property='og:image'/>

I.   Latar Belakang Historis Kitab 2 Samuel

    A.     Penulis dan Masa Penulisan
      Secara tradisional, kitab 2 Samuel dikaitkan dengan nabi Samuel sebagai penulis utamanya. Namun pandangan ini mulai dipertanyakan karena Samuel sendiri wafat sebelum sebagian besar peristiwa dalam kitab ini terjadi, khususnya yang berkaitan dengan masa kejayaan dan kejatuhan Daud setelah menjadi raja atas seluruh Israel(1). Oleh sebab itu, mayoritas sarjana Perjanjian Lama modern berpendapat bahwa kitab ini disusun oleh lebih dari satu penulis, kemungkinan besar dari kalangan para nabi atau juru catat istana. Beberapa teori menyebutkan bahwa kitab ini merupakan hasil kompilasi dari berbagai sumber seperti Court History of David (Sejarah Istana Daud) dan dokumentasi administratif kerajaan(2).

      Terkait waktu penulisannya, sebagian besar ahli menempatkan penyusunan kitab ini pada masa pemerintahan Daud atau segera setelahnya, kira-kira abad ke-10 atau ke-6 SM(3). Namun terdapat pula indikasi bahwa kitab ini mengalami proses penyuntingan bertahap, bahkan hingga masa setelah pembuangan di Babel. Misalnya, adanya nada reflektif mengenai kejatuhan moral dan konflik dinasti menunjukkan kemungkinan adanya penyusunan ulang oleh komunitas pascapembuangan(4). Hal ini menguatkan pandangan bahwa kitab ini tidak sekadar menyajikan catatan sejarah, tetapi merupakan historiografi teologis, sejarah yang ditafsirkan dalam terang penyertaan dan disiplin Allah. Dengan demikian, pembahasan mengenai penulis kitab 2 Samuel tidak dapat disederhanakan hanya pada satu tokoh tertentu. Penulisnya tampaknya bekerja bukan semata-mata sebagai jurnalis sejarah, tetapi sebagai teolog naratif yang ingin menunjukkan bagaimana Allah berkarya melalui kelemahan maupun keberhasilan para pemimpin manusia.

      Kejujuran kitab ini dalam menampilkan dosa Daud, terutama dalam peristiwa Batsyeba, menjadi bukti bahwa tujuan penulisan kitab ini bukan untuk mengultuskan tokoh Daud, melainkan untuk menyatakan bahwa Allah tetap berdaulat sekalipun raja-Nya jatuh dalam kegagalan moral(5). Bahkan jika tidak diketahui secara pasti siapa penulis tunggalnya, gaya penulisan kitab ini menunjukkan adanya keutuhan visi teologis: Allah tidak hanya hadir dalam kemenangan peperangan, tetapi juga dalam proses koreksi, disiplin, dan pemulihan. Dengan demikian, pembaca diajak melihat bahwa sejarah kerajaan Daud bukan semata-mata catatan politik, melainkan perwujudan dari anugerah dan penghakiman Allah yang bekerja dalam realitas manusia. Identitas penulis mungkin samar, tetapi pesan ilahi yang hendak disampaikan tetap terang.

    B.     Penulis dan Masa Penulisan
      Masa pemerintahan Daud menandai periode penting dalam sejarah Israel, di mana bangsa yang sebelumnya terbagi menjadi suku-suku independen mulai dipersatukan menjadi sebuah kerajaan yang lebih terstruktur secara politik dan administratif(6). Daud tidak hanya menaklukkan wilayah musuh seperti Filistin, Moab, dan Ammon, tetapi juga memperkuat struktur pemerintahan dalam negeri melalui pengangkatan pejabat istana, sistem militer, dan penataan wilayah administratif. Hal ini mencerminkan upaya konsolidasi kekuasaan yang bukan sekadar bersifat militer, tetapi juga politik dan ekonomi, yang berfungsi menjaga stabilitas kerajaan di bawah kepemimpinan pusat. Secara sosial, masyarakat Israel pada masa Daud berada dalam dinamika transformasi yang kompleks. Pemindahan tabut perjanjian ke Yerusalem (2 Samuel 6) bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga langkah strategis yang memperkuat pusat legitimasi politik melalui simbol keagamaan(7).
      Raja Daud duduk di singgasana Yerusalem dengan pejabat dan prajurit di sekelilingnya, menggambarkan stabilitas politik, pengaruh militer, dan integrasi agama dalam kerajaan Israel.
      "Raja Daud di Yerusalem"
      Simbol konsolidasi politik dan sosial serta integrasi keagamaan pada masa pemerintahan Daud (2 Samuel 5–6).

      Dengan menempatkan Yerusalem sebagai ibu kota politik sekaligus pusat ibadah, Daud menegaskan integrasi antara kuasa politik dan spiritual. Dalam konteks ini, para pemimpin dan warga disadarkan akan keterkaitan erat antara ketaatan kepada Allah dan stabilitas nasional, sebuah prinsip yang menjadi tema sentral sepanjang kitab ini. Selain itu, konflik internal antar keluarga dan fraksi istana menonjol sebagai bagian dari dinamika sosial-politik pada masa itu. Pemberontakan Absalom dan ketegangan antara rumah Saul dan Daud menunjukkan bahwa kekuasaan raja selalu terikat dengan hubungan interpersonal yang rumit serta pengaruh suku-suku yang berbeda(8). Tantangan-tantangan ini tidak hanya bersifat politik, tetapi juga moral dan religius, karena pengambilan keputusan raja selalu menjadi cermin tanggung jawabnya di hadapan Allah dan rakyatnya. Dengan kata lain, kepemimpinan di Israel masa itu tidak dapat dilepaskan dari dimensi teologis; setiap keputusan politik memiliki implikasi rohani.

      Ekonomi dan jaringan perdagangan juga menjadi bagian penting dari konteks sosial-politik. Keberhasilan Daud dalam menguasai kota-kota penting dan wilayah strategis memperkuat sistem pajak dan distribusi sumber daya, memungkinkan kerajaan untuk mendukung tentara, pelayan istana, dan kegiatan keagamaan. Analisis historis menunjukkan bahwa stabilitas sosial Israel pada masa ini sangat bergantung pada kemampuan raja untuk mengelola hubungan antara kekuatan militer, elit politik, dan warga biasa secara berimbang(9). Dengan memahami konteks sosial-politik ini, pembaca dapat melihat bahwa Kitab 2 Samuel bukan hanya menyajikan narasi pribadi Daud, tetapi juga teologi sejarah yang menghubungkan keberhasilan maupun kegagalan raja dengan keterlibatan Allah dalam kehidupan sosial dan politik Israel. Hal ini memberikan pemahaman mendalam bahwa kepemimpinan yang efektif dalam sejarah Israel selalu bersifat holistik, memadukan aspek politik, sosial, dan spiritual dalam satu kerangka yang harmonis(10).

    C.     Tujuan dan Audiens Kitab 2 Samuel
      Kitab 2 Samuel tidak hanya ditulis sebagai catatan sejarah kerajaan Daud, tetapi sebagai narasi teologis yang bertujuan membentuk cara umat Israel memahami karya Allah dalam perjalanan bangsa mereka. Banyak ahli menegaskan bahwa kitab ini merupakan bagian dari apa yang disebut “Sejarah Deuteronomistik”, yakni rangkaian tulisan dari Ulangan hingga Raja-Raja yang disusun untuk menunjukkan bahwa seluruh dinamika politik bangsa Israel dipahami dalam terang ketaatan atau ketidaktaatan kepada Allah.(11) Dengan demikian, tujuan utama kitab ini bukan sekadar mendokumentasikan kisah-kisah kepahlawanan Daud, melainkan menunjukkan bahwa keberhasilan dan kegagalan pemimpin Israel ditentukan bukan oleh strategi politik atau kekuatan militer, tetapi oleh relasi mereka dengan Tuhan.

      Kemungkinan besar, kitab ini pertama kali ditujukan kepada umat Israel yang hidup setelah masa pembuangan, atau setidaknya mereka yang sedang mengalami krisis identitas sebagai bangsa.(12) Dengan mengangkat kembali kisah pemerintahan Raja Daud, umat yang tercerai-berai disegarkan oleh harapan bahwa Allah tidak pernah benar-benar meninggalkan mereka, bahkan ketika mereka mengalami kehancuran politik. Narasi ini berfungsi sebagai “cermin sejarah” yang mengajak bangsa Israel untuk bercermin dan bertanya: apakah mereka ingin meneladani Daud yang bertobat dan kembali kepada Allah, atau justru mengikuti jejak Saul yang keras hati dan mengalami kejatuhan tragis? Lebih dari sekadar penghiburan historis, kitab ini juga memiliki nilai pengajaran dan koreksi. Penulisan ulang peristiwa-peristiwa kelam seperti dosa Daud dengan Batsyeba atau pemberontakan Absalom menunjukkan bahwa kitab 2 Samuel bukanlah propaganda kerajaan yang hanya menampilkan sisi gemilang sang raja. Sebaliknya, kitab ini jujur dalam menggambarkan kelemahan dan kegagalan, agar umat belajar dari sejarah dan memperbarui hidup mereka di hadapan Allah.(13)

      Juru tulis Israel kuno menulis gulungan kitab sambil membayangkan umat Israel di masa pembuangan dan masa pemulihan mendengarkan firman Allah.
      “2 Samuel”
      Ditulis untuk Generasi yang Hancur dan Generasi yang Dibangkitkan Kembali.

      Sebaliknya, kitab ini menegaskan bahwa bahkan pemimpin terbesar Israel tetap tunduk pada penghakiman Allah. Dengan demikian, tujuan kitab ini juga bersifat profetis, memperingatkan setiap pemimpin atau umat agar tidak menyalahgunakan kuasa. Pada akhirnya, kitab 2 Samuel menyajikan visi tentang pemerintahan ideal yang berpusat pada Allah, bukan pada manusia. Raja Daud digambarkan bukan sebagai pahlawan tanpa cela, tetapi sebagai raja yang besar karena ia mau merendahkan diri di hadapan Allah. Narasi ini mengantar pembaca untuk berharap bukan pada seorang raja duniawi, melainkan pada keturunan Daud yang dijanjikan akan memerintah dengan keadilan kekal.(14) Dengan demikian, kitab ini tidak hanya bersifat historis atau moral, tetapi juga eskatologis, mengarahkan pandangan umat kepada masa depan keselamatan yang sempurna.

    C.     Posisi Kitab 2 Samuel dalam Kanon dan Teologi Perjanjian Lama
      Dalam kanon Ibrani, Kitab 2 Samuel tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari satu kesatuan besar yang dikenal sebagai Nevi’im Rishonim (Nabi-Nabi Awal), bersama dengan Yosua, Hakim-Hakim, 1 Samuel, dan 1-2 Raja-Raja.(15) Dengan demikian, kitab ini dipahami bukan hanya sebagai karya historiografi, tetapi sebagai teks profetis yang menafsirkan sejarah Israel dalam terang kehendak Allah. Di dalam struktur tersebut, 2 Samuel menempati posisi transisional yang sangat penting: ia menjadi jembatan dari masa suku-suku yang longgar menuju pemerintahan monarki yang kokoh secara politik sekaligus fundamental secara teologis. Dalam kanon Kristen, 2 Samuel ditempatkan setelah 1 Samuel dan sebelum 1 Raja-Raja, mempertahankan kesinambungan naratif dari masa pemerintahan Saul ke masa pemerintahan Daud dan akhirnya menuju keruntuhan moral generasi selanjutnya.(16) Penempatan ini memiliki makna teologis yang mendalam: ia mengingatkan umat bahwa sejarah umat Allah bergerak bukan secara linier menuju kejayaan duniawi, tetapi secara siklik antara ketaatan, kejatuhan, pertobatan, dan pemulihan.
      Gulungan kitab Ibrani bertuliskan 2 Samuel ditempatkan di antara kitab-kitab sejarah nabi-nabi awal, dihiasi simbol mahkota sebagai penanda perjanjian Daud.
      “2 Samuel”
      Titik Poros Kanon yang Menyambungkan Sejarah dan Janji Mesias.

      Dengan demikian, 2 Samuel bukan sekadar “masa keemasan Daud”, tetapi juga “cermin” bagi setiap generasi untuk merenungkan bahwa sekalipun Allah mengangkat, Ia juga menghukum demi menciptakan kembali kesetiaan. Secara teologis, posisi kitab ini menjadi sangat strategis karena dari sinilah muncul salah satu tema terpenting dalam keseluruhan Alkitab yaitu Perjanjian Daud (2 Sam. 7). Perjanjian ini menjadi dasar bagi pengharapan mesianis Israel bahwa akan datang seorang raja dari keturunan Daud yang akan memerintah untuk selama-lamanya.(17) Oleh sebab itu, 2 Samuel tidak hanya dibaca oleh umat Israel sebagai kisah masa lalu, tetapi juga sebagai “kompas eskatologis” yang menunjuk ke masa depan, hingga akhirnya digenapi dalam pribadi Yesus Kristus menurut pemahaman Perjanjian Baru (Mat. 1:1; Luk. 1:32–33). Dengan demikian, posisi Kitab 2 Samuel dalam kanon bukanlah sekadar urutan literer, melainkan fondasi teologis yang menjelaskan bagaimana Allah bekerja melalui sejarah manusia, memakai seorang raja yang lemah dan tidak sempurna untuk menyatakan rencana kekal-Nya. Kitab ini berdiri sebagai pengingat bahwa Allah bukan hanya Tuhan atas ibadah, tetapi juga atas politik, keluarga, peperangan, dan kegagalan manusia. Di sinilah letak kekuatan 2 Samuel: ia mengajarkan bahwa kerajaan Allah tidak hadir dalam dunia yang steril, tetapi justru bertumbuh dari tanah yang penuh luka dan pertobatan.

II.   Struktur Naratif Kitab 2 Samuel

      1.     Ratapan Daud atas Saul dan Yonatan (2 Samuel 1:1-27)
      Kisah pembuka Kitab 2 Samuel tidak dimulai dengan kemenangan politik atau deklarasi kekuasaan Daud, melainkan dengan air mata. Bukannya bersukacita atas kematian Saul yang selama ini mengejarnya, Daud justru merespons berita duka itu dengan kesedihan mendalam. Ia merobek pakaiannya, menangis, berpuasa, dan bahkan mengadili orang Amalek yang mengaku membunuh Saul, bukan sebagai pahlawan, tetapi sebagai kriminal.(18) Reaksi ini menunjukkan bahwa bagi Daud, kerajaan bukanlah ambisi pribadi melainkan karya Allah; karena itu ia tidak bersukacita atas kehancuran musuhnya, terlebih ketika yang mati adalah “orang yang diurapi Tuhan” (2 Sam. 1:14). Dengan demikian, narasi ini sejak awal membentuk paradigma pembaca bahwa kepemimpinan yang saleh tidak dibangun di atas dendam atau perebutan kekuasaan, tetapi penghormatan terhadap kehendak Allah. Ratapan Daud atas Saul dan Yonatan (ay. 19–27), yang sering disebut The Song of the Bow, bukan hanya ekspresi emosional, tetapi juga karya puisi liturgis yang sarat makna teologis. Dalam struktur Ibrani kuno, penulisan ratapan semacam ini bukan sekadar untuk mengenang, tetapi untuk mengajarkan umat tentang bagaimana memaknai kematian dan kehancuran dalam terang iman.(19)

      Daud tidak menutupi kesalahan Saul, tetapi ia memilih untuk menonjolkan keberanian dan keperkasaannya, seakan ingin mengajarkan bahwa bahkan pemimpin yang jatuh sekalipun tetap harus dihormati karena jabatan yang pernah Allah berikan kepadanya. Secara naratif, perikop ini berfungsi sebagai pembersihan hati sebelum Daud memasuki tahta kerajaan. Ia tidak naik dengan membawa trauma dendam, melainkan dengan hati yang telah diproses melalui duka dan kasih. Dalam kerangka teologi kepemimpinan Perjanjian Lama, seorang pemimpin sejati bukan hanya ahli strategi, tetapi juga mampu menangis bagi bangsanya.(20) Dengan demikian, 2 Samuel pasal 1 meneguhkan bahwa air mata adalah bagian dari spiritualitas kerajaan Allah, bahwa jalan menuju kuasa sering kali dimulai dari kerendahan hati dan empati yang tulus. Ratapan ini juga menjadi cermin bagi pembacanya, baik pada masa Daud maupun generasi Israel setelah pembuangan. Di tengah kehilangan, Tuhan mengizinkan umat-Nya menangis, tetapi bukan dalam keputusasaan, melainkan dalam pengharapan bahwa Allah tetap bekerja bahkan dalam kematian seorang raja. Maka cerita 2 Samuel tidak dimulai dengan “Daud naik tahta”, tetapi dengan “Daud meratap”; sebab hanya mereka yang tahu cara meratap dengan benar yang layak memimpin dengan benar.

      2.     Ratapan Daud atas Saul dan Yonatan (2 Samuel 1:1-27)
      Setelah masa ratapan dan persiapan spiritual, Daud diurapi sebagai raja atas Yehuda di Hebron (2 Sam. 2:1–4), menandai awal resmi kepemimpinannya secara politik. Pengurapan ini tidak sekadar simbol formalitas, melainkan tindakan teologis yang menunjukkan bahwa Allah memilih Daud sebagai pemimpin sesuai kehendak-Nya, bukan karena ambisi pribadi atau pengaruh manusia semata.(21) Tindakan para pemimpin suku Yehuda yang hadir dalam pengurapan menegaskan prinsip legitimasi politik dalam konteks sosial Israel: kuasa raja harus diakui oleh komunitas umat yang dipimpin, sekaligus menegaskan keterlibatan Allah dalam sejarah manusia. Proses pengurapan ini juga menandai awal periode konsolidasi internal. Meski hanya atas Yehuda, pengurapan ini menjadi fondasi penting bagi Daud untuk kemudian diperluas menjadi pengaruh atas seluruh Israel. Dalam konteks naratif 2 Samuel, pengurapan ini mengajarkan bahwa kepemimpinan yang benar selalu diawali dengan pengakuan akan otoritas Allah dan kerendahan hati sang pemimpin.(22)
      Daud diurapi sebagai raja atas Yehuda di Hebron oleh imam dan pemimpin suku, menandakan legitimasi politik dan kehendak Allah.
      “Pengurapan Daud atas Yehuda (2 Samuel 2:1–7)”
      Awal kepemimpinan ilahi yang diakui oleh rakyat dan pemimpin suku.

      Daud tidak segera merebut kekuasaan dari suku-suku lain dengan cara paksa; ia menunggu legitimasi Allah dan pengakuan rakyat Yehuda, sebuah teladan kepemimpinan yang bijaksana dan berlandaskan iman. Secara teologis, perikop ini menegaskan hubungan erat antara ritual keagamaan dan politik dalam Israel. Pengurapan dengan minyak suci bukan sekadar tanda status, tetapi penegasan bahwa setiap tindakan politik seorang raja harus sejalan dengan kehendak Allah. Dengan demikian, momen ini bukan hanya awal kekuasaan manusia, tetapi juga pengingat bahwa seluruh sejarah bangsa Israel berada di tangan Allah, yang mengangkat dan menuntun pemimpin sesuai rencana ilahi.(23) Narasi 2 Samuel 2:1–7 mengajarkan pula bahwa kepemimpinan yang sah dan efektif selalu membutuhkan pengakuan sosial dan spiritual. Kehadiran pemimpin suku dan imam dalam pengurapan menegaskan bahwa Daud bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga pemimpin spiritual yang memimpin rakyat dalam kesetiaan kepada Allah. Dengan demikian, pengurapan Daud di Hebron menjadi model teologis bagi pembaca mengenai bagaimana Allah bekerja melalui legitimasi manusiawi yang disinergikan dengan kehendak ilahi.

      3.     Pertentangan antara Rumah Saul dan Daud (2 Samuel 2:8–32; 3:1–21)
      Setelah Daud diangkat menjadi raja atas Yehuda, muncul ketegangan politik yang cukup tajam. Abner bin Ner, panglima militer dari kerajaan Saul, menetapkan Ish-boset sebagai raja atas wilayah Israel di Mahanaim (2 Sam. 2:8-9). Akibatnya, Israel memasuki masa kepemimpinan ganda: Daud memerintah Yehuda di selatan, sementara Ish-boset memimpin Israel di utara. Kisah ini menggambarkan betapa kompleksnya dinamika kekuasaan di zaman kuno, di mana kepemimpinan rohani yang telah Allah tetapkan bagi Daud harus berhadapan dengan warisan kekuasaan lama yang masih kuat secara sosial dan militer.(24) Pertempuran di kolam Gibeon (2 Sam. 2:12–17) menggambarkan secara dramatis bagaimana konflik politik sering kali meledak menjadi konflik militer. Namun yang menarik, meskipun Daud memiliki legitimasi ilahi, ia tidak secara pribadi terlibat dalam pertempuran itu, justru para panglimanya yakni Yoab dan Abisai, yang memimpin pasukan.(25) Hal ini menunjukkan bahwa Daud tetap menjaga jarak dari pertumpahan darah yang tidak perlu, seolah-olah menegaskan bahwa perebutan tahta bukan urusan ambisi pribadi, tetapi harus terjadi melalui proses yang Allah sendiri izinkan dalam sejarah.

      Narasi 2 Samuel 3:1 secara eksplisit menyatakan bahwa “Perang antara keluarga Saul dan keluarga Daud berlangsung lama akan tetapi Daud makin lama makin kuat, sedangkan keluarga Saul makin lama makin lemah.” Pernyataan ini bukan sekadar laporan sejarah, melainkan penilaian teologis atas dua bentuk kekuasaan bahwa yang satu berdiri atas pilihan Allah, dan yang lain bertahan hanya oleh struktur manusia.(26) Bahkan ketika Abner kemudian berbalik mendukung Daud (2 Sam. 3:6-21), yang menjadi faktor penentu bukan diplomasi atau kekuatan militer, tetapi kesadaran bahwa Allah telah menetapkan Daud sebagai raja atas seluruh Israel. Dengan demikian, kemenangan Daud tidak dipahami sebagai hasil strategi politik, melainkan sebagai penggenapan janji Allah yang berjalan melalui proses yang panjang dan sering kali penuh konflik. Perikop ini mengajarkan bahwa dalam sejarah umat Allah, pergumulan antara yang sah secara rohani dan yang kuat secara struktural tidak selalu terselesaikan secara instan. Allah tidak selalu menghapus oposisi secara ajaib, tetapi sering kali membiarkan proses sejarah berjalan untuk membuktikan keabsahan kepemimpinan yang sejati. Narasi ini bukan hanya laporan konflik perebutan takhta, melainkan cermin bagi pembaca bahwa setiap kepemimpinan yang bertahan di luar kehendak Allah pada akhirnya akan runtuh, sedangkan yang berdiri dalam kebenaran akan diteguhkan melalui waktu.

      4.     Pembunuhan Abner dan Isyboset (2 Samuel 3:22–39; 4:1-12)
      Peristiwa pembunuhan Abner oleh Yoab (2 Sam. 3:22-30) merupakan salah satu momen paling kompleks dalam narasi kepemimpinan Daud. Setelah Abner menyatakan kesediaannya untuk mengalihkan seluruh Israel kepada Daud, Yoab, atas dendam pribadi karena kematian Asael saudaranya, ia membunuh Abner secara licik di gerbang kota Hebron. Tindakannya tidak hanya melanggar etika peperangan kuno, tetapi juga mengancam stabilitas politik proses penyatuan Israel.(27) Menariknya, Daud tidak sekadar menolak keterlibatan, tetapi secara publik meratapi Abner dan mengutuk rumah Yoab (3:31-39), seolah ingin menegaskan bahwa pemerintahannya tidak dibangun di atas kekerasan yang tidak sah. Tindakan ini memperlihatkan etos kepemimpinan Daud yang bukan hanya mengejar kekuasaan, tetapi menjaga integritas moral dan spiritual negara. Kematian Isyboset (2 Sam. 4:1-12) menambah dimensi lain dalam narasi ini. Setelah mendengar Abner mati, Isyboset kehilangan keberanian dan seluruh Israel gentar, menunjukkan betapa rapuhnya kekuasaan yang berdiri tanpa dasar ilahi.(28) Dua prajurit yang membunuh Isyboset mengira mereka membawa “kabar baik” kepada Daud, namun justru dihukum mati karena mereka bertindak tanpa mandat Allah. Sama seperti ketika Daud menolak membunuh Saul, ia menolak memperoleh kekuasaan melalui kekerasan manusia. Dengan begitu, teks ini menegaskan bahwa Daud tidak hanya menjadi raja karena kemampuan politiknya, tetapi karena ia menolak cara-cara yang tidak kudus dalam meraih tahta.

      Sikap Daud terhadap pembunuhan Abner dan Isyboset memiliki muatan teologis yang mendalam bahwa kedaulatan Allah tidak dapat ditegakkan melalui tangan kotor manusia, bahkan jika hasil akhirnya tampak baik secara politis. Kepemimpinan yang sejati bukan hanya tentang berada di takhta, tetapi tentang bagaimana seseorang sampai ke sana. Di sinilah perbedaan antara Daud dan para oportunis politik lainnya bahwa Daud menolak menjadi raja dengan jalan kekerasan, karena ia percaya bahwa Allah sendiri yang akan mengokohkan tahtanya pada waktu-Nya.(29) Kisah ini juga berbicara tentang bahaya ambisi religius yang dibungkus sebagai pelayanan. Orang-orang yang membunuh Isyboset mengira mereka sedang membantu rencana Allah, tetapi dalam kenyataannya mereka hanya memperalat nama Allah untuk ambisi pribadi. Ini menjadi peringatan bagi setiap pemimpin rohani maupun politik bahwa tidak semua tindakan yang mengatasnamakan Tuhan benar-benar mewakili kehendak-Nya. Sejarah Kerajaan Daud menunjukkan bahwa kebenaran tidak bisa ditegakkan dengan cara yang salah. Allah tidak hanya memperhatikan tujuan, tetapi juga memperhitungkan jalan yang ditempuh menuju tujuan itu.

      5.     Daud Menjadi Raja atas Seluruh Israel (2 Samuel 5:1–5)
      Setelah masa panjang konflik antara rumah Saul dan rumah Daud, akhirnya seluruh tua-tua Israel datang kepada Daud di Hebron dan berkata, “Sesungguhnya, kami ini darah dagingmu” (2 Sam. 5:1). Pernyataan ini bukan sekadar deklarasi politik, tetapi pengakuan relasional yang kuat bahwwa mereka tidak hanya menerima Daud sebagai pemimpin secara struktural, tetapi mengakui adanya kedekatan identitas sebagai satu umat. Mereka juga teringat bahwa bahkan ketika Saul masih berkuasa, Daudlah yang memimpin pasukan Israel keluar masuk medan perang. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan kepemimpinan Daud sudah lama dikenal dan dihormati, jauh sebelum ia secara resmi diangkat sebagai raja. Pengakuan atas peran strategis Daud dalam peperangan menjadi bukti bahwa Allah telah mempersiapkan dan memperlengkapi dia untuk memimpin umat-Nya sejak awal.(30) Momen pengurapan Daud sebagai raja atas seluruh Israel di Hebron (2 Sam. 5:3) bukan hanya peristiwa politik, tetapi titik balik rohani yang sangat penting. Ketika para tua-tua Israel datang dan Daud mengikat perjanjian dengan mereka di hadapan TUHAN, kita melihat bahwa dasar pemerintahan Daud bukanlah kekuatan militer atau tradisi semata, melainkan komitmen spiritual yang melibatkan Allah sebagai saksi utama.(31)

      Dengan perjanjian itu, kerajaan Israel tidak lagi sekadar menjadi sistem pemerintahan, tetapi berubah menjadi komunitas perjanjian, sebuah bangsa yang hidup dalam ikatan relasi antara Allah, sang raja, dan umat-Nya. Inilah fondasi teologis yang membedakan kepemimpinan Daud dari model kekuasaan duniawi. Penulis mencatat bahwa Daud berumur tiga puluh tahun ketika ia menjadi raja, dan lamanya ia memerintah adalah empat puluh tahun (2 Sam. 5:4). Angka ini bukan sekadar penanda waktu, melainkan simbol kepenuhan dalam tradisi iman Israel, sebuah tanda bahwa Allah sedang menyempurnakan rencana-Nya melalui kehidupan seorang raja yang dipilih-Nya.(32) Kerajaan Daud bukan hanya struktur pemerintahan, ia adalah gambaran dari kerajaan yang berakar pada perjanjian kudus. Di dalamnya, kita melihat tiga pilar utama yang menopang otoritas ilahi yakni pengakuan umat, pengurapan oleh Allah, dan perjanjian yang mengikat antara Tuhan, raja, dan umat-Nya. Daud tidak naik tahta karena ambisi pribadi, melainkan karena panggilan surgawi yang diteguhkan oleh komunitas dan disahkan dalam perjanjian kudus.

      Inilah cikal bakal pengharapan mesianik, bahwa dari keturunan Daud akan lahir Sang Raja Damai, yang memerintah bukan dengan pedang, melainkan dengan kasih dan kebenaran. Maka, ketika kita merenungkan kerajaan Daud, kita tidak hanya melihat sejarah, tetapi juga janji bahwa Allah setia menegakkan pemerintahan-Nya di tengah umat yang bersedia hidup dalam perjanjian. Dengan demikian, puncak pengangkatan Daud bukanlah sekadar keberhasilan politik atau kemenangan strategi manusia. Ia adalah buah dari rencana Allah yang digenapi melalui sejarah yang panjang, melintasi konflik, penantian, dan kesetiaan. Kerajaan Allah tidak pernah dibangun secara instan; ia ditegakkan di atas dasar ketaatan, kesabaran, dan penghormatan terhadap cara kerja Allah yang sering kali tersembunyi namun pasti. Daud tidak merebut tahta dengan paksa, tidak memanipulasi keadaan demi ambisi pribadi. Justru sebaliknya, ia menanti, memberi ruang bagi Allah untuk bertindak, dan menolak jalan kekuasaan yang kotor. Dan ketika waktunya tiba, bukan Daud yang memaksa Israel, tetapi Israel yang datang kepadanya, memohon agar ia memerintah. Di sinilah kita belajar bahwa kepemimpinan sejati bukan sesuatu yang dikejar, tetapi sesuatu yang dipercayakan, lahir dari karakter, bukan dari perebutan; dari panggilan, bukan dari paksaan.

Hormat Saya

Tanda tangan penulis

Penulis dari Pinggiran

Catatan Kaki


  1.   Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 143.
  2.   Richard D. Nelson, First and Second Samuel (Louisville: John Knox Press, 1998), 12.
  3.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 7.
  4.   John H. Walton, Ancient Israelite Literature in Its Cultural Context (Grand Rapids: Zondervan, 1994), 211.
  5.   Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton, 1999), xxiii.
  6.   Baruch Halpern, David's Secret Demons: Messiah, Murderer, Traitor, King (Grand Rapids: Eerdmans, 2001), 45.
  7.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 95.
  8.   Richard D. Nelson, First and Second Samuel (Louisville: John Knox Press, 1998), 84.
  9.   John H. Walton, Ancient Israelite Literature in Its Cultural Context (Grand Rapids: Zondervan, 1994), 217.
  10.   Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton, 1999), 36.
  11.   Martin Noth, The Deuteronomistic History (Sheffield: JSOT Press, 1981), 32.
  12.   Richard D. Nelson, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1998), 12.
  13.   Walter Brueggemann, David’s Truth in Israel’s Imagination and Memory (Minneapolis: Fortress Press, 1985), 21–23.
  14.   Gordon J. Wenham, Exploring the Old Testament: The Histories (Nottingham: IVP Academic, 2008), 77.
  15.   Brevard S. Childs, Introduction to the Old Testament as Scripture (Philadelphia: Fortress Press, 1979), 263.
  16.   Ralph W. Klein, 1 Samuel, 2 Samuel (Nashville: Thomas Nelson, 2006), 18.
  17.   John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 563.
  18.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 213.
  19.   Robert Alter, The Art of Biblical Poetry (New York: Basic Books, 1985), 62.
  20.   Bill T. Arnold, 1 & 2 Samuel (Grand Rapids: Zondervan Academic, 2003), 287.
  21.   Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 225.
  22.   Richard D. Nelson, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1998), 102.
  23.   Brevard S. Childs, Introduction to the Old Testament as Scripture (Philadelphia: Fortress Press, 1979), 274.
  24.   P. Kyle McCarter Jr., II Samuel: A New Translation with Introduction, Notes and Commentary (New York: Doubleday, 1984), 81.
  25.   Robert P. Gordon, 1 & 2 Samuel (Grand Rapids: Zondervan, 1986), 229.
  26.   Walter Brueggemann, David's Truth: In Israel's Imagination and Memory (Minneapolis: Fortress Press, 1985), 44.
  27.   David Firth, 1 & 2 Samuel: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 296.
  28.   John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Life (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 423.
  29.   Gordon J. Wenham, “Leadership and Divine Justice in the Books of Samuel,” Journal for the Study of the Old Testament 45, no. 3 (2020): 347.

Post a Comment

0 Comments