property='og:image'/>

Di Antara Warung Kosong dan Masa Depan yang Kosong

 Di Antara Warung Kosong dan Masa Depan yang Kosong

Kelurahan Lakahang di malam hari tak pernah benar-benar tidur. Di antara dinginnya kabut dan nyanyian jangkrik dari semak-semak yang belum tersentuh beton, ada satu titik terang yang justru menjadi pusat kegelisahan: sebuah ruko kosong di pinggir jalan utama, warisan dari masa ketika ekonomi desa pernah mencoba bangkit. Kini, ruko itu hanyalah saksi bisu dari waktu yang terhenti.

Setiap malam, anak-anak muda berkumpul di sana. Mereka datang dari berbagai arah, anak-anak kelas 9 SMP, juga siswa-siswi SMA dan SMK kelas 10 dan 11. Mereka bukan orang asing. Mereka adalah anak-anak kita sendiri, anak-anak Lakahang. Kadang datang berdua, kadang bergerombol, kadang pula terlihat cewek-cewek seusia mereka, mungkin teman sekolah, mungkin tetangga.

Awalnya, mungkin hanya untuk nongkrong. Duduk bercanda. Merokok sembunyi-sembunyi. Menertawakan hal kecil di udara malam yang dingin. Tapi lama-lama, malam itu seperti memberi celah kebebasan yang salah: tidak ada orang tua yang tahu, tidak ada guru yang melihat, dan yang lebih menyedihkan, tidak ada masa depan yang sedang mereka pikirkan.

Sebuah warung kosong di samping ruko menjadi tempat favorit mereka. Gemboknya sudah rusak, entah oleh siapa yang telah membobolnya. Tapi mereka tahu, malam-malam mereka kini tak lagi di bawah langit terbuka, melainkan di balik ruang tertutup yang tersembunyi dari pandangan siapa pun. Dan dari sanalah kekacauan yang tak terlihat mulai tumbuh.

Sebagai penulis yang rutin olahraga pagi pukul 05:20, saya pernah melihat sesuatu yang membuat hati saya miris. Dua atau tiga pasang anak muda keluar dari warung itu. Pakaian mereka kusut, langkah mereka lemas, mata mereka berat oleh malam yang terlalu panjang. Tidakkah mereka menginap di sana? Apakah kamar itu hanya tempat beristirahat, atau tempat untuk melakukan hal yang lebih merusak dari sekadar lelah?

Saya memberanikan diri melihat ke dalam. Yang saya dapati membuat saya lebih heran, kamar itu bersih. Ada springbed di dalamnya. Kamar sebelahnya juga bersih, meskipun hanya beralas tikar. Tidak ada sarang laba-laba seperti layaknya bangunan kosong. Dan yang paling mengganggu, aroma parfum cewek masih terasa segar. Saya bergidik. Mungkinkah warung kosong ini sudah menjadi “rumah sementara”? Tempat istirahat? Atau tempat kehancuran perlahan bagi anak-anak ini?

Refleksi: Warung Kosong, Jiwa yang Kosong

Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan anak-anak muda kita?

Mungkin mereka hanya ingin bebas dari tekanan rumah, dari aturan sekolah, atau dari hidup yang terasa berat. Tapi mungkin juga mereka sedang kehilangan arah, karena kita, orang tua, guru, tokoh agama, dan masyarakat, terlalu sibuk dengan urusan kita sendiri.

Warung kosong itu bukan sekadar bangunan tak terpakai. Ia kini seperti cermin dari kekosongan visi hidup anak-anak kita. Ketika tempat terlantar menjadi tempat nyaman, dan kamar yang harum menjadi ruang pelarian, kita sedang menyaksikan bukan hanya kenakalan remaja, tapi kegagalan bersama.

Generasi ini tidak haus hiburan, mereka haus kehadiran. Mereka butuh kasih sayang yang tegas, dan bimbingan yang konsisten. Tapi sayangnya, lebih mudah bagi mereka menemukan ruang kosong daripada menemukan hati yang terbuka untuk mendampingi mereka.

Pesan untuk Lakahang: Bangkitlah, Jaga Anak-anakmu

Lakahang bukan hanya kumpulan rumah dan kebun. Ia adalah tanah tempat masa depan sedang dibentuk, entah menuju harapan, atau menuju kehancuran diam-diam. Bila kita biarkan semua ini tanpa respon, maka warung-warung kosong dan rumah-rumah tak berpenghuni akan menjadi rahim bagi kesesatan berikutnya.

Untuk adik-adik muda yang membaca ini:
Malam yang kamu nikmati hari ini bisa menjadi penyesalan besok. Tidak semua kesenangan itu membawa kebaikan. Jaga dirimu. Jaga kehormatanmu. Dan ingat: dunia mungkin tidak peduli padamu, tapi keluargamu menangis diam-diam ketika kamu tersesat.

Untuk kami orang dewasa:
Kini saatnya lebih dari sekadar marah. Saatnya hadir.
Mungkin bukan dengan ceramah, tapi dengan waktu.
Bukan dengan ancaman, tapi dengan telinga dan hati.

Firman Tuhan: Terang yang Membuka Jalan

“Bangunlah, hai kamu yang tidur, dan bangkitlah dari antara orang mati, dan Kristus akan bercahaya atas kamu.” (Efesus 5:14, TB)

Firman ini bukan hanya ditujukan untuk mereka yang “jatuh” secara rohani. Tapi juga untuk kita semua, yang terlalu lama tidur dalam kenyamanan dan tidak peka terhadap apa yang terjadi di sekitar.
Kristus bersinar bukan hanya untuk menghakimi, tapi untuk membimbing keluar dari gelap menuju terang.

Catatan Penulis dari Pinggiran

Saya hanyalah penulis dari pinggiran.
Tapi saya tidak mau diam ketika masa depan kampung ini sedang hancur dalam diam.
Tulisan ini adalah bentuk kasih. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengingatkan.

Kalau kita semua saling jaga,
warung kosong itu tidak akan lagi jadi tempat pelarian,
tapi bisa menjadi bukti bahwa kita peduli, bahwa pinggiran ini masih punya harapan.

Post a Comment

0 Comments