property='og:image'/>

Ibadah Sabtu Malam di Tatondong Ministry

Ibadah Sabtu Malam di Tatondong Ministry: Ketika Kasih Tuhan Lebih Nyata dari Jumlah Hadirin

Sabtu Malam itu, langit di atas Lingkungan Purroma Utama tampak lebih teduh dari biasanya. Angin malam berembus lembut, membawa kesejukan yang perlahan meresap hingga ke relung hati setiap jiwa yang datang mencari perhentian dalam hadirat Tuhan. Di sepanjang jalan poros Lakahang–Mamasa, tepatnya di sebuah penginapan sederhana bernama Tatondong, Persekutuan Tatondong Ministry kembali menggelar ibadah Sabtu malam, ibadah yang tak dihadiri banyak orang, namun sarat dengan keheningan suci dan limpahan kasih Tuhan. Meski sunyi secara jumlah, suasana rohani begitu hidup, karena di tempat itulah kasih dan firman bersentuhan dengan hati yang lapar akan kebenaran.

"Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Matius 18:20)

Firman Tuhan malam itu diambil dari Markus 7:24–30, kisah tentang perempuan Siro-Fenesia yang dengan rendah hati memohon belas kasih Yesus demi kesembuhan anaknya. Sebuah perikop yang menggugah, tentang iman yang tidak menyerah, tentang belas kasihan yang melampaui batas etnis, dan tentang jawaban Allah yang datang kepada mereka yang sungguh-sungguh berharap.

Dalam suasana yang khusyuk dan tenang, firman itu mengalir seperti embun pagi yang menyegarkan tanah kering. Pemimpin pujian, dengan suara lembut dan penuh urapan, melantunkan lagu-lagu penyembahan yang menyentuh hati, mengantar setiap hadirin masuk lebih dalam ke hadirat Tuhan.

Tak ada sorotan lampu yang gemerlap, tak ada peralatan musik canggih, hanya suara pujian yang sederhana, doa-doa yang lirih, dan kerinduan yang nyata akan kehadiran Allah. Kami yang hadir, meski tak banyak, kami disatukan dalam satu roh: satu kerinduan, satu pengharapan, dan satu kesatuan hati menanti lawatan Tuhan yang menghidupkan kembali jiwa kami.

Namun yang membuat malam itu benar-benar istimewa bukan hanya ibadahnya, tapi juga kebersamaan setelahnya. Kami tidak langsung pulang. Sebaliknya, kami duduk melingkar, bercengkerama dalam suasana hangat dan penuh kasih. Anak-anak muda yang menjadi pengurus persekutuan dengan sukacita menyediakan hidangan sederhana: kue-kue buatan tangan, gorengan hangat, serta teh dan kopi yang mengepul dalam cangkir-cangkir seadanya. Hidangan itu mungkin jauh dari mewah, tapi disajikan dengan cinta yang tulus, menjadikannya terasa lebih istimewa dari jamuan pesta.

Malam itu, kami pulang dengan hati yang penuh. Bukan karena perut yang kenyang, tetapi karena jiwa yang disegarkan. Tuhan hadir bukan dalam keramaian, melainkan dalam kesungguhan hati. Ia tidak hanya menyentuh yang kuat, tetapi juga memeluk yang letih, mengangkat yang hampir putus asa. Dan di Tatondong Ministry malam itu, kami benar-benar merasakannya, bahwa kasih Tuhan nyata, bahkan dalam ibadah yang sederhana.

Post a Comment

0 Comments