property='og:image'/>

Tiga Jurusan Favorit dan Pilihan yang Terbatas

Menyusuri Jalan yang Sama: Tiga Jurusan Favorit dan Pilihan yang Terbatas

Dalam banyak keluarga, kelulusan anak dari bangku SMA adalah awal dari harapan baru. Seperti anak panah yang ditarik dan siap dilepaskan, mereka dikirim jauh ke kota-kota untuk kuliah. Jurusan yang dipilih pun hampir selalu sama: kesehatan, pendidikan, dan teologi. Bagi banyak perempuan, jurusan kesehatan menjadi impian. Seragam perawat putih tampak menawan, melambangkan wibawa, kecantikan, dan kemuliaan di mata mereka. Para laki-laki tidak jauh berbeda; mereka menjatuhkan pilihan pada pendidikan atau teologi, mengikuti jejak yang sudah dianggap aman dan terhormat. Jarang sekali ada yang berani mengambil jurusan teknik, hukum, atau administrasi. Bukan karena tak mampu, tapi karena pola pikir yang sudah turun-temurun: “yang penting kerja, dekat rumah, dan tetap sopan.”

Namun, kenyataannya selepas kuliah tidak semanis angan saat awal masuk kampus. Mereka kembali ke kampung halaman , bukan untuk membangun usaha baru atau menerapkan ilmu secara inovatif, tetapi masuk ke jalur yang telah "disediakan" oleh sistem: tenaga sukarela di puskesmas bagi lulusan kesehatan, guru honorer di sekolah menengah bagi lulusan pendidikan, dan menunggu lulus bagi lulusan teologi. Mereka menantikan formasi CPNS atau PPPK, atau dalam kasus lulusan teologi, menunggu adanya penerimaan dari denominasi gereja besar tempat mereka berharap ditahbiskan.

Banyak perempuan yang akhirnya menikah dengan laki-laki sekampung, akhirnya  masih ada hubungan keluarga. Mereka pun menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga, membantu suami di sawah dan kebun. Pagi hari memasak dan mengurus anak, siang ke ladang menanam padi atau menyemai bibit, sore hari mencuci dan menanak nasi. Sementara para laki-laki membuka lahan baru di hutan, menanam cokelat dan nilam, atau meneruskan sawah warisan orang tua. Gelar "Sarjana" tersimpan dalam lemari, terlipat bersama toga wisuda, digantikan oleh cangkul dan parang di tangan.

Anehnya, hampir tidak ada dari mereka yang berpikir untuk melanjutkan ke jenjang S2, apalagi S3. Seolah-olah batas tertinggi dari perjuangan adalah menjadi sarjana dan kembali ke desa. Tak ada ide untuk mendirikan klinik mandiri, membuka bimbingan belajar, membuat pusat studi Alkitab, atau menciptakan lapangan pekerjaan dari kompetensi akademik yang telah mereka lewati dengan susah payah. Pikiran mereka berhenti di batas tembok kampung, bukan karena malas, tapi karena tak ada yang membuka jendela untuk melihat dunia lebih luas.

Fenomena ini bukan sekedar masalah pendidikan, tapi juga tentang harapan yang harmonis. Bahwa menjadi sarjana bukanlah jaminan perubahan hidup, jika cara berpikir tidak ikut bertumbuh. Alkitab mengingatkan,

“Ubahkanlah dirimu oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan yang sempurna” (Roma 12:2) 
Pembaruan pikiran adalah titik tolak untuk membuka masa depan yang berbeda.

Mungkin saatnya kita bertanya: untuk siapa gelar sarjana itu? Apakah hanya untuk dikalungkan sekali seumur hidup saat wisuda? Atau untuk membantu banyak orang melalui kreativitas dan keberanian menciptakan jalan baru? Harapan tidak mati, ia hanya tertidur dalam pola hidup yang monoton. Dan kini, barangkali sudah saatnya ia dibangunkan.

Penutup: Saatnya Melihat Lebih Jauh dari Seragam Putih

Di balik pilihan yang itu-itu saja, di balik kembalinya para sarjana ke ladang-ladang tua yang sama, dan di balik senyum orangtua yang berharap besar pada anaknya, tersembunyi sebuah pertanyaan yang dalam: Untuk apa semua ini? Apakah pendidikan hanya sekedar lambang keberhasilan? Atau seharusnya menjadi jalan perubahan?

Mungkin benar, tidak semua orang harus menjadi pengusaha, insinyur, atau pemimpin pemerintahan. Namun setiap anak muda, baik laki-laki atau perempuan, berhak bermimpi lebih dari sekedar menjadi seperti orang sebelumnya. Dan masyarakat, gereja, sekolah, serta keluarga perlu membuka ruang dan dukungan untuk mimpi-mimpi itu.

Kita tidak bisa terus membiarkan semangat muda berbaring hanya karena takut gagal. Kita tidak boleh terus menempatkan perempuan pada mimpi yang sudah dikurung oleh pandangan tentang “seragam putih yang berwibawa.” Kita perlu bertanya lebih jujur: Apa ini benar  memanggil  hidupmu, atau hanya karena semua orang melakukannya?

Alkitab berkata:

“Bila tidak ada wahyu, menjadi pembohonglah rakyat...” (Amsal 29:18a )

Tanpa visi yang ditanamkan sejak dini, baik dari keluarga maupun dari komunitas iman, maka pendidikan tidak akan menjadi berkat, melainkan hanya sekedar simbol. Kita butuh lebih dari sekedar ijazah, kita butuh arah hidup. Kita perlu pemuda-pemudi yang bertanya bukan hanya “Jurusan apa yang bagus?” tapi juga, “Tuhan mau aku jadi apa?”

Mari bersama membangun pola pikir baru. Mari buka ruang diskusi bagi remaja dan pemuda untuk mengenali potensi dan panggilan mereka secara utuh. Gereja, sekolah, dan komunitas bisa menjadi tempat menyemai cita-cita, bukan hanya tempat meratakan nasib.

Karena suatu hari, ketika mereka berani keluar dari jalur yang biasa, bukan karena pemberontakan, tetapi karena mengerti panggilannya, maka desa ini akan berubah. Dan bukan hanya desa, tetapi juga arah bangsa dan gereja.

 

Post a Comment

0 Comments