bagian ini menampilkan kontras tajam antara Saul dan Samuel. Samuel berdiri sebagai figur profetik yang setia, sementara Saul menjadi simbol kegagalan manusia dalam mengandalkan kekuatannya sendiri. Dalam konteks sejarah keselamatan, kejatuhan Saul membuka jalan bagi penggenapan janji Allah melalui keturunan Daud, yang kelak memuncak dalam pribadi Kristus, Raja sejati yang taat sepenuhnya kepada kehendak Bapa (Flp. 2:8). Oleh karena itu, tragedi Saul bukan sekadar catatan sejarah, tetapi cermin bagi setiap pemimpin rohani agar berhati-hati terhadap godaan ambisi dan ketidaktaatan(30). Dalam refleksi kontekstual masa kini, khususnya dalam kehidupan gereja, narasi ini berbicara kuat tentang bahaya kepemimpinan yang kehilangan arah spiritual. Di banyak jemaat, termasuk di wilayah-wilayah seperti Lakahang, muncul kecenderungan untuk mengagungkan figur pemimpin karismatik tanpa menilai kedalaman spiritualitas dan ketaatannya kepada firman Tuhan. Kisah Saul menjadi peringatan bahwa keberhasilan semu dapat menutupi kehancuran batiniah. Allah memanggil para pemimpin gereja bukan untuk berkuasa, melainkan untuk melayani dalam ketaatan dan kerendahan hati, sebab hanya di situlah kerajaan Allah benar-benar dinyatakan(31).

      3.     1 Samuel 12:1–25 - Pidato Perpisahan Samuel
        Pidato perpisahan Samuel dalam 1 Samuel 12 merupakan momen penting yang menandai transisi dari masa kepemimpinan teokratis kepada monarki Israel. Dalam pidatonya di hadapan seluruh bangsa, Samuel menegaskan integritas pelayanannya sekaligus memperingatkan umat agar tetap setia kepada hukum Tuhan di bawah pemerintahan raja yang baru. Ia menyatakan bahwa permintaan akan raja bukanlah penolakan terhadap dirinya semata, melainkan penolakan terhadap kepemimpinan Allah sendiri(32). Samuel menantang bangsa Israel untuk bersaksi terhadap ketulusannya dalam memimpin mereka, dan seluruh rakyat mengakui bahwa ia tidak bersalah terhadap siapa pun (1Sam. 12:3–5). Dengan demikian, Samuel meneguhkan otoritas moralnya untuk menasihati bangsa dan raja baru. Ia mengingatkan mereka bahwa keberhasilan pemerintahan tidak bergantung pada struktur politik, tetapi pada ketaatan kepada hukum Tuhan(33).Pidato ini memiliki karakter profetik dan pedagogis. Samuel meninjau ulang sejarah karya penyelamatan Allah sejak keluaran dari Mesir, menegaskan bahwa Allah senantiasa setia meskipun umat sering memberontak. Dengan mengingatkan hal ini, Samuel hendak menanamkan kesadaran historis bahwa ketaatan kepada Tuhan merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan kerajaan.
        Samuel tua mengangkat tangan di Mizpa memohon hujan dan petir sebagai tanda kuasa Allah, sementara bangsa Israel bersujud dalam ketakutan dan pertobatan di tengah ladang panen yang gelap.
        "Samuel di Mizpa: Firman, Hujan, dan Pertobatan"
        Momen perpisahan Samuel yang mengguncang hati Israel, menegaskan bahwa kuasa Allah tetap bekerja melalui teguran dan kasih setia-Nya.

        Ketika bangsa menolak pemerintahan Allah dengan meminta raja, mereka sebenarnya telah memilih jalan yang berisiko: Tuhan tetap memberi mereka raja, tetapi dengan peringatan keras agar raja dan rakyat sama-sama tunduk pada hukum-Nya(34). Untuk menegaskan otoritas peringatannya, Samuel memohon kepada Tuhan agar menurunkan hujan dan guruh di musim panen, suatu tanda kuasa ilahi yang mengejutkan bangsa (1Sam. 12:17–18). Fenomena alam ini bukan sekadar keajaiban simbolik, tetapi manifestasi langsung dari murka Allah terhadap ketidaktaatan umat. Rakyat pun menjadi takut dan mengakui dosa mereka karena telah meminta raja. Namun demikian, Samuel tidak meninggalkan mereka dalam keputusasaan, melainkan menegaskan janji kasih setia Allah: “Jangan takut! ... sebab Tuhan tidak akan menolak umat-Nya oleh karena nama-Nya yang besar” (1Sam. 12:20–22). Pidato ini meneguhkan kebenaran bahwa anugerah Allah selalu melampaui hukuman, tetapi hanya dapat dinikmati melalui pertobatan yang sejati(35).

        Secara teologis, pesan utama Samuel berfokus pada supremasi hukum Tuhan di atas otoritas manusia. Raja, meskipun memiliki kekuasaan politik, harus tunduk pada kedaulatan Allah. Konsep ini mencerminkan prinsip dasar teologi kerajaan dalam Perjanjian Lama: kekuasaan politik adalah mandat ilahi yang harus dijalankan dalam ketaatan kepada kehendak Allah. Ketika prinsip ini diabaikan, seperti yang kelak terjadi pada Saul, maka kerajaan akan kehilangan dasar moral dan spiritualnya(36). Dengan demikian, pidato perpisahan Samuel bukan sekadar penutup masa pelayanan, tetapi juga fondasi moral bagi pemerintahan monarki Israel. Ia memperingatkan umat bahwa ketaatan terhadap hukum Tuhan merupakan syarat keberlangsungan hidup nasional dan spiritual. Pesan Samuel tetap relevan hingga kini: pemimpin dan umat Allah dipanggil untuk hidup dalam integritas dan ketaatan kepada firman, sebab hanya di sanalah kerajaan manusia dapat berdiri kokoh di bawah kedaulatan Allah(37).

      4.     1 Samuel 13:1-15:35 - Ketidaktaatan Saul dan penolakannya sebagai raja
        Kisah Saul dalam 1 Samuel 13:1-15:35 menyoroti titik kritis kejatuhan seorang raja yang diurapi Allah akibat ketidaktaatannya. Dua tindakan utama menandai kejatuhan Saul: pertama, melakukan korban persembahan tanpa menunggu Samuel (1Sam. 13:8-14), dan kedua, gagal menumpas bangsa Amalek secara tuntas serta mempertahankan rampasan yang seharusnya dimusnahkan (1Sam. 15:1-23).(38) Tindakan pertama menunjukkan ketidaksabaran dan kurangnya kepercayaan Saul terhadap pimpinan ilahi. Sebagai raja, ia mengambil inisiatif sendiri ketika menunggu Samuel dianggapnya sebagai lamban. Perilaku ini menandakan penekanan pada kekuatan politik dan insting manusia dibandingkan ketaatan kepada Tuhan. Samuel kemudian menegurnya bahwa “ketaatan lebih baik daripada korban sembelihan” (1Sam. 15:22), menegaskan prinsip bahwa hubungan dengan Allah didasarkan pada ketaatan, bukan sekadar ritual formal.(39)
        Saul berdiri ragu di medan perang dengan prajurit Amalek dan ternak yang masih tersisa, sementara Samuel menatap serius di belakangnya, menandakan ketidaktaatan raja kepada Allah.
        "Ketidaktaatan Saul: Perintah Tuhan dan Kesalahan Raja"
        Ilustrasi momen kritis ketika Saul gagal menuruti perintah Allah, menandai awal penolakannya sebagai raja.

        Kedua, ketidaktaatan Saul yang lebih serius terjadi ketika ia mengampuni raja Amalek dan mempertahankan rampasan terbaik, padahal Allah memerintahkan agar seluruh bangsa Amalek dan segala miliknya dimusnahkan (1Sam. 15:3,9). Peristiwa ini menekankan bahwa keputusan politik yang menyimpang dari kehendak Allah membawa konsekuensi rohani yang serius, yaitu penolakan Saul sebagai raja (1Sam. 15:23).(40) Kontras antara Saul dan Daud juga menjadi sangat jelas. Saul mengandalkan kekuatan dan popularitas, sedangkan Daud dipilih karena hati yang tunduk pada Allah (1Sam. 16:7). Ketidaktaatan Saul menyebabkan Roh Tuhan meninggalkannya (1Sam. 16:14) dan memunculkan kecemburuan yang memicu upayanya berulang kali untuk membunuh Daud. Kisah ini menekankan bahwa kepemimpinan yang diurapi Allah hanya efektif ketika dijalankan dalam ketaatan penuh.(41) Dengan demikian, narasi Saul memberi peringatan teologis abadi: keberhasilan lahiriah dan kekuasaan politik tidak menggantikan ketaatan kepada Allah. Integritas dan kesetiaan pada perintah Tuhan adalah fondasi utama bagi keberlangsungan kepemimpinan, dan ketidaktaatan akan menimbulkan penolakan ilahi serta kehancuran spiritual.(42)

    C.     Permintaan Raja dan Kejatuhan Saul (1 Sam. 8-15)
      1.     1 Samuel 16:1-23 - Pengurapan Daud sebagai Raja Pilihan Allah
        Peristiwa pengurapan Daud menandai titik balik penting dalam sejarah Israel, di mana Allah memilih pemimpin bukan berdasarkan penampilan lahiriah, melainkan hati yang tunduk kepada-Nya. Ketika Samuel diutus untuk mengurapi raja baru, Allah menegaskan bahwa manusia melihat apa yang tampak di mata, tetapi Tuhan melihat hati (1Sam. 16:7). Prinsip ini menjadi fondasi teologis bagi kepemimpinan yang sesuai kehendak Allah, di mana ketaatan, kerendahan hati, dan kesetiaan menjadi kriteria utama.(43) Daud, anak bungsu Isai dari Betlehem, dipilih bukan karena status sosial atau kemampuan militer, tetapi karena kesetiaan dan hati yang takut akan Allah. Pengurapan ini menandai transisi dari kepemimpinan Saul yang bersifat karismatik dan politis menuju model monarki teologis yang mengutamakan ketaatan dan pengurapan ilahi. Sebagai simbol raja ideal, Daud menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati tidak ditentukan oleh kekuasaan manusia, melainkan oleh persetujuan Allah.(44)

        Selain pengurapan, kisah ini juga menampilkan dinamika politik dan sosial. Ketika Daud mulai melayani di istana Saul sebagai pemain kecapi untuk menenangkan Saul yang diganggu roh jahat, ia menunjukkan ketulusan dan kesetiaan meski berada di bawah pengawasan raja yang cemburu (1Sam. 16:21–23). Hal ini memperlihatkan karakter Daud yang mengutamakan kehendak Allah di atas keselamatan pribadi atau ambisi politik, sehingga menjadi teladan bagi pemimpin dan umat yang hidup di tengah tekanan sosial atau konflik kepemimpinan.(45) Narasi pengurapan ini juga membangun tema besar kontras antara hati yang dipilih Allah dan hati yang ditolak-Nya. Saul, meskipun diurapi, kehilangan Roh Tuhan karena ketidaktaatannya (1Sam. 16:14), sementara Daud dipersiapkan untuk memimpin Israel sebagai raja yang taat dan dipercaya oleh Allah. Peristiwa ini menjadi pengingat teologis bahwa legitimasi pemimpin di hadapan Tuhan tidak ditentukan oleh kekuatan fisik, keturunan, atau popularitas, tetapi oleh hati yang tunduk kepada kehendak-Nya.(46)

Hormat Saya

Tanda tangan penulis

Penulis dari Pinggiran

Catatan Kaki


  1.   Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 143.
  2.   Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W.W. Norton, 1999), 12–14.
  3.   Paul R. House, 1, 2 Samuel: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 2021), 27.
  4.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2016), 4.
  5.   R. K. Harrison, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 2004), 697.
  6.   Martin Noth, The Deuteronomistic History (Sheffield: JSOT Press, 1991), 34.
  7.   Tremper Longman III dan Raymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2017), 169.
  8.   John H. Walton, Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament (Downers Grove: IVP Academic, 2020), 293.
  9.   Bill T. Arnold, 1 and 2 Samuel, NIV Application Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2003), 41.
  10.   John H. Walton & Andrew E. Hill, A Survey of the Old Testament, 4th ed. (Grand Rapids: Zondervan, 2018), 243.
  11.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 8.
  12.   Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel: The New American Commentary, Vol. 7 (Nashville: B&H Publishing, 1996), 67.
  13.   Ralph W. Klein, 1 Samuel (Waco: Word Books, 1983), 22.
  14.   Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel: The New American Commentary, Vol. 7 (Nashville: B&H Publishing, 1996), 73–75.
  15.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 21–23.
  16.   Paul R. House, 1, 2 Samuel, New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 2021), 41–42.
  17.   John H. Walton & Andrew E. Hill, A Survey of the Old Testament, 4th ed. (Grand Rapids: Zondervan, 2018), 251.
  18.   Bill T. Arnold, 1 and 2 Samuel, NIV Application Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2003), 55–57.
  19.   Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel: The New American Commentary, Vol. 7 (Nashville: B&H Publishing, 1996), 95–98.
  20.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 35–38.
  21.   John H. Walton & Andrew E. Hill, A Survey of the Old Testament, 4th ed. (Grand Rapids: Zondervan, 2018), 258–260.
  22.   Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W.W. Norton, 1999), 37–39.
  23.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel: Interpretation: A Bible Commentary for Teaching and Preaching (Louisville: Westminster John Knox Press, 2016), 61.
  24.   Ralph W. Klein, 1 Samuel (Word Biblical Commentary, Vol. 10; Grand Rapids: Zondervan, 2018), 91–92.
  25.   David Firth, 1 & 2 Samuel: Apollos Old Testament Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 122–124.
  26.   John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2019), 546–547.
  27.   Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W.W. Norton, 1999), 73–75.
  28.   Dale Ralph Davis, 1 Samuel: Looking on the Heart (Fearn: Christian Focus, 2017), 103–105.
  29.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2016), 96–98.
  30.   David Firth, 1 & 2 Samuel: Apollos Old Testament Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 185–187.
  31.   John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2019), 551–552.
  32.   Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 192.
  33.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 117.
  34.   Ralph W. Klein, 1 Samuel: A Commentary (Minneapolis: Fortress Press, 2020), 258.
  35.   Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel (NAC; Nashville: B&H Publishing, 2018), 271.
  36.   Patrick D. Miller, Divine Command and Human Obedience (Louisville: Westminster John Knox, 2019), 138.
  37.   Craig G. Bartholomew, The Drama of Scripture: Finding Our Place in the Biblical Story, 3rd ed. (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 152.
  38.   Dale Ralph Davis, 1 Samuel: Looking on the Heart (Fearn: Christian Focus, 2017), 110–112.
  39.   Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel (NAC; Nashville: B&H Publishing, 2018), 292–294.
  40.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 125–127.
  41.   Ralph W. Klein, 1 Samuel: A Commentary (Minneapolis: Fortress Press, 2020), 301–304.
  42.   Craig G. Bartholomew, The Drama of Scripture: Finding Our Place in the Biblical Story, 3rd ed. (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 156–157.
  43.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 132.
  44.   Ralph W. Klein, 1 Samuel: A Commentary (Minneapolis: Fortress Press, 2020), 312.
  45.   Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel (NAC; Nashville: B&H Publishing, 2018), 298–299.
  46.   Craig G. Bartholomew, The Drama of Scripture: Finding Our Place in the Biblical Story, 3rd ed. (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 159.

Post a Comment

0 Comments