property='og:image'/>

Membaca Daniel dari Pedalaman

Membaca Daniel dari Pedalaman: Hikmat, Iman, dan Mimpi di Tengah Dunia yang Keras

Di pedalaman, kami belajar banyak dari alam, dari tanah yang gersang, dari langit yang kadang tak memberi hujan. Tapi dari semua itu, yang paling penting adalah kami belajar mendengar suara Tuhan, baik dalam keheningan malam, maupun dalam mimpi yang diam-diam mengusik jiwa. Karena itu, ketika saya membaca kisah-kisah Daniel, terutama pasal 2, 4, dan 5, saya merasa seperti sedang bercermin.

Daniel bukan hanya tokoh sejarah. Ia adalah gambaran seorang yang hidup di tempat asing, dikelilingi oleh kekuasaan duniawi, namun tetap setia pada Allah yang hidup. Bersama teman-temannya, Daniel berada di istana kafir, namun bukan untuk tunduk, melainkan untuk membawa terang hikmat dari Allah.

Yang menarik, ternyata kisah-kisah Daniel ini memiliki akar yang dalam dalam tradisi iman Israel sendiri. Para sarjana Alkitab sudah sejak lama mencatat bahwa Daniel pasal 2, 4, dan 5 memiliki pola yang hampir sama dengan kisah Yusuf dalam Kejadian 41: seorang raja mendapat mimpi, para bijak istana gagal menafsirkan, lalu seorang hamba Tuhan tampil dan, dengan bantuan Allah, memberikan tafsiran yang benar. Dan seperti Yusuf, Daniel pun diangkat ke posisi terhormat.

Hikmat Sejati Bukan dari Dunia

Namun ada satu pelajaran rohani yang sangat penting di balik kemiripan struktur kisah ini: baik Yusuf maupun Daniel tidak mengandalkan hikmat manusia, tetapi menyatakan bahwa hikmat sejati hanya datang dari Tuhan.

Ketika Daniel menafsirkan mimpi raja, ia berkata:

“Tetapi ada Allah di sorga yang menyingkapkan rahasia-rahasia...” (Daniel 2:28). Dan Yusuf pun, ketika diminta menafsirkan mimpi oleh Firaun, menjawab, “Bukan aku, melainkan Allah yang akan memberikan jawab...”
(Kejadian 41:16).

Inilah suara hati orang percaya: kita tidak membanggakan kemampuan sendiri, tetapi bersandar kepada penyataan Allah.

Refleksi Iman dari Pedalaman

Di tempat kami yang jauh dari hiruk-pikuk kota, kami hidup sederhana, tapi kami percaya Allah tetap berbicara. Kadang lewat mimpi, kadang lewat suara hati, dan seringkali lewat firman yang kami baca dalam terang lilin malam hari.

Dan seperti raja Nebukadnezar yang gelisah karena mimpi, banyak dari kita juga gelisah akan masa depan. Apa yang akan terjadi dengan ladang kami? Anak-anak kami? Apakah penguasa akan berlaku adil? Apakah hidup ini akan berubah?

Namun kisah Daniel mengajarkan: Tuhan masih menguasai sejarah. Ia yang menyatakan mimpi kepada Nebukadnezar dan menyingkapkannya melalui Daniel, adalah Tuhan yang sama yang menjaga kami di lembah dan bukit pedalaman.

Dari Syam ke Lakahang: Nama yang Mengandung Makna

Menarik bahwa nama "Daniel" sendiri kemungkinan berasal dari tokoh bijak non-Israel dari wilayah Sirofenisia bernama Dn’il, yang dikenal dalam tradisi Kanaan. Ia bukan nabi, tetapi dikenal karena keahlian hikmat dan sihir. Dalam perkembangan iman Israel, tokoh ini 'dijinakkan' menjadi gambaran seorang hamba Tuhan sejati.

Bukankah ini pelajaran indah? Tuhan sanggup menebus, memurnikan, dan memakai siapa saja, bahkan dari akar yang dianggap 'asing'. Dalam hidup kita pun, Tuhan bisa mengubah latar belakang yang biasa menjadi alat kemuliaan-Nya.

Kesimpulan Spiritual: Iman di Tengah Ketidakpastian

Sebagaimana Daniel di istana Babel, kita pun hidup di dunia yang sering kali tidak ramah terhadap iman. Namun seperti dia, kita dipanggil untuk tetap teguh, tidak mengandalkan hikmat dunia, tetapi mencari penyataan Tuhan, dalam doa, dalam firman, dalam kesetiaan.

Hidup di pedalaman bukan berarti jauh dari rencana Tuhan. Justru di tempat-tempat seperti inilah, iman diuji dan dimurnikan. Daniel tidak akan menjadi Daniel jika ia tinggal nyaman di rumah. Ia menjadi Daniel karena ia berani memegang imannya dalam dunia yang menolaknya.

“Tetapi barangsiapa percaya kepada Allah, akan menerima hikmat dari atas.”
(Yakobus 1:5, parafrase)

Post a Comment

0 Comments