property='og:image'/>

Terlena dalam Penantian

Terlena dalam Penantian: Refleksi atas Realitas Tenaga Honorer di Tanah Pegunungan

Di sebuah kabupaten yang dikenal dengan keelokan pegunungannya dan kedalaman nilai budayanya, tersembunyi sebuah kenyataan sosial yang menarik untuk direnungkan. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang mengakar di kalangan tenaga honorer, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. Banyak dari mereka yang telah bertahun-tahun mengabdi di sekolah dasar, menengah, hingga atas, maupun di puskesmas dan posyandu, menggantungkan harapan besar pada satu hal: pengangkatan sebagai PNS atau PPPK.

Pekerjaan sebagai tenaga honorer menjadi satu-satunya tumpuan. Tidak sedikit dari mereka yang sepenuhnya menyerahkan hidup pada status tersebut, tanpa pernah mencoba membuka lahan, mengelola kebun, atau memanfaatkan potensi lokal lainnya. Kehidupan terasa berjalan di tempat, antara menunggu SK dan berharap pada aturan baru dari pemerintah.

Seorang honorer yang sempat penulis wawancarai berkata,

“Selain honor, saya tetap bertani.”
Lalu menambahkan, “Tapi syukur sekarang karena ada peraturan baru dari pemerintah bahwa PPPK yang sekarang akan di-PNS-kan.”
Ia melanjutkan dengan yakin, “Sebetulnya kami yang betul-betul mengabdi. Kami sudah lulus PPPK, sekarang tinggal menunggu yang lain pensiun, baru kami diangkat resmi.”

Pernyataan itu mencerminkan realitas yang cukup umum: ada yang sungguh mengabdi dan tetap berupaya bertani, namun ada pula yang sekadar terdaftar dalam sistem, tidak hadir mengajar, tidak memberikan kontribusi berarti, tetapi ketika ada pengumuman penerimaan PPPK, barulah terlihat sibuk mengurus berkas, memfotokopi dokumen, dan mengambil surat keterangan aktif.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam: apakah kita telah menjadi masyarakat yang terlalu bergantung pada sistem, hingga lupa bahwa hidup sejatinya membutuhkan kerja nyata, bukan sekadar menanti peluang?

Refleksi Iman: Antara Pengharapan dan Kemalasan

Dalam iman Kristen, bekerja adalah bagian dari panggilan hidup. Tuhan menciptakan manusia bukan untuk berdiam diri, tetapi untuk mengusahakan dan memelihara (Kejadian 2:15). Dalam 2 Tesalonika 3:10, Rasul Paulus dengan sangat tegas menyatakan:

“Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.”

Ayat ini bukan ditujukan kepada mereka yang tidak mempunyai kesempatan, melainkan kepada mereka yang mampu tetapi memilih untuk tidak bertindak. Di hadapan Allah, kemalasan bukanlah bentuk iman, melainkan tanda kehilangan arah dan tanggung jawab.

Amsal 6:6–8 menasihatkan:

“Hai pemalas, pergilah ke semut, perhatikanlah perilakunya dan jadilah bijak.”

Semut bekerja tanpa menunggu perintah, menyimpan makanan pada musim panen, dan berinisiatif dalam hidupnya. Ini gambaran nyata dari kehidupan yang produktif dan bertanggung jawab, sangat kontras dengan pola ketergantungan tanpa inisiatif yang kini mulai mengakar.

Realitas Sosial: Ketika Sistem Mengayomi sekaligus Meninabobokan

Kita tentu bersyukur atas kesempatan yang diberikan pemerintah melalui program PPPK. Ini bentuk perhatian terhadap para pengabdi yang telah bekerja tanpa kejelasan selama bertahun-tahun. Namun, ketika status honorer menjadi alasan untuk berhenti berinovasi, berhenti bertani, berhenti menggali potensi lokal, maka kita sedang berada dalam bahaya kejumudan sosial.

Menunggu itu bukan hal yang salah. Tetapi menunggu tanpa bekerja, berharap tanpa berusaha, adalah hal yang bertentangan dengan iman dan nilai hidup yang sehat.

Jalan Menuju Perubahan: Bangkit dan Menjadi Berkat

Ada begitu banyak ladang terbuka yang menunggu untuk dikelola. Alam menyediakan lahan, musim, dan hasil, tinggal kemauan dan kesadaran yang perlu dibangkitkan. Daripada menunggu SK tanpa kepastian, mengapa tidak mulai menggali tanah sendiri, membangun usaha kecil, atau mengelola hasil bumi yang selama ini diabaikan?

Firman Tuhan dalam Kolose 3:23 meneguhkan:

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Bekerja bukan hanya demi upah atau pengakuan, tetapi sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab hidup. Jika kita hidup hanya untuk menanti, kita akan kehilangan momentum. Tapi jika kita hidup untuk berkarya, maka berkat Tuhan akan nyata, baik kita diangkat sebagai PPPK, maupun tidak.

Penutup: Membangun Kesadaran Baru

Tulisan ini bukanlah kecaman bagi para honorer, tetapi panggilan untuk merenung dan berubah. Bahwa dalam segala ketidakpastian birokrasi, kita tetap bisa memilih untuk hidup produktif dan menjadi berkat bagi keluarga, masyarakat, dan gereja.

Mari kita doakan agar setiap tenaga honorer mendapatkan keadilan dan kejelasan. Tapi lebih dari itu, mari kita bangun semangat baru: menjadi pekerja yang setia, bukan hanya penunggu nasib.

Post a Comment

0 Comments