property='og:image'/>

Ketika Ibadah Berlangsung, Rumah Pedagang Kecil Dibobol: Cermin Rapuhnya Rasa Aman di Pedesaan

Lakahang, Tabulahan – Mamasa

Hari Minggu seharusnya menjadi waktu khusyuk bagi umat Kristen di pedalaman Mamasa untuk memuliakan Tuhan. Namun suasana teduh itu berubah menjadi kepanikan bagi seorang pedagang kecil di Kelurahan Lakahang. Rumahnya dibobol saat ia menghadiri ibadah, dan ia kehilangan uang tunai sebesar Rp19 juta serta cincin kawin senilai lebih dari Rp1 juta. Total kerugian mencapai Rp20 juta, jumlah besar bagi pelaku usaha kecil yang merintis segalanya dari titik nol.

Korban, yang selama ini berdagang secara mandiri, segera melaporkan kejadian tersebut ke Polsek setempat. Peristiwa ini mengguncang rasa aman warga kampung, yang selama ini merasa nyaman meninggalkan rumah saat ibadah sebagai bentuk kesalehan dan kepercayaan kolektif.

Rangkaian Pencurian yang Mengusik Ketenteraman

Pencurian di Lakahang bukanlah kasus tunggal. Beberapa hari sebelumnya, sebuah rumah di kampung sebelah juga dibobol saat pemiliknya sedang menjaga suaminya yang sakit di rumah sakit Mamuju. Meski belum diketahui bentuk kehilangan secara pasti, garis polisi sudah membentang di pintu rumah, menjadi saksi bisu dari trauma yang belum sempat diproses.

Keesokan harinya, giliran warung milik warga kampung lain yang dibobol. Saat pemiliknya semalaman berdagang di acara pernikahan, pencuri menyelinap masuk, memanfaatkan waktu dan celah keamanan yang tak terjaga. Rentetan pencurian ini membuat kampung-kampung di Mamasa terasa tak lagi seperti dulu, ramah, tenteram, dan penuh saling percaya.

Ketika Rasa Aman Menjadi Perbincangan Publik

Yang lebih mencengangkan, pembicaraan soal pencurian ini menyebar cepat di seluruh penjuru kampung. Tak hanya dibahas di pasar dan warung kopi, bahkan di rumah duka pun, tempat seharusnya jemaat saling menguatkan dan berbagi belasungkawa, isu keamanan menjadi topik utama.

Situasi ini menunjukkan betapa dalamnya luka sosial yang ditimbulkan. Peristiwa pencurian bukan hanya merenggut harta, tapi juga menggoyang rasa percaya yang selama ini menjadi fondasi hidup bersama.

Luka Ekonomi dan Sosial yang Tak Terlihat

Rp20 juta bukan sekadar angka. Itu bisa berarti modal dagang, biaya sekolah anak, atau simpanan darurat bagi keluarga kecil di pelosok. Kehilangan ini dapat langsung mengguncang stabilitas ekonomi keluarga, menghentikan roda usaha, dan menggerus harapan yang dibangun perlahan.

Demikian pula warung yang dibobol, usaha mandiri yang rentan saat ditinggal sejenak demi mencari penghasilan di tempat lain. Kejadian ini menunjukkan bahwa masyarakat desa butuh sistem perlindungan yang tangguh, bukan hanya doa dan harapan.

Refleksi Iman di Tengah Kehidupan Nyata

Peristiwa ini melahirkan pertanyaan reflektif yang menggugah:
“Di mana Tuhan saat umat-Nya beribadah dan rumah mereka dijarah?”

Alkitab memberi pengingat dalam:
📖 1 Petrus 5:8
"Berjaga-jagalah dan waspadalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling seperti singa yang mengaum dan mencari orang yang dapat ditelannya."

Iman bukan hanya soal percaya, tapi juga tanggung jawab berjaga. Gereja dan warga kampung perlu memperkuat sistem keamanan, membentuk tim ronda, jaringan informasi, dan bangkitkan kembali semangat gotong royong yang mulai redup.

Kesadaran Baru, Harapan Baru

Ini waktunya bangkit. Bukan dengan saling curiga, tetapi dengan rasa peduli. Perlindungan sosial tak harus dibangun dengan pagar tinggi, tapi bisa dirajut lewat keterlibatan aktif warga, aparat, dan lembaga keagamaan.

Iman dan tindakan nyata harus berjalan seiring. Dalam dunia yang terus berubah, kita tidak hanya berserah kepada Tuhan, tetapi juga menjaga satu sama lain.

Penutup
Pencurian yang terjadi di saat ibadah dan setelahnya menjadi cermin bahwa rasa aman tidak bisa dianggap remeh. Ini adalah alarm sosial, bahwa kepercayaan yang dulu kuat kini mulai retak. Namun dari retakan itu, bisa tumbuh kesadaran baru, bahwa menjaga adalah bagian dari memuliakan Tuhan dan mengasihi sesama.

Post a Comment

0 Comments