property='og:image'/>

Lakahang Hari Ini

Lakahang Hari Ini: Ketika Jalan Poros Menjadi Sungai

Hujan bukan hal baru bagi Mamasa, terlebih bagi Kelurahan Lakahang, Kecamatan Tabulahan. Tapi hujan yang turun hari ini tak sekadar membasahi tanah. Ia menyibak kelalaian yang tersembunyi di balik jalanan mulus yang selama ini dibanggakan.

Jalan poros kabupaten yang membentang dari Mamuju menuju Mamasa, lalu terus ke perbatasan Tanah Toraja dan wilayah Polman, kini berwajah ganda: indah di musim kering, tapi lumpuh di musim hujan. Beton yang rapi dan rata itu, ternyata tak memberi ruang bagi air untuk mengalir. Tak ada parit. Tak ada drainase. Bahkan kemiringan pun tak dirancang untuk mengantar air ke hilir.

Air tak tahu ke mana harus pergi, jadi ia diam. Ia genang. Ia bertahan di tengah jalan, mengubah poros kehidupan menjadi selokan besar. Bukan karena curah hujan luar biasa, tapi karena pembangunan yang abai terhadap hal paling mendasar: air butuh jalan.

Lucunya, jalan ini bukan jalur terpencil. Mobil pelat merah lewat hampir tiap hari. Kadang beriringan dalam konvoi panjang, kadang melaju cepat tanpa ampun. Tapi dari balik kaca gelap itu, tak ada yang menoleh dan bertanya:
"Mengapa air ini diam di sini? Bukankah kita sudah mengaspal dengan rapi?"

Sementara warga hanya bisa menatap. Ibu-ibu menutup pintu warung lebih awal karena air mulai masuk teras. Para petani kesulitan membawa hasil panen karena jalan tak bisa dilewati motor. Pedagang kecil kehilangan pelanggan karena genangan membuat pembeli enggan datang. Ekonomi desa mandek oleh air yang tak seharusnya tinggal.

Anak-anak tetap berangkat ke sekolah. Beberapa berjalan kaki menyusuri genangan dengan sepatu basah dan seragam kotor. Ada yang menumpang motor tua milik tetangga, tanpa jas hujan, hanya plastik kresek menutupi tas. Mereka tak mengeluh, hanya berjalan, karena mereka tahu, pendidikan tak bisa ditunda meski hujan menunda segalanya.

Para pemuda Lakahang mulai bersuara. Mereka merekam video, memotret genangan, dan membagikannya di media sosial. Bukan untuk mengeluh, tapi agar suara dari pedalaman terdengar hingga ke ruang-ruang berpendingin udara di kabupaten dan provinsi.

Dulu, orang tua kami menggali parit dari bambu, menyusuri lereng dan bukit. Mereka paham tanah, tahu arah angin, dan menghormati aliran air. Kini, parit-parit itu tertutup beton. Kearifan lokal ditinggalkan, diganti modernisasi setengah jadi yang membanggakan tampilan tapi lupa fungsi.

Hari ini, genangan di Lakahang adalah cermin. Cermin dari pembangunan yang menukar makna dengan citra. Jalan yang seharusnya menjadi penggerak ekonomi, penyambung pendidikan, dan pembuka akses budaya, kini berubah menjadi hambatan yang diam. Jalan ini tidak rusak, tapi lumpuh oleh kelalaian sistemik.

Sudah waktunya para pengambil keputusan menanggalkan jabatan sejenak dan melangkah di jalan ini saat hujan turun. Rasakan bagaimana genangan menghalangi langkah. Dengarkan suara warga yang tidak menuntut banyak, hanya meminta air diberi jalan. Hanya meminta pembangunan berdasar kebutuhan, bukan pencitraan.

“Biarlah keadilan bergulung seperti air, dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.”

(Amos 5:24)

Ayat dari nabi Amos ini bukan sekadar kutipan. Ia adalah panggilan. Agar pembangunan dibasahi keadilan, bukan tenggelam dalam genangan. Agar jalan yang sudah mulus, tidak lagi menjadi sungai karena hal yang seharusnya sederhana: parit.

  

Post a Comment

0 Comments