property='og:image'/>

Dalam Sunyi Kami Berjaga

 Dalam Sunyi Kami Berjaga: Renungan tentang Kehilangan dan Kebersamaan

Di tengah gelap malam yang terasa semakin pekat, Kelurahan Lakahang memanggil kita untuk berjaga, bukan hanya di beranda rumah yang sepi, tapi juga di hati yang haus akan kepastian, solidaritas, dan harapan. Bukan hanya karena bayang-bayang ketakutan yang menjalar diam-diam di lorong-lorong sunyi, tetapi karena ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang diuji: kepercayaan, nilai kebersamaan, dan iman kita kepada Tuhan dan sesama.

"Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:41)

Ayat ini mengingatkan bahwa kewaspadaan bukan hanya tugas fisik, tapi juga spiritual. Di saat peristiwa pencurian mengguncang ketenangan, kemarahan dan kekecewaan terhadap pelaku begitu mudah membara. Namun Tuhan Yesus, dalam peringatan-Nya kepada para murid di Taman Getsemani, mengingatkan bahwa berjaga adalah bentuk disiplin rohani. Kita diajak untuk tidak kehilangan kendali hati di tengah pencobaan, untuk tidak membalas luka dengan luka, tetapi dengan doa dan pengampunan.

Kita bukan hanya menjaga rumah, kita sedang menjaga harapan.
Kehilangan materi bisa mengusik rasa aman, tetapi kehilangan rasa percaya jauh lebih merusak. Maka di sinilah panggilan iman itu menjadi nyata, dalam putaran ronda malam yang diam-diam menyatukan tangan-tangan warga, dalam tatapan yang saling menguatkan di balik senter yang menggoyang, dan dalam suara doa yang pelan namun teguh, mengalun dari rumah-rumah kecil di lereng pegunungan Mamasa.

Kita mulai menyadari, bahwa menjaga bukan sekadar soal menutup pintu lebih rapat atau menambahkan gembok baru, tetapi membuka diri untuk saling menyapa, saling memperhatikan, dan saling mendoakan. Terkadang, kehilangan membawa kita pada kesadaran akan hal-hal yang selama ini terabaikan, bahwa tetangga bukan sekadar orang yang tinggal di samping rumah, tapi bagian dari tulang rusuk sosial yang menopang kehidupan bersama.

Dan ketika malam semakin larut, kita tak lagi merasa sendiri.

Sebab dalam langkah-langkah yang berderap di jalanan sunyi, terdengar detak jantung satu kampung yang mulai berani bersatu kembali. Dalam secangkir kopi yang disuguhkan di pos ronda, ada kehangatan yang tak bisa dibeli di toko mana pun, sebuah kebersamaan yang tumbuh dari luka yang sama.

Mungkin kita tidak bisa menghindari semua kejahatan. Tapi kita bisa memilih untuk tidak dikalahkan oleh ketakutan. Kita bisa memilih untuk membangun peradaban kasih di tengah keterbatasan dan trauma. Dan di atas semua itu, kita bisa terus percaya bahwa Allah melihat, Allah mendengar, dan Allah tetap berjalan di tengah-tengah kita, meski dalam sunyi.

“Tuhan penjaga umat-Nya, Tuhan naunganmu di sebelah tangan kananmu.” (Mazmur 121:5)

Malam-malam ini adalah ladang ujian dan ladang penaburan. Maka mari kita berjaga, tidak hanya dengan mata yang terbuka, tapi juga dengan hati yang penuh belas kasih. Mari kita ubah sunyi menjadi suara kasih yang saling menguatkan, dan jadikan kehilangan ini sebagai pintu masuk bagi pengharapan baru.

Karena dalam sunyi kami berjaga, dalam doa kami bersatu, dan dalam kasih kami pulih.

Post a Comment

0 Comments