
Menjadi Komunitas yang Menyembuhkan – Langkah Nyata Menuju Pemulihan Gereja
“Ia
menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka.” (Mazmur 147:3)
Setelah menyadari
luka moral yang telah lama merongrong tubuh Kristus dalam gereja lokal, kita
tidak boleh berhenti pada kesedihan. Kita perlu bergerak menuju pemulihan.
Pemulihan sejati bukan hanya tanggung jawab individu yang jatuh dalam dosa,
tetapi panggilan bersama sebagai komunitas tubuh Kristus. Pemulihan dimulai
bukan dari rasa malu, tetapi dari kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita
telah gagal menjaga kekudusan. Terlalu lama kita diam. Terlalu lama kita
menoleransi dosa, bukan karena tidak tahu, melainkan karena takut kehilangan
rasa nyaman.
Langkah pertama
adalah membangun budaya terang dan kejujuran. Seperti yang tertulis dalam
Efesus 5:13, “segala sesuatu yang ditelanjangi oleh terang menjadi nyata”. Gereja yang hidup
dalam terang adalah gereja yang aman untuk pengakuan dan pemulihan. Bukan ruang
penghakiman, tetapi juga bukan tempat pembiaran. Budaya ini hanya dapat
dibangun jika ada keberanian untuk menegur dalam kasih, menyediakan ruang
konseling, melatih para majelis untuk peka secara rohani, dan menghapus budaya
“asal rukun” yang menutup-nutupi luka.

Selanjutnya, kita
perlu memperkuat disiplin gerejawi sebagai bentuk kasih, bukan sanksi sosial.
Sayangnya, di banyak gereja, disiplin hanya berarti diumumkan di mimbar lalu
ditinggalkan begitu saja. Pemulihan sejati justru dimulai setelah disiplin itu
ditegakkan, melalui pendampingan rohani, pembentukan tim konseling internal,
pelibatan aktif Badan Pekerja Majelis Klasis (BPMK), serta pendidikan kepada
jemaat bahwa tujuan disiplin adalah membawa kembali, bukan mempermalukan.
Gereja juga harus merancang pola pemuridan
yang kontekstual dan menyentuh realitas sehari-hari. Pemuridan sejati bukan
hanya hafalan ayat atau teori rohani, tetapi bimbingan hidup yang nyata, dalam
menghadapi godaan seksual, krisis pernikahan, konflik rumah tangga, dan
penyalahgunaan kuasa rohani. Karena itu, gereja perlu membuka kelas pembinaan
keluarga, retret rohani bagi pelayan, forum evaluasi pelayanan, serta pelatihan
kepemimpinan yang berakar pada integritas spiritual, bukan hanya administratif.
Yang tidak kalah
penting, gereja perlu menjadi tempat yang aman bagi mereka yang jatuh tetapi
ingin bangkit. Seperti Kristus datang untuk memanggil orang berdosa, bukan
orang benar (Lukas 5:32), gereja harus menyediakan ruang yang penuh kasih
untuk pengakuan dan pertobatan. Gereja tidak boleh terburu-buru memulihkan
jabatan sebelum hati dan kehidupan benar-benar dipulihkan. Di sinilah
pentingnya membangun kultur penggembalaan yang aktif, teratur, dan menyentuh
hati, bukan sekadar membacakan pengumuman dari mimbar.

Sebagai penutup,
mari kita sadari bahwa gereja yang menyembuhkan bukanlah gereja yang selalu
terlihat tenang di permukaan. Kadang, gereja harus berani mengguncang
kenyamanan demi membersihkan luka yang dalam. Namun semua itu dilakukan dalam
roh kasih, bukan kemarahan; dalam kebenaran, bukan penghakiman. Sebab, seperti
firman Tuhan dalam Wahyu 3:19, “Barangsiapa yang Kukasihi, ia Kutegor dan
Kuhajar.” Maka, relakanlah hatimu, dan marilah kita semua bertobat dan
pulih bersama-sama.
0 Comments