property='og:image'/>

Mengenal Yesus yang Sejati

Mengenal Yesus yang Sejati: Dari Doktrin Dua Kodrat hingga Iman yang Mengakar di Pedalaman

Hidup di pedalaman seperti di Lakahang, Tabulahan, Mamasa, di mana alam berbicara lebih nyaring dari pada teknologi, membuat kita terbiasa melihat hidup dari sisi yang dalam dan spiritual. Setiap embun pagi, langkah ke ladang, atau doa yang dinaikkan di bawah pohon kopi adalah bagian dari perjalanan iman yang sederhana namun bermakna. Dalam keseharian seperti inilah, pertanyaan mendalam sering muncul: Siapakah Yesus itu sebenarnya? Allah atau manusia? Atau keduanya?

Pertanyaan ini bukan hanya pertanyaan teolog besar dari Barat. Ini juga pertanyaan rohani yang menyentuh hati kita yang percaya. Dan sejarah gereja pun telah mencoba menjawabnya selama berabad-abad.

Dua Kodrat dalam Satu Pribadi: Ajaran Kuno yang Masih Hidup

Gereja sejak abad-abad awal percaya bahwa Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati. Ajaran ini ditegaskan dalam Konsili Khalsedon pada tahun 451 M: bahwa dalam diri Kristus ada dua kodrat, ilahi dan manusiawi, yang bersatu dalam satu pribadi, tanpa tercampur, tanpa berubah, dan tanpa terpisah.

Gereja Roma dan gereja-gereja Reformasi, seperti Lutheran dan Reformed, tetap mengakui ajaran ini. Namun mereka menafsirkan lebih lanjut dengan cara yang berbeda. Lutheran, misalnya, percaya bahwa kemanusiaan Yesus menerima atribut keilahian seperti kemahakuasaan dan kemahahadiran. Sebaliknya, Reformed menegaskan bahwa semua sifat dari kedua kodrat boleh dinisbatkan pada pribadi Kristus, tapi tanpa mencampuradukkan keduanya. Ia bisa dikatakan mahatahu, tapi juga mengalami keterbatasan sebagai manusia, seperti ketika lapar, lelah, atau menangis.

Dari Teologi ke Sejarah: Ketika Manusia Mencoba Mengukur Allah

Memasuki abad ke-19, banyak teolog mulai beralih dari pendekatan iman kepada pendekatan sejarah. Mereka tidak lagi melihat Yesus sebagai Allah yang menjelma, tetapi sebagai manusia luar biasa yang punya kesadaran ilahi. Tokoh seperti Schleiermacher dan Hegel mencoba menjelaskan Kristus sebagai manusia yang paling sadar akan Tuhan. Sementara Ritschl malah menolak kelahiran perawan dan keilahian Yesus, dan hanya mengakui-Nya sebagai guru agung yang berhasil membentuk komunitas kasih.

Sayangnya, pandangan ini secara perlahan menyingkirkan unsur supranatural dalam iman Kristen. Yesus bukan lagi dilihat sebagai Juruselamat ilahi, tetapi hanya sebagai tokoh inspiratif. Dan ini menjadi pukulan besar bagi iman Gereja.

Kenosis: Ketika Allah Merendahkan Diri

Ada juga teolog yang mencoba menjelaskan misteri inkarnasi lewat teori kenosis, yaitu pengosongan diri Kristus (Filipi 2:7). Mereka berkata bahwa Sang Firman merendahkan diri-Nya dan benar-benar menjadi manusia, bahkan sampai seolah-olah “berhenti” menjadi Allah. Namun pandangan ini berbahaya, karena mengaburkan batas antara Pencipta dan ciptaan.

Seorang teolog bernama Dorner menawarkan alternatif: bahwa inkarnasi terjadi secara progresif. Artinya, kemanusiaan Yesus perlahan-lahan menjadi semakin terbuka menerima keilahian sampai akhirnya sempurna setelah kebangkitan. Tetapi pandangan ini juga rentan membuat Yesus seolah-olah dua pribadi yang berjalan berdampingan.

Refleksi Iman dari Lembah Mamasa: Tuhan yang Turun Menjadi Sama dengan Kita

Di tengah semua perdebatan itu, satu hal menjadi sangat penting bagi kita yang hidup di daerah seperti Mamasa: Yesus adalah Allah yang mau datang dan tinggal bersama kita, bukan hanya sebagai guru, tetapi sebagai Juruselamat yang mengerti derita, lapar, dingin, dan kesepian.

Bagi orang yang hidup dengan ladang dan keringat, Yesus bukan konsep, tapi sahabat. Bagi ibu-ibu yang mendoakan anaknya di bukit, Yesus adalah Penghibur. Bagi pemuda yang harus berjalan puluhan kilometer demi pendidikan, Yesus adalah Penopang yang tahu apa artinya hidup dalam keterbatasan.

Maka, ajaran dua kodrat Yesus, ilahi dan manusia, bukan sekadar doktrin kuno. Itu adalah kabar baik bahwa Allah tidak hanya duduk di surga, tapi juga berjalan di jalanan kampung kita.

Menolak Kristus Ilahi, Menghancurkan Dasar Iman

Banyak teologi modern, yang lebih suka mengatakan bahwa semua orang adalah “anak Allah” dalam arti ilahi, telah kehilangan inti Injil. Jika Yesus hanyalah manusia hebat seperti guru-guru moral lainnya, lalu di mana letak penebusan? Siapa yang sanggup menghapus dosa?

Di sinilah para teolog seperti Karl Barth dan kawan-kawannya bersuara keras, mengingatkan bahwa Yesus bukan sekadar manusia religius, tapi Allah yang menjelma menjadi manusia, satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita dari kuasa dosa dan maut.

Penutup: Iman yang Bertumbuh dari Tanah yang Dalam

Orang Mamasa tidak asing dengan pergumulan. Tanah tidak selalu subur. Jalan tidak selalu mudah. Tapi di tengah keterbatasan itu, kita tahu: iman kita bukan dibangun atas tradisi kosong, melainkan atas Yesus yang sejati, Allah yang menjadi manusia.

Biarlah gereja-gereja di Lakahang, dan semua rumah yang menyebut nama Tuhan, terus menjaga iman yang murni. Bukan iman yang ikut arus dunia, tapi yang tetap berpegang pada Injil yang menghidupkan: bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat, Allah sejati dan manusia sejati.

“Sebab kamu mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.”
(2 Korintus 8:9)  

Post a Comment

0 Comments