Gembala di Rumah: Iman, Keluarga, dan Perubahan Zaman

Di pelosok Mamasa, termasuk Lakahang di Kecamatan Tabulahan, angin zaman terus berembus, membawa serta tantangan yang tak kecil bagi keluarga-keluarga Kristen. Globalisasi, pergeseran nilai budaya, serta makin lemahnya ikatan komunal perlahan mengikis kekuatan keluarga yang dulu begitu erat. Anak-anak kini lebih dekat dengan layar ponsel daripada mendengarkan nasihat bijak dari orang tua. Kebersamaan dalam doa digantikan oleh hiburan digital. Warisan adat dan iman mulai kabur di antara hiruk-pikuk dunia modern.
Dalam situasi ini, satu pertanyaan rohani menggema dengan tajam:
Siapa yang kini menjadi gembala dalam rumah kita?
Dipanggil Menjadi Gembala Keluarga
Dalam bukunya The Shepherd Leader at Home, Timothy Z. Witmer menegaskan bahwa suami dan ayah adalah gembala pertama di rumah. Tugas mereka bukan hanya mencari nafkah, tetapi memimpin secara rohani: mengenal setiap anggota keluarga, menuntun mereka dalam iman, melindungi dari bahaya moral, serta menyediakan atmosfer spiritual yang sehat. Inilah kepemimpinan yang meneladani Kristus, Sang Gembala Agung.
"Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah..."
(1 Petrus 5:2)
Keluarga: Jemaat Pertama yang Tuhan Percayakan
Bagi Witmer, rumah tangga bukan sekadar komunitas sosial, tetapi adalah jemaat kecil pertama yang dipercayakan Allah kepada setiap kepala keluarga. Gereja yang kuat hanya mungkin lahir dari keluarga-keluarga yang dibina dalam takut akan Tuhan. Banyak pemimpin besar dalam sejarah gereja memulai pelayanannya bukan dari mimbar, tetapi dari altar doa di rumah mereka sendiri.
"Tetapi jika seorang tidak tahu mengatur rumah tangganya sendiri, bagaimana ia dapat mengurus Jemaat Allah?"
(1 Timotius 3:5)
Konteks Mamasa: Adat yang Menyatu dengan Iman
Di tanah Mamasa, tradisi kekeluargaan dan spiritualitas adat sangat kuat. Dahulu, kepala keluarga adalah pemimpin yang juga berfungsi sebagai penjaga warisan rohani. Anak-anak belajar berdoa bukan dari YouTube, tetapi dari bibir ayah mereka sendiri.
Namun, realitas hari ini menunjukkan pergeseran. Banyak ayah kehilangan arah rohani. Para ibu berjuang sendirian membimbing iman anak-anaknya, sementara nilai-nilai adat dan iman perlahan pudar.
Bahaya Budaya Diam dalam Keluarga
Salah satu refleksi tajam dari Witmer adalah soal budaya diam: keengganan menegur atau membimbing secara rohani karena takut melukai perasaan. Namun Alkitab tidak mengajarkan kepemimpinan yang diam. Sebaliknya, gembala sejati harus memiliki kasih dan keberanian.
(1 Timotius 5:20)
"Tegurlah orang yang bersalah di hadapan semua orang, supaya yang lain pun takut."
Tanpa koreksi yang penuh kasih, kesalahan akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan akan diwariskan sebagai budaya. Di Mamasa, di mana sopan santun dan rasa sungkan dijunjung tinggi, budaya diam ini bisa menjadi penghalang dalam pertumbuhan rohani keluarga.
Kearifan Lokal Sebagai Jembatan Iman
Nilai-nilai lokal seperti Ma’mesa (kebersamaan), Ma’pa'kasallei (rasa hormat), dan Pepakahanga (penghiburan) adalah harta spiritual yang selaras dengan ajaran Alkitab.
- Ketika seorang ayah memimpin doa di rumah, ia sedang menanamkan pepakahanga.
- Ketika ia mendengarkan jeritan hati anaknya, ia mempraktikkan Ma’mesa.
- Ketika ia mendisiplinkan dengan kasih dan kesabaran, ia sedang menjaga Ma’pa'kasallei yang diwariskan leluhur.
"Ajarlah anakmu mengikuti jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu."
(Amsal 22:6)
Panggilan yang Tak Pernah Usang
The Shepherd Leader at Home bukan hanya buku keluarga, tetapi sebuah panggilan rohani bagi para pria Kristen untuk kembali ke panggilan semula: menjadi gembala dalam rumah sendiri.
Di tengah arus zaman yang menggempur dari segala arah dan adat yang mulai pudar, rumah tangga yang dipimpin oleh iman akan menjadi benteng terakhir dari keruntuhan moral dan spiritual.
"Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!"
(Yosua 24:15b)
Kesimpulan: Mari Pulang ke Panggilan Kita
Wahai para ayah dan suami, mari kita pulang, bukan sekadar pulang ke rumah secara fisik, tetapi pulang ke hadirat Tuhan bersama keluarga yang kita pimpin. Biarlah rumah kita bukan hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga tempat ibadah, pusat pertumbuhan rohani, dan lumbung nilai-nilai iman yang kokoh bagi generasi berikutnya.
0 Comments