property='og:image'/>

Iman yang Sama, Jalan yang Berbeda


Iman yang Sama, Jalan yang Berbeda: Sebuah Renungan dari Pinggiran Mamasa

“Satu Tuhan, satu iman, satu baptisan.”

( Efesus 4:5)

Di pelosok Kecamatan Tabulahan, di sebuah kelurahan bernama Lakahang,  tempat yang oleh banyak orang disebut negeri seribu bambu , kehidupan sehari-hari tidak hanya soal bertani, menjual di warung, atau menjemur hasil kebun. Dibalik kemudahan hidup sebagian besar masyarakatnya, tersimpan keyakinan yang sama: iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Namun yang menarik, cara orang-orang Lakahang menghidupi iman itu berbeda-beda,  seperti aliran sungai kecil yang semuanya menuju lautan kasih Tuhan, namun lewat lekuk jalan yang tidak selalu sama.

Iman yang Sama, Wajah yang Berbeda

Iman bukan sekedar dimiliki, tapi dijalani. Seorang petani di Kampung sebelah yang membangun Subuh, menabur benih dengan doa dan mengandalkan cuaca, sedang menjalani imannya dalam kesunyian di kebun kakao mereka. Pada saat yang sama, seorang guru terkemuka yang berjalan melewati jembatan bambu untuk mengajar anak-anak SD di kaki gunung, juga sedang menerapkan imannya. Dan di rumah adat, seorang kakek tua yang tak bisa lagi ke gereja tapi setia berdoa bagi generasi muda,  ia pun sedang menyebarkan imannya dengan caranya sendiri.


Inilah yang dimaksud oleh Rasul Paulus:

“Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh... tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang.”
( 1 Korintus 12:4–6 )

Refleksi dari Bumi Tabulahan

Kita boleh memiliki satu iman, satu Tuhan yang kita sembah, tetapi tidak semua kita dipanggil melakukan hal yang sama. Budaya dan adat istiadat lokal yang dulu menjadi jantung komunitas kini mulai tergerus zaman. Sebagian orang memilih mempertahankan tradisi sebagai wujud kesetiaan terhadap identitas mereka. Di sana, iman diwujudkan melalui upaya menjaga warisan leluhur sebagai bentuk rasa hormat kepada ciptaan Tuhan. Sementara itu, seorang anak muda dari Lakahang menghadapi perjuangan berat demi menyelesaikan sekolah di kota. Ia berasal dari kampung yang tidak hanya kekurangan fasilitas, tetapi juga harus berhadapan dengan sinyal internet yang lemah dan biaya kuota yang tidak murah. Namun, imannya bukan sekadar hadir di gereja, melainkan ketekunan dalam belajar meski terbentur keterbatasan teknologi. Ia percaya, dalam itulah tantangan Tuhan sedang merencanakan rencana yang lebih besar.

Ekonomi Desa: Ladang Iman yang Realistis

Iman juga tumbuh dari keringat para mama-mama di Lakahang yang memotong-motong batang nilam, bersiap menyulingnya demi penghidupan. Sebagian lagi mengemas biji kakao yang sudah dua hari dijemur, berharap harga lebih baik di pasar Lakahang . Mereka mungkin tidak cepat mengutip ayat suci, tapi setiap tetes usaha mereka adalah doa yang hidup. Tuhan tidak hanya hadir di altar gereja, tapi juga di tungku penyulingan, di tangan yang mengemas hasil bumi, dan di langkah-langkah kecil menuju pasar yang penuh harap an . Seperti yang dikatakan Yakobus:

“Iman tanpa perbuatan adalah mati.”
( Yakobus 2:17 )

Oleh karena itu, meskipun iman kita satu, penerapannya sangat bergantung pada konteks kehidupan kita. Di pedalaman Mamasa, iman bukan hanya soal teologi, tapi tentang bagaimana tetap berdiri saat hidup berat, tetap memberi saat kekurangan, dan tetap percaya saat masa depan tampak gelap.

Jangan Bandingkan, Tapi Lihat dalam Kasih

Kadang-kadang kita teringat: kenapa si A lebih aktif di gereja, sedangkan si B lebih sibuk di ladang? Tapi tenang, yang satu ini tidak lebih spiritual dari yang lain . Selama mereka menghidupi imannya dalam kesetiaan, kasih, dan tanggung jawab,  Tuhan dipermuliakan.

Karena iman bukanlah seragam yang harus sama, tapi benih yang tumbuh di tanah hati masing-masing. Dan Tuhan tahu cara setiap orang percaya membalas kasih-Nya, meski lewat jalan yang berbeda.


Ajakan untuk Pembaca Blog Tande Allo 766:

Mari kita saling menguatkan, bukan saling menghakimi. Di Lakahang, Kecamatan Tabulahan, atau di mana pun kita berada, biarlah kita hidup dalam iman yang sejati,  yang tidak hanya kita ucapkan, tetapi kita jalani. Karena iman yang sejati akan tampak, bukan dari seberapa sering kita berbicara tentang Tuhan, namun dari seberapa dalam kita mengandalkan-Nya dalam hidup kita yang nyata.

“Sebab kita hidup karena iman, bukan karena penglihatan.”  ( 2 Korintus 5:7)

Post a Comment

0 Comments